MSDM Strategis

Konsep manajemen sumber daya manusia strategis

Pada sub-bab ini akan dijelaskan perspektif teori yang akan menguraikan “black box”, fenomena yang menjelaskan

kontribusi MSDM terhadap kinerja perusahaan. Pendekatan Perspektif Stratejik (Strategic Perspective), yaitu MSDM berkontribusi terhadap kinerja melalui keselarasan praktek MSDM dengan strategi bisnis. Selain itu akan dijelaskan pendekatan RBV (Resource Based View of the firm) yang berfokus pada keunikan, inimitable dan sumber daya internal perusahaan yang berkontribusi pada kinerja organisasi.

Perspektif Stratejik : Desain Sistem MSDM
Ide utama yang mendasari Perspektif Stratejik adalah teori manajemen stratejik yang menekankan bahwa keberhasilan strategi perusahaan mempersyaratkan “kejelasan” strategi yang digunakan, Porter (1980, 1987, 1990) dan Miles & Snow (1984). Pemikiran MSDM Stratejik mengarah pada konsep dimana setiap strategi bisnis yang bersifat “generic” memberikan implikasi keselarasan pilihan sistem MSDM yang dapat menunjang pencapaian kinerja bisnis (Schuler & Jackson, 1987). Berkaitan dengan “black box”, konsep MSDM stratejik menekankan aspek ‘transformasi’ input MSDM yang menghasilkan desain spesifik praktek MSDM sesuai dengan pendekatan strategi bisnis yang ditetapkan. Dua alasan utama yang terkait dengan Perspektif Stratejik, pertama, bahwa MSDM dan strategi organisasional harus diselaraskan untuk meningkatkan efektifitas MSDM, kedua, bahwa MSDM harus diaplikasikan secara spesifik kepada kelompok-kelompok kerja / karyawan untuk mencapai sasaran organisasi.

Meski pentingnya integrasi stratejik MSDM dan strategi organisasional banyak ditekankan oleh literatur-literatur MSDM, akan tetapi masih terdapat ketidaksepakatan bagaimana proses interaksi MSDM dan strategi organisasi yang diterapkan. Torrington & Hall (1998) menggambarkan berbagai tingkat interaksi tersebut, dari hal yang terpisah sama sekali yang disebut sebagai “unstrategic personnel management” hingga keterkaitan yang sangat erat antara konsepsi MSDM yang berpengaruh pada strategi bisnis (Butler 1988, 1991). Dua konsep strategi bisnis akan dibahas dalam sub-bab selanjutnya, yaitu tipologi Miles & Snow (1984) dan Schuler & Jackson (1997), sebagai salah satu referensi utama dari bangunan teori yang akan dikembangkan. Prinsip kedua tipologi tersebut adalah setiap strategi bisnis hanya memiliki sejumlah pilihan terbatas praktek MSDM yang sesuai dengan karakteristik strategi yang dipilihnya (Mabey & Salaman 1995).
Lebih lanjut, sebelum membahas secara mendetail interaksi MSDM dan strategi bisnis, diperlukan pemahaman yang sama dan definisi yang sama tentang konsep strategi. Strategi, menurut Purcell & Ahlstrand (1994) : “strategy is associated with the long-term decision taken at the top of enterprise and distinguished from operational activities”. Hal ini sangat berbeda dengan Hill & Jones (1992) yang lebih mengarah ke pendekatan “tradisional” dalam mendefinisikan strategi, disebutnya sebagai pendekatan ‘hierarchy- & planning-based’. Menurut Purcell & Ahlstrand (1994), pendekatan tradisional terkesan terlalu sederhana, mengingat dengan model tradisional pimpinan di tingkat korporasi masih dapat dilibatkan pada aktivitas operasional seperti halnya staf bisnis di level unit yang diberikan otonomi untuk menyusun formula strategi bisnisnya ataupun kontribusi pada strategi korporat-nya. Dengan demikian, lebih tepat apabila strategi didefinisikan dengan melihat sebagai bentuk karakteristik pengambilan keputusan manajerial yang bersifat stratejik. Johnson (1987) menekankan bahawa keputusan manajerial harus fokus pada arah jangka panjang organisasi, ruang lingkup aktivitas organisasi, kesesuaian aktivitas organisasi dengan lingkungan bisnisnya, kesesuaian aktivitas organisasi dengan kapabilitas sumber daya yang dimilikinya.
Pemahaman konsep strategi dapat dilakukan dengan melihat tingkatan (level) strategi yang berbeda-beda (Hendry 1995). Quinn (1991) mengidentifikasi 5 (lima) tingkatan dalam level stratejik, yaitu : Sasaran (goals) sesuai dengan ruang lingkup dan spesifik, kebijakan (policies) yang merupakan aturan dan pedoman sebagai kerangka pelaksanaan / implementasi, rencana stratejik (strategic plans) berupa pola dan rencana yang mengintegrasikan sasaran dan kebijakan sebagai satu kesatuan yang konsisten, keputusan stratejik (strategic decisions) lebih kepada arah keseluruhan alokasi sumber daya organisasi dalam mencapai sasaran bisnis, program (programmes) yang disebutkan sebagai rangkaian ‘step-by-step’ implementasi untuk mencapai sasaran utama bisnis dengan memastikan alat ukur / indikator yang digunakan untuk menilai tingkat pencapaian sasaran. Keputusan stratejik (strategic decisions) berbeda dengan keputusan operasional ‘day-to-day’ karena dalam keputusan stratejik melibatkan tingkat ketidakpastian maupun resiko yang jauh lebih tinggi, membutuhkan integrasi manajemen lintas fungsional, melibatkan masalah perubahan seperti halnya mobilisasi sumber daya dan kekuatan dalam menghadapi ketidakpastian di masa depan.
Porter (1987) membedakan antara strategi di tingkat ‘unit bisnis’ dan strategi di tingkat ‘korporasi’, sedangkan Wheelen & Hunger (1990) menambahkan bahwa dalam penerapannya, strategi dibedakan menjadi level ‘fungsional’ atau ‘departemental’. Strategi korporat (corpoarete strategy) menurut Porter fokus pada jenis aktivitas bisnis dimana organisasi bersaing dan bagaimana ‘corporate office’ mengelola seluruh unit bisnis agar unit bisnis fokus pada ‘competitive strategy’ dengan tujuan untuk menghasilkan ‘competitive advantage’ di dalam satu unit bisnisnya. Secara nyata harus dipahami bahwa persaingan / kompetisi justru terjadi pada level unit bisnisnya, Porter (1980, 1990) menyatakan bahwa unit bisnis untuk memenangkan persaingannya harus berkonsentrasi pada : cost leadership yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan pasar melalui harga lebih rendah dibandingkan pesaing, differentiation (peningkatan kualitas) dimana upaya unit bisnis dalam meraih keunggulan kompetitif melalui kualitas produk yang ditawarkan, focus sebagai strategi yang dapat melibatkan cost leadership atau differentiation dan berfokus pada market dan pelanggan yang spesifik, artinya kompetisi langsung dengan pesaing lain dapat dihindari dengan target pada pasar khusus / ceruk pasar (niche market) yang ada. Inovasi menurut Porter merupakan satu langkah kedepan dalam meraih keunggulan kompetitif dipasar. Sedangkan Schuler & Jackson (1987) menterjemahkan inovasi sebagai ‘a distinct strategy’, sesuai dengan Porter, menurutnya kerja dapat dipahami bukan sekedar mengikuti proses yang ada dan belajar untuk mencari cara baru berkompetisi, akan tetapi memanfaatkan kesempatan yang muncul dari dis-kontinyuitas struktur industrinya (Hendry 1995).
Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Miles & Snow (1984) memunculkan 3 (tiga) strategi organisasi fundamental, yaitu :
  • Defenders : tipe organisasi ini beroperasi pada situasi pasar yang dapat diprediksi dengan jenis pasar dan produk tertentu, sasaran utama strateginya pertumbuhan melalui penetrasi pasar. Penelitian dan pengembangan (research and development, R & D) dikonsentrasikan pada pengembangan produk, produksi dengan volume cukup besar serta berorientasi pada penekanan biaya melalui efisiensi dan perbaikan rekayasa proses.
  • Prospectors : tidak seperti halnya defenders, tipe organisasi ini berorientasi pada perubahan pasar dengan diversifikasi produk dan memiliki sasaran pertumbuhan melalui pengembangan produk serta aktif mempengaruhi pasar dengan mencoba peluang-peluang baru. Perusahaan yang tergolong prospectors memiliki target utama pada R & D untuk selalu meluncurkan produk barunya. Orientasi produksi bersifat ‘customized’ dan ‘prototypical’, menekankan pada efektivitas dan desain produknya.
  • Analysers : tipe organisasi ini merupakan kecenderungan dari tipe defenders & prospectors, bertujuan pada efisiensi produksi dengan jenis produk tertentu serta mengadopsi trend pasar baru yang cukup menjanjikan dengan kemampuan inovasinya. R & D memiliki fokus trend spesifik yang muncul dan berpeluang dipasar yang dilihat dari prospectors–nya, menekankan pada strategi ‘second-to-market’. Produksi tergantung pada jenis produknya, berorientasi pada volume dan penekanan harga (low cost), selain itu tipe analysers juga berfokus pada rekayasa proses (process engineering) termasuk pada product / brand management-nya.
Secara singkat Miles & Snow juga megemukakan tipe keempat yang disebutnya sebagai ‘reactor’ yang bercirikan dengan strategy-environment inconsistency ataupun poor strategy-structure-process, tipe reactor menurut Miles & Snow lebih sulit berkembang dibandingkan dengan tipe lainnya. Tipologi organisasi menurut Miles & Snow (1984) ini secara umum konsisten dengan pendekatan Porter.
Mabey & Salaman (1995) menggunakan ‘open’ & ‘closed’ dalam pendekatan strategi SDM. Strategi ini dikarakterisasikan dengan mendefinisikan terlebih dahulu sasaran atau praktek-praktek yang mendukung tipe strategi bisnisnya, jelasnya sangat tergantung dengan strategi bisnisnya. Kesesuian diantara kebijakan-kebijakan SDM yang berbeda merujuk pada kesesuaian ‘internal’ dan ‘vertikal’, dan kesesuaian antara kebijakan SDM dan strategi organisasional yang juga sering disebut sebagai kesesuaian ‘eksternal’ ataupun ‘horizontal’ (Delery & Doty 1996, Huselid 1995). Pengelompokan pendekatan teoritis yang umum digunakan untuk mempelajari desain SDM stratejik banyak mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Delery & Doty (1996). Pertama, pendekatan universalistic atau ‘best practice’, didasarkan pada anggapan praktek terbaik SDM semisal HPWS (High Performance Work Sistem) akan selalu lebih baik dibandingkan yang lain (Pfeffer 1994, Huselid 1995). Kedua, contingency perspective, didasarkan pada ide bahwa kebutuhan efektivitas organisasi sangat dipengaruhi konsistensi antara elemen-elemen MSDM dengan aspek organisasional yang lain, khususnya dengan strategi bisnisnya (Schuler & Jackson 1987, Lengnick-Hall & Lengnick-Hall 1988). Secara umum pendekatan kontijensi ini dipahami sebagai ‘external fit’. Ketiga, configurational approach, didasarkan pada bentuk yang ideal berdasarkan prinsip equifinality, yaitu tiap bentuk organisasi yang berbeda dapat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda pula (Doty dkk 1983, Doty & Glick 1994, Delery & Doty 1996). Pendekatan konfigurasional menyatukan praktek MSDM yang konsisten dengan alternatif strategi konfigurasi, misalnya kombinasi antara kesesuaian internal dan eksternal (Delery & Doty 1996).
Bentuk-bentuk pendekatan MSDM stratejik yang sama polanya juga disampaikan oleh Guest (1997) yang membedakannya menjadi internal fit, external fit dan configurational fit. Guest mendefinisikan kesesuaian eksternal dan internal serupa dengan deskripsi sebelumnya diatas, namun Guest mengajukan bahwa ‘internal fit’ sangat identik dengan ‘HRM as an ideal set of practices’. Ilustrasi yang disampaikan oleh Guest ini kurang mampu menjelaskan konsep internal fit. Delery & Doty mengelompokan internal fit sebagai salah satu bagian dari pendekatan konfigurasional. Guest (1997) menginterpretasikan kesamaan dari internal fit dengan perspektif universalistic. Jadi perspektif universalistik memberikan implikasi dalam memperkaya pemahaman HPWP (High Performance Work Place), yang dinyatakan oleh Guest (1997) sebagai “the more of high performance HRM practices that are used, the better the performance”, pernyataan tersebut tidak menjelaskan ‘internal relationship’ diantara praktek MSDM yang ada. Pemahaman Guest sebenarnya didasarkan pada asumsi implisit bahwa praktek MSDM saling melengkapi satu sama lain. Dalam tataran konseptual, akan lebih berguna dengan memastikan perbedaan-perbedaan teoritis diantara konsep-konsep yang ada. Hoque (1999a) melengkapi tipologi Guest dengan mengusulkan konsep universal relevance. Tergantung pada situasi pasarnya, adopsi sebuah strategi bisnis yang pasti akan diperlukan jika kebutuhan organisasinya juga spesifik yang akan diikuti dengan pendekatan MSDM yang relevan secara universal (universally relevant HRM approach).
Menyimpulkan pendekatan desain MSDM yang telah dibahas sebelumnya, terlihat pandangan universalistik mempengaruhi praktek MSDM dan memiliki efek positip secara universal dalam berbagai situasi yang ada ; pandangan kontijensi yang mengajukan ‘fitting’ MSDM dengan strategi binis akan menghasilkan kinerja yang lebih baik ; pendekatan konfigurasional mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih baik bila sistem SDM yang dipilih lebih ‘pas’ dengan tipe ideal organisasinya ; pandangan relevansi universal mengajukan bahwa sebuah koteks situasi dapat berimplikasi pada kepastian strategi yang harus didukung pilihan-pilihan praktek MSDM yang ada. Model-model yang diusulkan oleh Schuler & Jackson (1987) dan Miles & Snow (1984) banyak digunakan, salah satunya Boxall (1992) menyebut sebagai “matching model” untuk mendeskripsikan ‘external fit’ seperti yang telah disebutkan diatas. Didasarkan pada strategi Porter (1980, 1990), Schuler & Jackson (1987) mendefinisikan praktek MSDM dan perilaku SDM yang muncul didorong melalui prektek MSDM yang ‘matching’ dengan strategi generic yang diadopsi. Miles & Snow (1984) memasukan dalam kategorisasi kebijakan MSDM yang seharusnya mendukung strateginya. Berikut beberapa contoh yang ada :
Quality-enhancement – membutuhkan kebijakan SDM yang terdiri atas pelaksanaan job description yang ‘fixed & explicit’, partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan pekerjaannya, sistem penilaian kinerja individual dan kelompok yang berorientasi pada hasil dan bersifat jangka pendek, jaminan ‘job security’ dan pelatihan-pelatihan berjenjang.
Innovation strategies – membutuhkan praktek MSDM : interaksi pekerjaan dan koordinasi antar grup individu, sistem penilaian kinerja berdasarkan grup dan bersifat jangka panjang, orientasi kerja yang memberikan peningkatan skills buat pekerjaan / posisi yang lain, sistem kompensasi yang berfokus pada ‘internal-equity’, sistem upah dengan upah pokok yang lebih kecil namun diberikan alternatif ‘stock options’ dan sistem kompensasi yang fleksibel lainnya, sistem karir yang lebih luas.
Cost-reduction strategies – difasilitasi dengan praktek MSDM yang bercirikan uraian kerja relatif ‘fixed’, eksplisit dan jelas, sistem karir dan job yang lebih sempit dan mendorong pada keahlian dan spesialisasi tertentu, sistem penilaian kinerja berorientasi hasil dan bersifat jangka pendek, sistem kompensasi yang selalu dipertimbangkan dengan memonitor pasar, minimal pelatihan dan pengembangan SDM.
Meski secara logika praktek-praktek MSDM dan ‘role behaviours’ dibutuhkan, Lee & Miller (1999) berpendapat bahwa sebuah proposal strategi yang akan diterapkan sangat tergantung dari organisasi yang akan menjalankannya. Strategi yang berbeda memerlukan program-program yang berbeda, misalnya target pada manajemen inventori, reduksi biaya operasi, keduanya akan berimplikasi pada pentingnya komitmen organisasi perusahaan terhadap eksistensi karyawan untuk mendapatkan komitmen dan dukungan karyawan demi kesuksesan pelaksanaan program.
Miles & Snow (1984) memasukan tipologi strategi bisnis serta orientasi SDM yang dibutuhkan secara jelas, tidak seperti halnya Porter yang tidak menjelaskan secara langsung. Defenders, akan berimplikasi penerapan strategi utama ‘building’ & ‘making’ SDM, misalnya berkurangnya strategi untuk melakukan rekruitmen pada level manajemen atas dan kecenderungan untuk melakukan pengembangan kompetensi karyawan melalui program pelatihan formal. Penilaian kinerja dilaksanakan dengan berorientasi pada proses, terintegrasi dengan identifikasi kebutuhan training dengan target pada individu dan kelompok karyawan serta mempergunakan time-series comparisons. Kompensasi karyawan berorientasi pada jabatan / pangkat / posisi individu karyawan, ada konsistesi pada situasi internal organisasi perusahaan serta bersifat ‘cash compensation’.
Prospectors, tidak seperti halnya defender, memiliki strategi ‘buy’ or ‘acquire’ SDM perusahaan. Strategi ini membutuhkan ‘spohisticated recruitment sistems’ dimana setiap level melibatkan penggunaan alat tes psikomterik. Sebagai konsekuensi kebutuhan training lebih terbatas, penilaian kinerja berorientasi pada hasil, lebih cenderung mengidentifikasi kebutuhan staf dibandingkan kebutuhan pelatihan, serta melakukan evaluasi kinerja divisional / koprorat dengan cross-sectional comparisons (misalnya dengan benchmarking perusahaan lain). Sistem kompensasi berorientasi pada kinerja dengan fokus pada insetif dan upah eksternal yang kompetitif.
Analysers, orientasi SDM melalui kontribusi dalam mengalokasikan orang dan proses manajemen sesuai dengan kebutuhan aktivitas bisnis yang berbeda. Jadi strategi “make” & “buy” dikombinasikan, sehingga proses seleksi & rekruitmen merupakan pendekatan dari kedua strategi tersebut. Pengembangan skills karyawan merupakan prioritas, performance appraisals berorientasi pada proses yang menekankan pada identifikasi staffing dan analisis kebutuhan training. Performance assessment dilaksanakan pada semua level, dengan menerapkan model time-series & cross-sectional. Sistem kompensasi cenderung hierarchy-oriented, dengan memasukan pertimbangan-pertimbangan kinerja. Selain itu konsistensi internal dan persaingan pasar tenaga kerja juga jadi dasar menentukan sistem kompensasinya, sehingga akan terdapat pula sistem pembayaran cash maupun insentif-nya.
Pendekatan ‘matching model’ yang diajukan oleh Boxall (1992) seperti pada beberapa contoh diatas belum mengalami perubahan. Menurutnya, “it is the firm’s chosen path in the product market that is seen to determine HR strategy. Other aspects of the organizational context are more or less ignored”. Hal mendasar yang dibuat oleh Boxall adalah tidak ada satupun strategi SDM yang bersifat tunggal untuk semua karyawan dalam sebuah organisasi, hal ini sudah dikonfirmasikan secara empirik oleh Jackson dkk (1989) yang juga telah menemukan bahwa praktek SDM beraneka ragam tergantung dari teknologi produksi, sektor industri, struktur organisasi, ukuran maupun keberadaan serikat pekerja. Problem lain tentang ‘matching model’ adalah strategi bisnis seperti halnya Porter atau Miles & Snows merupakan hal yang kontroversial (Boxall 1992). Sebaliknya, Murray (1998), Hill (1988), Miller & Friesen (1986) dan Parnell (1997) mendapatkan bahwa strategi bisnis bersifat “mutually exclusive”.
Merujuk pada pemikiran Becker & Gerhart (1996), “HR sistems only have a sistematic impact on the bottom line when they are imbedded in a firm’s management infrastructure and help it solve real business problems such as product development cycle times, customer service, and so forth.” Menjadi sangat jelas bahwa pendekatan kontijensi dan perspektif universalistik juga bersifat “mutually exclusive”. Becker & Gerhart mencatat adanya tingkat kesulitan pada level analisisnya, mereka membedakan 3 (tiga) level sistem SDM, misalnya architecture (prinsip-prinsip utama secara menyeluruh), policies (kebijakan), dan practices (praktek SDM yang spesifik, misalnya sistem kompensasi, insentif, performance appraisal, dst). Sehingga hal utama adalah menentukan pengaruh praktek SDM yang paling tepat yang dapat dicapai pada level arsitektural, misalnya penentuan prinsip-prinsip utama penghargaan pada kinerja karyawan yang secara internal dan eksternal sesuai pada level kebijakan dan praktek SDM organisasinya.
Gambar 2.2 merangkum pendekatan teori Perspektif Stratejik, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa strategic management sebagai dasar bagi sebuah organisasi di dalam mengambil keputusan strategi bisnis organisasi akan di-ikuti dengan pilihan strategi SDM (HR Strategy) yang akan diambil. Implikasi yang terjadi adalah praktek MSDM (HRM Practices) yang akan dilakukan pada level arsitektur, kebijakan dan praktek keseharian organisasi (day to day operations).

Pendekatan Resource-Based View (RBV)
Patut diketahui, karena sifat terapan dari MSDM Stratejik (Strategic Human Resources Management), maka bidang ini mengembangkan atau menggunakan model-model teori yang memungkinkan prediksi dan pemahaman pengaruh dari praktek praktek HR pada fungsi organisasi. Namun, sampai sekarang, salah satu dari kekurangan yang paling nyata dari MSDM Stratejik adalah kurangnya basis teori yang kuat untuk pengkajian fungsi MSDM (Mahoney & Deckop, 1986) didalam organisasi yang lebih besar. Referensi terkini dalam pembahasan teori manajemen sumber daya manusia stratejik berasal dari literatur manajemen stratejik dan ekonomi organisasi dan telah menghasilkan konsep Resource-Based View of the Firm yang sering disebut sebagai RBV (Barney 1991; Conner 1991; Penrose 1959; Wernerfelt, 1984). Sejak kemunculan “strategi” sebagai bidang yang penting dalam ilmu manajemen, para ahli strategi organisasi industri bergantung pada sebuah kerangka tunggal (SWOT Analysis) dalam melakukan penelitian mereka (Barney 1991).
Grant (1991) menyatakan bahwa karena ketidakpuasan dengan model keseimbangan statis dari ekonomi organisasi industri yang mendominasi bidang strategi, maka para peneliti mengkaji kembali teori-teori lama tentang laba dan kompetisi yang berkaitan dengan tulisan Ricardo (1817), Schumpter (1934) dan Penrose (1959). RBV ini berbeda dari paradigma strategi tradisional dalam hal penekanan pada keunggulan kompetitif dalam konteks antara strategi dan sumber daya internal perusahaan. RBV berfokus pada internal perusahaan sedangkan paradigma analisa stratejik tradisional lebih berfokus pada industri-lingkungan.
Pandangan RBV didasarkan pada keunggulan kompetitif dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Barney (1991) menggambarkan keunggulan kompetitif sebagai “when a firm is implementing a value creating strategy not simultaneously being implemented by any current or potential competitor”. Sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan hanya ada apabila upaya pihak lain gagal untuk meniru keunggulan tersebut (Barney, 1991). Menurut RBV, keunggulan kompetitif hanya dapat muncul dalam situasi heterogenitas sumber daya perusahaan dan immobilitas sumber daya perusahaan, dan asumsi inilah yang berfungsi untuk membedakan model berbasis sumber daya dari model manajemen stratejik tradisional. Heterogenitas sumber daya perusahaan mengacu pada sumber daya yang dimiliki sebuah perusahaan (modal fisik, modal manusia, dan modal organisasi) dan seberapa besar perbedaan sumber daya ini diantara perusahaan-perusahaan. Dalam model strategi tradisional, sumber daya perusahaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat homogen di semua perusahaan dalam industri. Immobilitas sumber perusahaan mengacu pada ketidakmampuan dari perusahaan perusahaan yang bersaing untuk memperoleh sumber dari perusahaan lain. Dalam model strategi tradisional, sumber dianggap mobile dalam hal perusahaan dapat membeli atau membuat sumber yang dimiliki oleh perusahaan pesaing. Agar sumber daya sebuah perusahaan memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, empat kriteria harus dapat dikaitkan dengan sumber daya tersebut:
(a) sumber daya harus menambah nilai positif bagi perusahaan,
(b) sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing dan pesaing yang ada sekarang ini,
(c) sumber daya harus sukar ditiru, dan
(d) sumber daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing.
Maka dengan heterogenitas sumber daya dan immobilitas sumber daya serta pemenuhan prasyarat nilai, kelangkaan, ketidakmampuan meniru secara sempurna, dan tidak adanya daya substitusi, maka sumber daya dari sebuah perusahaan dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang awet. Barney (1991) menyatakan bahwa dalam RBV – perusahaan tidak dapat berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena keunggulan tersebut merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan tidak tergantikan. Pemikiran bahwa sumber daya manusia dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif bukanlah hal baru. Schuler dan MacMillan (1984) membahas potensi human capital yang dimiliki manajemen sumber daya manusia yang unggul sebagai sarana pencapaian dan pemeliharaan keunggulan kompetitif. Schuler dan MacMillan menyajikan matriks target/pendorong untuk menunjukan bagaimana MSDM dapat memberikan keunggulan kompetitif. Target dari praktek HR mengarah pada aktivitas semua level termasuk internal perusahaan itu sendiri, konsumennya, distributornya dan penyedia layanannya (servicer) bahkan para supliernya.
Ulrich (1991) secara parsial juga bergantung pada perspektif teori RBV dalam penggambaran sumber daya manusia sebagai keunggulan kompetitif. Dia memperluas model keunggulan kompetitif Porter (1985) untuk memasukkan budaya organisasi, kompetensi yang berbeda, dan kesatuan stratejik sebagai “mediator” dalam hubungan keunggulan kompetitif-strategi. Ulrich kemudian membahas bagaimana praktek sumber daya manusia dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan strategi-strategi yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang terus menerus, yang menegaskan bahwa harus ada fokus pada hubungan antara sumber daya manusia, strategi dan keunggulan kompetitif. Baik Chule & MacMillan (1984) maupun Ulrich (1991) memberikan perspektif berorientasi praktek, yang menunjukkan bahwa MSDM dapat berfungsi sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, tak satupun dari analisa mereka didasarkan pada resource-based view of the firm secara utuh. Adanya sebagian fakta keunggulan kompetitif yang berkelanjutan sebenarnya lebih cenderung ditemukan bukan dikembangkan, maka terlebih dahulu perlu untuk mengkaji kondisi dimana sumber daya manusia dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam konteks resource-based view of the firm, Barney (1991) & Wright dkk (1992).
Wright dkk (1992) mendasarkan asumsinya pada empat kriteria untuk keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan berupaya untuk mengevaluasi kondisi dimana sumber daya manusia memenuhi kriteria tersebut. Pemahaman tersebut melahirkan kosep :
· Pertama, agar sumber daya manusia ada sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, mereka harus memberikan nilai bagi perusahaan. Kondisi ini mensyaratkan bahwa ada kebutuhan heterogen akan tenaga kerja (bahwa perusahaan memiliki pekerjaan yang memerlukan bermacam tipe ketrampilan) dan suplai tenaga kerja yang heterogen (individu individu berbeda dalam ketrampilan dan tingkat ketrampilan mereka). Dalam kondisi ini, sumber daya manusia dapat menambah nilai bagi perusahaan.
· Kedua, sebuah sumber daya harus bersifat langka bila sumber daya itu akan menjadi sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Wright dkk (1992) mencatat bahwa karena distribusi kemampuan yang normal, sumber daya manusia dengan tingkat kemampuan tinggi, secara definisi tentu akan menjadikannya langka. Tujuan dari semua program seleksi jelas untuk memastikan bahwa organisasi hanya akan mempekerjakan individu dengan kemampuan tertinggi. Masalahnya kemudian, adalah validasi dari sistem seleksi dan apakah organisasi mampu atau tidak untuk menarik dan mempertahankan para pelamar tersebut yang dinggap memiliki kemampuan tertinggi. Maka, sebuah perusahaan dapat secara teori memperoleh karyawan dengan kemampuan unggul melalui kombinasi dari program seleksi yang valid dan sistem penghargaan yang menarik.
· Ketiga, agar sebuah sumber daya dianggap sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sumber daya manusia harus tidak dapat ditiru. Dalam pembahasan ini, Wright dkk (1992) menggunakan konsep kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan kompleksitas sosial untuk menunjukkan ketidakmampuan untuk meniru dari keunggulan kompetitif yang berasal dari sumber daya manusia. Kondisi historis yang unik mengacu pada kejadian historis tertentu yang telah membentuk praktek, kebijakan dan budaya perusahaan. Ketidakjelasan sebab akibat menggambarkan situasi dimana sumber sebab akibat dari keunggulan kompetitif tidak mudah diidentifikasi. Kompleksitas sosial menunjukkan bahwa dalam banyak situasi (misal tim produksi) keunggulan kompetitif berasal dari hubungan sosial yang unik yang tidak dapat ditiru. Maka, Wright dkk menyatakan bahwa karena fakta bahwa banyak keunggulan kompetitif yang mungkin didasarkan dalam sumber daya manusia dari sebuah perusahaan dicirikan oleh kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan kompleksitas sosial, sangat tidak mungkin bahwa sumber daya manusia yang dikembangkan dengan baik dapat dengan mudah ditiru.
· Keempat, sebuah sumber daya harus tidak dapat digantikan (substitusi) bila sumber daya tersebut dianggap sebagai sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Menurut Wright dkk (1992), seseorang dapat dengan mudah menggambarkan sebuah perusahaan tertentu memiliki individu-individu berkemampuan tertinggi yang menghasilkan keunggulan kompetitif. Namun, apa yang terjadi bila pesaing mengembangkan teknologi baru yang memberikan peningkatan produktivitas yang lebih besar dibandingkan perbedaan produktivitas dalam perusahaan karena kemampuan ? Bila teknologi dapat ditiru (yang memang demikian karena sebuah perusahaan dapat membeli teknologi di pasar), maka setelah perusahaan itu membeli teknologi baru tersebut, sumber daya manusia akan sekali lagi menjadi ada sebagai keunggulan kompetitif.
Teori resource-based view telah mendapatkan sejumlah perhatian yang signifikan dalam literatur manajemen stratejik (Barney 1991; Castanias & Helfat, 1991; Conner 1991; Fiol 1991). Potensi besar untuk menggunakan teori tersebut menjadi sangat penting bagi para peneliti di bidang MSDM Stratejik, untuk mengkaji ‘cara perusahaan’ dalam mengembangkan sumber daya manusia sebagai sebuah keunggulan kompetitif. Saat ini kebutuhan untuk menyatukan praktek sumber daya manusia dalam tahap perumusan dari strategi sebuah perusahaan menjadi hal yang utama dalam kajian berkelanjutan MSDM stratejik. Pendekatan resource-based view memberikan kerangka dalam pengkajian fungsi sumber daya manusia yang berperan stratejik selama fase perumusan perencanaan strategi manajemen. Dengan demikian pendekatan resource-based view akan menunjukkan fakta bahwa strategi tidak secara universal dapat diterapkan, tetapi bersifat kontingen pada kepemilikan basis sumber daya manusia (karyawan) yang perlu untuk menerapkannya.
Sementara itu para ahli dari berbagai disiplin ilmu juga telah memberikan berbagai kerangka kerja konseptual sebagai penjelasan terhadap hubungan antara praktek manajemen SDM dan kinerja pada tingkat perusahaan. Jackson dan Schuler (1995) memberikan literatur tentang hal ini dan menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan yang berbeda seperti teori sistem umum, teori perilaku peran (Behavioral Approach), teori institusional (Institutional/Political Forces), teori ketergantungan sumber daya (Resource Dependence), teori modal manusia (Human Capital), ilmu ekonomi biaya transaksi (Transaction Costs), teori agensi (Agency) dan teori resource-based view, digunakan untuk meneliti peran-peran potensial SDM (praktek SDM) dalam menentukan kinerja perusahaan. Hasilnya secara umum menunjukan adanya hubungan yang positif antara berbagai praktek SDM yang berkualitas dan keunggulan organisasi, yaitu kinerja perusahaan. Gambar 2.3 menjelaskan kerangka konseptual teoritik yang menjelaskan pemikiran Jackson dan Schuler (1995) tersebut. Konsep tersebut juga mengambil dari kerangka konseptual yang telah dikembangkan oleh Wright dkk (1992).

 Strategi Organisasi dan Perilaku SDM
Banyak tipologi telah dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana perusahaan membahas masalah dasar ini (tipologi strategi bisnis dan manajemen sumber daya manusia), tetapi tipologi yang dikembangkan oleh Porter (1980, 1985) tidak diragukan lagi merupakan yang paling umum dan digunakan secara luas oleh para peneliti industri dan kebijakan bisnis (Hambrick, 1983; Sorge & Streeck, 1988). Seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, Porter menyatakan bahwa ada dua strategi bisnis generik yang berhasil yang sebuah perusahaan mungkin gunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang bertahan lama atas perusahaan lain dalam industri. Strategi itu adalah Cost Leadership Strategy (yaitu dengan menjadi produsen berbiaya terendah) dan Differentiation Strategy (yaitu dengan mendiferensiasi dirinya dari kompetitor pada beberapa basis selain biaya rendah misalnya kualitas produk atau jasa). Logika untuk hubungan antara strategi ini dan strategi manajemen SDM berakar dari perbedaan dalam ketidakpastian tugas produksi yang terlibat dalam implementasi strategi bisnis Cost Leadership dan Differentiation.
Pemfokusan pada tujuan manajemen, praktek dan kebijakan SDM digunakan untuk membentuk karakteristik karyawan, sikap, dan perilaku untuk pelaksanaan efektif dari bermacam tipe tugas pekerjaan (Jackson, Schuler, & Rivero, 1989; Galbriath, 1977; Drazin & Van deVen, 1985; Govindarajan, 1988). Karakteristik strategi pengurangan biaya adalah kontrol ketat, minimalisasi biaya tak langsung / overhead, dan pencapaian skala ekonomis. Fokus utama pengukuran ini adalah peningkatan produktivitas, yaitu, biaya output per orang. Profil perilaku peran karyawan yang diperlukan untuk perusahaan yang berupaya untuk meraih keunggulan kompetitif dengan pencapaian pengurangan biaya adalah sebagai berikut :
(1) perilaku yang relatif berulang dan dapat diprediksikan,
(2) fokus agak jangka pendek,
(3) aktivitas individual atau bersifat otonom,
(4) cukup perhatian terhadap kualitas,
(5) perhatian tinggi terhadap kuantitas output (barang atau jasa),
(6) perhatian utama terhadap hasil,
(7) aktivitas beresiko rendah, dan
(8) tingkat kesesuaian yang relatif tinggi dengan stabilitas (Porter 1980, 1985).
Strategi diferensiasi menurut Piore dan Sable (1984) lebih dikaitkan dengan “spesialisasi fleksibel” melalui penggunaan teknologi yang lebih fleksibel untuk menghasilkan cakupan yang lebih luas dari produk yang relatif khusus dalam jumlah yang lebih kecil. Implikasi pengaturan sumber daya manusia yang mengupayakan strategi ini adalah bahwa diperlukannya pemilihan individu yang sangat terampil, yang memberikan karyawan lebih banyak peluang, penggunaan kontrol minimal, pembuatan investasi yang lebih besar dalam sumber daya manusia, penyediaan lebih banyak sumber untuk ber-eksprimen, pemberian kemudahan dan bahkan penghargaan terhadap “kegagalan tertentu”, dan penilaian kinerja untuk implikasi jangka panjang. Sehingga pencapaian strategi ini akan berimplikasi pada rasa kontrol pribadi yang meningkat dan moral yang lebih baik, sehingga meningkatkan komitmen yang lebih besar untuk diri sendiri dan profesi. Dengan demikian, profil tipe perilaku peran karyawan ini termasuk :
(1) tingkat perilaku kreatif yang tinggi,
(2) fokus jangka panjang,
(3) tingkat kerja sama yang relatif tinggi, perilaku saling ketergantungan,
(4) tingkat perhatian terhadap kualitas yang tinggi,
(5) perhatian yang cukup terhadap kuantitas,
(6) tingkat perhatian setara untuk proses dan hasil,
(7) tingkat pegambilan resiko yang lebih tinggi, dan
(8) toleransi ketidakjelasan dan ketidakmampuan prediksi yang tinggi (DePree, 1986).
Teori manajemen SDM stratejik sering digunakan sebagai kerangka kerja dasar untuk investigasi strategi SDM dan kinerja perusahaan. Menurut Wan dkk (2000), seperti yang telah dibahas sebelumnya, saat ini terdapat tiga perbedaan utama dalam pendekatan teoritis untuk memahami teori SDM stratejik yang terdapat pada literatur manajemen SDM, antara lain pendekatan perspektif universalistic, contingency dan configurational. Ketiga pendekatan tersebut merupakan salah satu perspektif terintegrasi yang banyak digunakan untuk memahami praktek SDM, strategi organisasi dan kinerja perusahaan seperti yang di gunakan sebagai dasar peneltian yang dilakukan pula oleh Erras (2002). Praktek dan sistem SDM di desain berdasarkan permasalahan yang relevan, misalnya di dasarkan pada asumsi efektivitas pendekatan universalistic, contingency, configurational, maupun idiosyncratic. Namun demikian terdapat pula pendekatan obyek, dimana tergantung dari bagian karyawan yang dipilih dalam penerapan praktek SDM tersebut, di dalam istilah SDM sering disebut sebagai generalism (diberlakukan menyeluruh bagi seluruh individu organisasi) dan segmentation (diaplikasikan pada satu bagian atau beberapa bagian kelompok individu organisasi). Desain sistem SDM yang dirancang dan dilaksanakan umumnya dipengaruhi oleh strategi organisasi yang dipilih (pendekatan kontijensi). Teori RBV (resource-based view of the firm) di adaptasikan untuk melihat sisi stratejik SDM dalam membangun keunggulan kompetitif maupun korelasi pengaruh strategi organisasi dan praktek SDM yang akan dipilih. Erras (2002) melihat adanya “HR Outcomes” dan “Organizational Performance” di dalam model ini sebagai konsekuensi logis yang saling berkaitan, dimana dari sisi perilaku SDM yang dihasilkan merupakan indikator kinerja organisasi yang menghasilkan indikator-indikator finansial.
Perspektif universalistik adalah bentuk paling sederhana dari model teoritis dalam literatur manajemen SDM strategik. Perspektif universalistik mengupayakan “praktek terbaik” manajemen SDM. Sehingga melalui pendekatan ini para peneliti ini yakin bahwa beberapa praktek manajemen SDM selalu lebih baik daripada praktek lainnya. Selain itu, perusahaan yang menerapkan praktek-praktek ini akan menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik. Dalam kelompok pemikiran ini, ada konsensus yang berkembang tentang praktek manajemen mana yang dianggap sebagai strategik. Tujuan praktek secara konsisten di identifikasi sebagai praktek SDM strategik (Osterman, 1987, Sonnerfeld dan Perperl 1988). Praktek pertama, peluang karir internal, mengacu pada penggunaan pasar internal. Organisasi dapat memilih untuk mempekerjakan karyawan secara dominan dari dalam atau dari luar. Praktek kedua, sistem pelatihan, mengacu pada jumlah pelatihan formal yang diberikan untuk karyawan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilihan dan sosialisasi. Ketiga, penghargaan dapat didasarkan pada hasil atau perilaku. Penghargaan berdasarkan perilaku terfokus pada perilaku individu yang diperlu kan untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif, sedangkan penghargaan berorientasi hasil terfokus hanya pada konsekuensi perilaku tersebut. Keempat, rencana pembagian keuntungan, yang menghubungkan gaji dengan kinerja organisasi. Praktek kelima, berkaitan dengan sejauh manajemen karyawan diberi jaminan keamanan oleh perusahaan serta implikasinya. Keenam, mekanisme opini (voice mechanism), baik sistem keluhan formal dan partisipasi dalam pembuatan keputusan, telah muncul sebagai faktor utama. Ketujuh, sekaligus sebagai elemen terakhir adalah sejauh mana pekerjaan secara ketat atau secara sempit didefinisikan. Pekerjaan yang didefinisikan secara ketat adalah pekerjaan dimana karyawan tahu dengan sangat baik isi pekerjaan itu. Banyak penelitian telah mendukung prediksi universalistik. Leonard (1990) mendapati bahwa organisasi yang memiliki rencana insentif jangka panjang untuk para eksekutifnya memiliki peningkatan yang lebih besar dalam ROE selama periode empat tahun daripada organisasi lainnya. Abowd (1990) membuktikan bahwa sejauh mana kompensasi manajerial dikaitkan dengan kinerja finansial sebuah organisasi secara signifikan dikaitkan dengan kinerja finansial mendatang. Gerhart dan Milkovich (1990) menemukan bahwa pay mix berkaitan dengan kinerja finansial. Terpstra dan Rozell (1993) mengemukakan lima praktek staffing terbaik dan menyimpulkan bahwa penggunaan praktek praktek ini memiliki hubungan positif dengan hasil tingkat organisasi. Secara keseluruhan, tingkat dukungan yang diberikan untuk prediksi universalistik mengindikasikan bahwa perspektif universalistik adalah perspektif teoritis yang valid untuk manajemen SDM strategik.
Penerapan teoritik perspektif universal juga mendapat banyak kritikan dari praktisi dan peneliti. Kritikan-kritikan tersebut antara lain : pertama, organisasi yang tidak menerapkan praktek SDM terbaik ternyata juga menghasilkan return yang lebih besar. Huselid (1995) menunjukkan bahwa organisasi mungkin tidak dapat mempertahankan keunggulan kompetitif melalui penerapan apa yang disebut praktek terbaik karena praktek ini mudah ditiru. Maka, bahkan bila sebuah organisasi menerapkan praktek ‘terbaik’ ini, organisasi itu hanya mungkin meraih keunggulan kompetitif jangka pendek dan menikmati kinerja superior sementara waktu. Kedua, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) menunjukkan bahwa ada hubungan yang lebih kompleks antara manajemen strategik SDM dan kinerja organisasi. Beberapa praktek SDM lebih sesuai dalam kondisi strategik tertentu dan kurang sesuai dalam kondisi strategik lainnya. Misalnya, hanya praktek pembagian keuntungan, penghargaan berorientasi hasil, dan keamanan karyawan yang memiliki hubungan universal yang relatif kuat dengan pengukuran kinerja akuntansi.
Teori teori kontingensi mengemukakan bahwa sebuah organisasi perlu menerapkan praktek/kebijakan SDM tertentu untuk bermacam strategi perusahaan. Maka, untuk menjadi efektif, kebijakan SDM dari sebuah perusahaan harus sesuai dengan aspek aspek organisasi lainnya. Strategi sebuah organisasi memerlukan prasyarat perilaku tertentu agar berhasil, dan penggunaan praktek SDM dalam organisasi dapat menghargai atau mengkontrol perilaku karyawan. Ada banyak cara dimana kebijakan dan praktek SDM dapat digunakan untuk mendapatkan perilaku karyawan yang sesuai dengan strategi organisasi. Karena perilaku merupakan fungsi kemampuan dan motivasi, sebuah organisasi dapat membentuk sistem dan praktek SDM yang memastikan bahwa individu individu dengan kemampuan yang diperlukan dipekerjakan dan dipertahankan. Mereka dapat menggunakan praktek praktek SDM untuk memastikan bahwa karyawan termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan strategi bisnis (Kerr & Jakosfy, 1989; Fama & Jensen, 1983).
Namun, menurut Delery dan (1996), perspektif ini juga mendapatkan kritik. Mereka menemukan hanya tiga praktek SDM (partisipasi, penghargaan berorientasi hasil, dan peluang karir internal) yang sesuai dengan perspektif kontingensi. Lebih banyak penelitian empiris dan teoritis diperlukan untuk mengkaji perspektif ini secara menyeluruh. Perspektif konfigurasional dalam manajemen SDM strategik dikaitkan dengan bagaimana pola aktivitas dan pengelompokan SDM yang terencana dan majemuk mencapai tujuan organisasi. Dengan sistim tersebut, sebuah organisasi harus mengembangkan sebuah sistem SDM yang mencapai kesesuaian horisontal dan vertikal (Becker & Gerhart, 1996). Kesesuaian horisontal mengacu pada konsistensi internal praktek atau kebijakan SDM organisasi, dan kesesuaian vertikal mengacu pada kongruensi sistem SDM dengan karakteristik organisasi lainnya, seperti strategi perusahaan.
Ada tiga prinsip utama yang mengarahkan perspektif konfigurasional ini. Pertama, perspektif ini berasumsi pada prinsip holistik investigasi untuk mengidentifikasi konfigurasi, atau pola unik faktor-faktor, yang diperkirakan secara maksimal akan efektif. Konfigurasi ini menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dan interaksi urutan yang lebih tinggi yang secara tidak normal ditunjukkan oleh teori-teori kontingensi bivarian tradisional (traditional bivariate contingency theories). Kedua, teori konfigurasional menyatukan asumsi ekuifinalitas (equifinality) dengan perkiraan bahwa banyak konfigurasi unik dari faktor faktor yang relevan dapat menghasilkan kinerja maksimal. Ketiga, konfigurasi ini diasumsikan menjadi tipe ideal yang merupakan elemen teoritis bukan fenomena yang secara empiris dapat diamati (Venkatraman & Prescott, 1990; Doty & Glick, 1994; Meyer, Tsui dan Hining, 1993).
Sejumlah penulis telah berupaya untuk mengembangkan tipologi sebelumnya dari sistem SDM yang efektif dan menghubungkan kinerja sistem SDM dengan strategi perusahaan. Miles dan Snow (1984) mengembangkan banyak kombinasi praktek manajemen SDM yang sama efektifnya dan menyatakan bahwa praktek SDM yang berbeda disesuaikan untuk strategi perusahaan yang berbeda pula. Arthur (1992) juga menyatakan bahwa semakin dekat praktek SDM sebuah organisasi mencerminkan sistem kepegawaian prototipe yang tepat (untuk strategi bisnisnya), semakin besar kinerjanya bagi perusahaan. Demikian juga, MacDuffie (1995) telah menurunkan konfigurasi khusus, berupa bundel praktek SDM untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Salah satu keterbatasan utama dari perspektif konfigurasional adalah bahwa meskipun konfigurasi ideal dapat menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dari dimensi yang digunakan untuk membentuk konfigurasi, akan tetapi secara empiris tidak dapat dibuat argumen kuat bahwa sinergi diantara praktek SDM yang sedang dikaji akan meningkatkan kinerja organisasi (Delery & Doty 1996). Kedua, meskipun sebagian besar ahli teori konfigurasi mengemukakan bahwa multiple konfigurasi efektif sesuai parameter yang relevan, namun penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) hanya mengidentifikasi konfigurasi SDM tunggal yang menghasilkan kinerja yang lebih baik.Dengan kata lain, perspektif konfigurasi masih merupakan kerangka kerja yang sangat spekulatif tanpa banyak dukungan empiris. Maka pengembangan teori tambahan dan pengujian diperlukan untuk validasi efektivitas perspektif ini,

Kerangka Analisis Hubungan MSDM dan Kinerja
Konsep manajemen sumber daya manusia (MSDM) memiliki sejarah panjang dan kompleks yang berkaitan dengan praktek-praktek ketenagakerjaan. Dalam era 1980-an ketertarikan yang luar biasa para akademisi semakin bertambah dengan kemunculan istilah dan model –model pengembangan MSDM (Purcell & Ahlstrand 1994). Model awal MSDM seperti yang dimunculkan oleh Beer dkk (1984), Fombrun dkk (1984), Guest (1989) masih merupakan gambaran konsep-konsep yang luas dan masih belum berdasarkan bukti-bukti empiris yang mendukung validitas model-model tersebut. Perluasan dari kosep MSDM menuju konsep MSDM Stratejik bahkan telah menjadi bidang khusus MSDM (Boxall 1992, Delery & Doty 1996, Huang 2000), sementara bagi pakar lainnya, MSDM Stratejik sudah menjadi disiplin ilmu manajemen baru (Wright & McMahan 1992). Topik-topik yang berkaitan dengan MSDM Stratejik umumnya berkaitan antara strategi organisasi dan MSDM, maupun hubungan MSDM dengan kinerja organisasi (Khatri 2000). Penelitian-penelitian empiris pada tahun 1990 dalam bidang MSDM sudah banyak yang meneliti topik-topik MSDM stratejik tersebut. Penelitian seperti yang dilakukan oleh Becker & Gerhart (1996) hingga Bae & Lawler (2000) merupakan salah satu dari sekian penelitian yang mengambil topik seperti yang ditegaskan oleh Khatri.
Menurut Paauwee & Richardson (2001), fokus penelitian empirik yang menguji hubungan MSDM dan kinerja saat ini sudah berada pada tahap puncaknya. Sebagian besar dari penelitian yang dilakukan pada dasawarsa 1990-an mampu membuktikan secara statistik hubungan yang sangat kompleks antara MSDM dan kinerja organisasi (Misalnya : Arthur 1994, Huselid 1995, Ichniowski dkk., 1997). Meskipun penemuan-penemuan tersebut sangat “merangsang” bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut seputar topik MSDM dan kinerja organisasi, akan tetapi masih menyisakan “kurangnya”–nya penelitian yang menekankan pada proses – proses yang terlibat di dalam keterkaitan hubungan sebab akibat – atau hipotesis hubungan MSDM terhdap kinerja orgaisasi, misalnya melalui kinerja karyawaan (employee outcomes) berupa sikap perilaku (attitudes) dan komitmen yang ada. Sebagian besar di dalam riset yang dilakukan sebelumnya masih berupa pendekatan perilaku yang cenderung sebagai asumsi daripada diuji secara empirik (Purcell 1999). Sebagai konsekuensinya, penelitian-penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk melakukan studi lebih lanjut yang berfokus pada “proses yang terlibat”, proses dimana MSDM dapat berkontribusi secara langsung bagi kinerja organisasi (Becker & Gerhart 1996, Becker dkk 1997, Purcell 1999, Erras 2002). Proses-proses yang terlibat dalam hubungan antara MSDM dan kinerja organisasi tersebut masih sangat banyak. Proses-proses tersebut oleh sebagian besar peneliti MSDM disebut sebagai “black box” yang harus diungkap dan dikuak secara empiris, termasuk didalamnya keselarasan dengan budaya organisasi yang berorientasi pada kinerja TQM, yang saat ini banyak diaplikasikan organisasi perusahaan. Meskipun terdapat kemajuan dalam riset-riset terbaru yang ada, baik dalam desain penelitian (research design), metodologi dan pengujian kausalitas secara langsung, akan tetapi hal tersebut masih menyisakan kesenjangan penelitian (research gaps) yang dapat diuji secara empirik menyangkut “proses” yang mendukung hubungan positip MSDM dan kinerja organisasional.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah sebuah konsep disiplin ilmu yang memiliki akar tersendiri. Banyak akademisi yang tertarik pada konsep tersebut, yaitu apakah MSDM berbeda secara substansi dengan ’manajemen personalia’ ataukah hanya berbeda secara istilah, hal tersebut telah menjadi perdebatan dalam banyak literatur MSDM. Sehingga tidak mengherankan bila MSDM dijelaskan dengan bermacam-macam definisi, dan untuk menghindari perbedaan pemahaman, maka di dalam riset ini akan menggunakan definisi yang dikembangkan oleh Storey (1995) yang menjelaskan “HRM is a distinctive approach to employment management which seeks to achieve competitive advantage through the strategic deployment of a highly committed and capable workforce, using an integrated array cultural, structural and personnel techniques.”
Definisi dari Storey diatas memiliki keunggulan, yaitu : pertama, karakterisasi MSDM sebagai sebuah pendekatan khusus dalam mengelola orang, kedua, hasil yang dicapai berupa tenaga kerja yang memiliki komitmen dan kompeten, ketiga, adanya pengaruh positif sebagai keunggulan kompetitif organisasi ataupun pengaruh pada kinerja organisasi. Tiga muatan definisi yang disampaikan oleh Storey akan dijadikan karakterisasi pembahasan konseptual dan pengujian empiris MSDM. Definisi tersebut akan senantiasa muncul melalui pengulangan-pengulangan pada penjelasan model dan dan bangunan teori yang dikembangkan dalam riset ini.
Saat ini, telaah literatur penelitian SDM umumnya terbagi di dalam 2 (dua) area utama, yaitu :
1. Pengembangan alat ukur praktek MSDM yang efektif.
2. Penerapan pengukuran kinerja organisasi terkait dengan praktek MSDM yang efektif.
Becker & Gerhart (1996) menemukan bahwa dari telaah 5 literatur penelitian yang mereka lakukan hanya menemukan praktek “problem-solving groups” dan “self-directed team” yang digunakan sebagai indikator praktek MSDM pada 4 riset yang dilakukan sebelumnya. Begitupula yang dilakukan oleh Dyer & Reeves (1995) yang mencatat dari 4 riset yang mereka review, hanya satu praktek MSDM yang menjadi indikator bersama, sementara 22 dari total 28 indikator praktek MSDM hanya muncul sekali dalam masing-masing riset-nya. Terlihat ada berbagai macam opini yang berkaitan dengan praktek MSDM, akan tetapi dalam riset yang dilakukan para peneliti cenderung dibatasi pada praktek-praktek tertentu. Misalnya Kalleberg & Moody (1994) menggunakan praktek MSDM berupa rekruitmen, Patterson dkk (2000) menguji efek interaksi sistem manufaktur terpadu (integrated manufacturing) dengan program “pemberdayaan” karyawan yang meliputi praktek seleksi karyawan, pembentukan teamwork, praktek penilaian kinerja – namun tidak memunculkan indikator praktek komunikasi maupun sistem kompensasi..
Terkait dengan ruang lingkup penelitian ini untuk menggali domain praktek MSDM yang memberikan kontribusi bagi kinerja organisasional, maka telaah literatur penelitian terdahulu diperlukan untuk mengembangkan konsep praktek MSDM yang dapat diakui sebagai praktek signifikan yang secara umum telah berhasil diaplikasikan oleh sebagai besar perusahaan modern dan maju. Dari kajian literatur yang dilakukan, meskipun terdapat inkonsistensi terhadap konsep pendekatan studi yang dilakukan oleh para peneliti, akan tetapi terdapat kesepakatan dalam beberapa praktek MSDM yang ada di dalam perusahaan. Praktek MSDM tersebut misalnya : kerja tim, self-managed & self-directed teams, fleksibilitas dalam job design, program seleksi & rekruitmen, program pelatihan formal, problem-solving teams, program formal peningkatan partisipasi & keterlibatan karyawan, otonomi dalam pengambilan keputusan, penilaian kinerja secara formal (formal performance appraisals), kesempatan promosi internal, sistem insentif yang terkait dengan kinerja, upah yang lebih baik, sistem profit sharing & share options, komunikasi formal secara berkala antara manajemen & karyawan hingga survei perilaku karyawan dan jaminan keamanan dalam bekerja merupakan bukti empiris yang banyak digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan meski terdapat ketidaksepakatan praktek MSDM yang ada tetapi terdapat persamaan dalam banyak studi seperti halnya arah riset & prinsip-prinsip praktek MSDM lainnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan pengembangan domain praktek MSDM di dalam penelitian ini. Penggalian domain dan praktek MSDM menjadi sangat signifikan, mengingat di daalam penelitian in bertujuan untuk mengembangkan model konseptual yang dapat digunakan sebagai referensi organisasi di dalam mengembangkan dan melaksanakan strategi bisnisnya. Praktek MSDM mencakup banyak aspek dari hal yang bersifat peran administratif, legal compliance hingga peran stratejik dalam manajemen perubahan, penciptaan nilai, TQM dan keunggulan kompetitif. Terdapat keterkaitan yang erat antara peran SDM terhadap penciptaan budaya, misalnya melalui penciptaan desain organisasi, pengembangan SDM yang kompeten, fleksibel dan inovatif bagi perusahaan maupun peran sentral dalam inisiatif implementasi improvement tools di dalam perusahaan.
Beer dkk (1984) telah mencoba mengembangkan model praktek SDM di dalam sebuah kerangka kerja yang mendeskripsikan peta MSDM yang dikaitkan dengan kinerja organisasi, Gambar 2.5. Model ini sering disebut sebagai ‘Harvard framework’ dan dijadikan rujukan dasar setiap pengembangan model konseptual penelitian MSDM. Meskipun demikian kritik atas model ini muncul karena ketidak jelasan antara praktek SDM dan kinerja organisasi yang mampu menghasilkan model yang dapat di uji secara langsung (testable) model. Guest (1987; 1997) menyempurnakan framework yang dikembangkan oleh Beer dkk (1984) dengan sebuah hubungan yang lebih jelas untuk pengujian setiap model penelitian praktek MSDM dan kinerja organisasi. Berikutnya setiap pengembangan model dalam penelitian SDM senantiasa menggunakan krangka Beer dan atau dari Guest. Guest (1987; 1997) merangkum sebuah model yang mudah dipahami terkait dengan variabel-variabel empririk yang mudah diuji dalam sebuah penelitian dan banyak peneliti yang mempergunakannya.
Stakeholder Interest
· Shareholders
· Management
· Employee Groups
· Government
· Community
· Unions
Situational Factors
· Workforce characteristic
· Business strategy
· Business philosophy
· Labour market
· Unions
· Technoclogy
· Social Values
· Technology
HRM Policy
· Choiches
· Employee influences
· HR flow
· Reward systems
· Work systems
HRM Outcomes
· Commitment
· Competence
· Congruence
· Cost reduction
Longterm Consequences
· Shareholders
· Individual well -being
· Organizational effectiveness
· Societal well-being
Gambar Model Praktek MSDM
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
Namun demikian kritik senantiasa bekembang seiring dengan pesatnya penelitian dibidang SDM, yaitu perlunya kejelasan orientasi strategi pada tataran organisasi sebelum mendefinisikan model strategi SDM yang akan dikembangkan, Boxall (1992). Masih banyak aspek stratejik yang belum tersentuh pada banyak model penelitian yang sudah dikembangkan. Misalnya saja keterkaitan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja organisasi yang berfokus pada standar kinerja organisasi yang semakin banyak digunakan organisasi perusahaan saat ini, yaitu kriteria Baldrige. Tabel 2.1 menunjukan keterkaitan strategi MSDM, praktek MSDM dan kinerja organisasi.
Tabel 2.1 Keterkaitan MSDM dan Kinerja
HRM Strategy HRM Practices HRM Outcomes Behaviour Outcomes Performances Outcomes Financial Outcomes
Differentiation
(Innovation)
Focus
(Quality)
Cost
(Cost Reduction)
Selection
Training
Appraisal
Rewards
Job Design
Involvement
Status and Security
Commitment
Quality
Flexibility
Effort/Motivation
Cooperation
Involvement
Organizational Citizenship
HIGH:
· Productivity
· Quality
· Innovation
LOW:
· Absence
· Turnover
· Conflict
· Customer complaint
PROFITS
ROI
Sumber : Guest (1987; 1997)
Praktek-praktek SDM dikatakan merupakan seperangkat terpadu (bundles), jika praktek tersebut muncul dalam jumlah yang cukup lengkap, secara mutual saling menekankan atau sinergis (Dyer & Holder, 1988). Dua faktor penting ditekankan, yaitu kesesuaian internal dan kesesuaian eksternal. Kesesuaian internal memerlukan koordinasi atau kongurensi diantara bermacam praktek manajemen SDM dalam sebuah organisasi (Schuler & Jackson, 1987; Wright & McMahan, 1992; Wright & Snell, 1991). Kesesuaian eksternal berarti bahwa praktek manajemen SDM dikaitkan dengan tujuan organisasi atau strategi bisnis (Lengnick-Hall & Lengnick-Hall, 1988; Wright & Mchahan, 1992). Berdasarkan konsep-konsep dasar yang telah dibahas sebelumnya serta penelitian-penelitian yang lain, diajukan Proposisi Satu berikut ini :
Proposisi Satu
Strategi Binis, Strategi SDM dan praktek MSDM
(1) Praktek manajemen sumberd daya manusia perusahaan sangat dipengaruhi oleh strategi manajemen sumberdaya manusia yang dipilih. Selanjutnya setiap strategi bisnis yang diambil sangat berpengaruh pada pilihan-pilihan strategi SDM yang akan diterapkan. Dengan demikian strategi MSDM dan praktek MSDM yang dijalankan harus konsisten dengan strategi bisnis yang diaplikasikan. Ketidak-sesuaian antara strategi binis, strategi MSDM dan praktek MSDM akan dapat berakibat pada kurang efektifnya roda organisasi.
Proposisi Satu ini disajikan secara piktografis disajikan dalam Gambar 2.6 berikut ini.
Gambar 2.6 Proposisi Satu
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
2.2.Keterkaitan Praktek MSDM dan TQM
Para peneliti telah menekankan adanya pengaruh signifikan MSDM bagi kinerja organisasi, MSDM memiliki peran utama dalam pencapaian sasaran, memenangkan kompetisi dan mendukung kesuksesan jangka panjang dalam lingkungan bisnis yang sukar di prediksi. Lebih lanjut sejumlah peneliti bahkan telah berupaya untuk mengukur pengaruh praktek MSDM terhadap kinerja perusahaan, baik dari sisi kepuasan karyawan hingga ‘market value’ perusahaan (Beckel & Huselid, 1998; Kalleberg & Moody, 1994). Namun demikian ternyata banyak peneliti dan praktisi kurang sepakat seputar aspek-aspek dalam praktek MSDM yang harus diukur. Beberapa peneliti SDM merekomendasikan beberapa domain praktek MSDM yang dapat berpengaruh bagi kinerja organisasi (Ulrich 1997; Ulrich & Lake 1990; Watson Wyatt, 2001).
Ulrich dan Lake (1990) menyebutkan 6 domain praktek MSDM yang efektif, yaitu: penempatan tenaga kerja (staffing), pelatihan dan pengembangan (training & development), penilaian kinerja (performance appraisal), sistem imbalan kinerja (employee performance rewards), desain organisasi (organization design) dan komunikasi (internal communication). Menurut mereka staffing merupakan domain yang penting bila dibandingkan praktek manajemen lainnya mengingat kualitas SDM organisasi memiliki peran yang sangat signifikan pada kesuksesan jangka panjang organisasi. Pelatihan dan pengembangan karyawan memiliki peran penting ketika sebuah organisasi memutuskan untuk membangun kompetensi SDM organisasi. Upaya untuk meningkatkan sikap dan perilaku pekerja secara konsisten dengan kompetensi yang dikembangkan dilakukan melalui serangkaian aktivitas, mulai dari penilaian kinerja hingga pelaksanaan sistem imbalan (Ulrich & Lake, 1990). Ulrich dan Lake (1990) menyatakan bahwa desain organisasi dan komunikasi dibutuhkan dalam praktek MSDM untuk memastikan kompetensi organisasi tumbuh dan terpelihara selaras dengan praktek MSDM yang telah diaplikasikan, misalnya staffing, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja dan praktek sistem imbalan.
Menurut Ulrich dan Lake (1990) untuk menganalisis praktek MSDM secara lebih rinci, sebuah organisasi perusahaan harus memulainya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan domain praktek MSDM yang ada, seperti dalam Tabel 2.2 dibawah.
Tabel 2.2. Pertanyaan Domain Praktek MSDM
No Domain Pertanyaan-Pertanyaan
1 Penempatan (Staffing) · Siapa yang direkruit ke dalam organisasi ?
· Siapa yang dipromosikan di dalam organisasi ?
· Siapa yang di “keluarkan” dari organisasi ?
2 Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development) · Bagaimanakah pelatihan mampu meningkatkan kompetensi karyawan ?
· Bagaimanakah kegiatan-kegiatan pengembangan lainnya dapat meningkatkan kompetensi karyawan ?
3 Penilaian Kinerja (Performance Appraisal) · Apa standar kinerja individu, kelompok dan departemen di dalam organisasi ?
· Bagaimanakah mekanisme umpan balik bagi karyawan terkait “seberapa jauh” kinerjanya memenuhi target yang telah ditetapkan ?
4 Sistem Imbalan
(Reward Sistem)
· Apa kriteria yang digunakan untuk memilih sistem imbalan yang digunakan ?
· Apa saja bentuk imbalan finansial/non finansial yang diaplikasikan untuk meningkatkan perilaku positip karyawan ?
5 Desain Organisasi (Organizational Design) · Apa bentuk organisasi yang dipilih, berapa level (layer), bagaimana peran dan tanggung jawab, akuntabilitas karyawan ?
· Bagaimana sistem tata kelola ditetapkan di dalam organisasi untuk mengalokasikan tanggung jawab dan menjamin akuntabilitas ?
· Apa proses yang dilakukan untuk melakukan penilaian ulang desain organisasi secara berkala ?
6 Komunikasi (Internal Communicstion) · Apa saja informasi yang disampaikan kepada karyawan ?
· Siapa saja yang terlibat dalam penyampaian informasi dan penerima informasi ?
· Bagaimanakah informasi dapat disampaikan secara efektif ?
Sumber: diadaptasikan dari Ulrich dan Lake (1990)
Watson Wyat (2001) mengembangkan indek SDM (human capital index) untuk meneliti hubungan antara SDM dan kinerja finansial perusahaan. Indeks SDM yang dikembangkan oleh Watson Wyat meliputi 6 praktek MSDM: sistem imbalan dan akuntabilitas, fleksibilitas kerja, rekruitmen, komunikasi, teknologi yang terkait MSDM dan penggunaan sumber daya secara efektif dan bijaksana (prudent). Sistem imbalan dan akuntabilitas merujukan pada keselarasan compensation & benefit dan sistem reward berbasis kinerja. Fleksibilitas di tempat kerja meliputi kepemimpinan manajemen, kepuasan kerja dan kerja tim. Rekruitmen terkait dengan praktek-praktek penerimaan pekerja, strategi penerimaan pekerja dan orientasi karyawan. Komunikasi menekankan pada saluran komunikasi dan sistem yang ada. Sedangkan teknologi yang terkait MSDM memiliki sasaran pada peningkatan akurasi, layanan dan efektivitas biaya operasional SDM. Efektifitas penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya praktek manajemen kinerja, penilaian karyawan menggunakan sistem 360-feedback dan evaluasi karyawan. Menurut Watson Wyat, kelima praktek MSDM tersebut, terkecuali prudent, memiliki pengaruh positip terhadap nilai pasar organisasi (organizational market value). Prudent memiliki hubungan negatif terhadap nilai pasar.
Sebuah studi “best practices” yang dilakukan oleh Cornell University (1999) menyebutkan ada 6 (enam) praktek terbaik MSDM, yaitu : pengukuran dan peningkatan kepuasan dan loyalitas karyawan, desain sistem seleksi dan retension, peningkatan pelatihan dan pengembangan karyawan, desain sistem remunerasi dan imbalan, desain strategi penilaian karyawan dan standar kinerja, serta praktek manajemen keberagaman (diversity management).
Berdasarkan telaah literatur, ukuran-ukuran praktek MSDM dalam penelitian ini akan digolongkan menjadi 6 (enam) domain, yaitu: (1). Penempatan SDM (Staffing), (2). Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development), (3). Penilaian Kinerja (Performance Appraisal), (4). Sistem Imbalan Kinerja (Performance Rewards), (5). Hubungan Karyawan (Employee Relations) dan (6). Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication). Keenam domain tersebut selaras dengan kebutuhan dan peran MSDM di dalam membantu pencapaian bisnis perusahaan, juga memiliki kontribusi nyata dalam pengembangan ”soft factors” di dalam implementasi TQM perusahaan (Wilkinson dkk, 1996). MSDM sangat berperan dalam perubahan budaya organisasi menuju budaya TQM melalui praktek-praktek penempatan tenaga kerja, rekruitmen, appraisal, pengembangan sistem imbalan, pelatihan dan orientasi pekerja (Clinton dkk, 2001).
2.2.1 Penempatan Tenaga Kerja (Staffing)
Penempatan tenaga kerja termasuk di dalamnya aktivitas perencanaan (planning & forecasting), rekruitmen, dan seleksi karyawan. Rekruitmen SDM yang tepat merupakan fungsi MSDM yang paling penting (Crowley, 1999; Johnson, 2000). Jika perusahaan merekruit seseorang yang tepat pada saat pertama (first time right), maka perusahaan dapat memperkecil biaya, waktu dan upaya pengembangan-nya. SDM yang berkualitas bukan sekedar memenuhi kebutuhan ketika direkruit, tetapi dia harus mampu meningkatkan kapabilitas dirinya secara terus menerus seiring dengan kebutuhan dan tantangan perusahaan. Memilihi SDM yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan akan berdampak pada penurunan keluar masuknya tenaga kerja (labor turn over) yang pada gilirannya akan meningkatkan retensi karyawan yang berkualitas. Lebih lanjut dapat ditegaskan bahwa praktek-praktek penempatan tenaga kerja akan mampu meningkatkan kinerja finansial, hasil ini secara otomatis akan meningkatkan kinerja orgnisasi secara keseluruhan (Tepstra dan Rozell, 1993). Sebagai contoh, Southwest Airlines, perusahaan penerbangan ini meyakini bahwa penerimaan SDM yang berkualitas adalah kunci sukses perusahaannya (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001), pertanyaannya adalah seberapa jauh perusahaan dapat mencari dan mengidentifikasi kandidat pelamar benar-benar tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Suksesnya penempatan tenaga kerja dimulai dengan perencanaan tenaga kerja yang akurat. Perencanaan tenaga kerja mempertimbangkan kebutuhan mendatang terkait penawaran dan pemintaan (supply & demand). Perencanaan tenaga kerja juga meruapakan kunci utama pengambilan keputusan untuk menentukan standar SDM (core talents) yang akan direkruit. Standar SDM inilah yang menjadikan Southwest Airlines menetapkan minimal potensial yang harus dimiliki seoarang calon karyawan yang akan memberikan kontribusi bagi kesuksesan organisasi (Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001).
Penempatan tenaga kerja untuk mengisi posisi kosong di dalam struktur organisasi dapat dilakukan melalui sumber internal maupun eksternal. Rekruitmen internal memiliki keuntungan berupa efisiensi biaya dan meningkatkan motivasi serta moral karyawan berupa apresiasi atas hasil kerja, hal ini dilakukan baik secara mutasi (horisontal) maupun promosi (vertikal). Teori Hygiene (Herzberg, 1966) menjelaskan bahwa internal rekruitment merupakan penghargaan atas kinerja yang baik dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk kemajuan dan perkembangannya. Herzberg (1966) menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan ini merupakan penghargaan bagi karyawan sehingga dapat menghasilkan kepuasan kerja, hal ini selaras dengan pernyataan “pekerja yang bahagia akan berkinerja lebih baik dibandingkan pekerja yang kurang bahagia” (Brayfield & Crockett, 1955; Iaffaldano & Muchinsky, 1985; Judge, Bono, Thoresen, & Patton, 2001). Namun demikian, rekruitmen internal memiliki beberapa kelemahan (Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy, 2001), diantaranya menghasilkan organisasi yang lebih “tertutup” dan kecenderungan kandidat internal yang umumnya memiliki perspektif bisnis dan kemampuan manajemen yang terbatas. Rekruitmen internal juga berimplikasi pada investasi pelatihan dan pengembangan yang lebih intensif selain itu dapat berdampak pada problema politis diantara pekerja (political infighting). Menurut Saratoga Institute Report (2001), disebutkan bahwa kandidat sumber internal berimplikasi pada ekstra biaya yang lebih besar yang dapat berimplikasi pada penurunan profit.
Alternatif selain rekruitmen internal adalah melakukan rekruitmen kandidat yang memiliki potensi dari eksternal. Rekruitmen eksternal memiliki beberapa keunggulan dibandingkan rekruitmen internal (Gomez Meijia dkk, 2001). Kandidat dari eksternal lebih sering membawa ide-ide baru dan keunikan tersendiri (talent), memberikan “darah segar”, dan membantu pemenuhan praktek kesetaraan di tempat kerja (equal employment opportunity). Hal yang patut dipertimbangkan adalah rekruitmen secara eksternal akan dapat menyebabkan permasalahan bagi kandidat internal bilamana akhirnya yang terpilih justru kandidat eksternal, situasi ini mengakibatkan kekecewaan bagi kandidat internal dan akan menyalahkan manajemen bila terbukti kegagalan dalam pengisian posisi.
Pada saat perusahaan melakukan identifikasi jenis SDM yang dibutuhkan dan melakukan seleksi kandidat yang memiliki prospek, maka diperlukan metoda untuk memilih seorang kandidat lebih cocok dibandingkan kandidat pelamar lainnya. Gomez-Meija dkk (2001), merekomendasikan 11 (sebelas) alat yang dapat digunakan sebagai prediktor kinerja seorang kandidat, yaitu : surat rekomendasi, formulir aplikasi, tes keterampilan teknis (ability), tes personality, tes psikologi, wawancara, assessment center, tes kecanduan narkoba (drug test), tes kejujuran (honesty test), cek referensi, dan tes tulisan tangan (graphology). Secara umum, sebagian besar yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan screening adalah wawancara, cek data pribadi, cek referensi dan rekomendasi, Yancey (2000). Interview terstruktur mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih valid dan paling banyak digunakan di berbagai organisasi perusahaan (Moscoso, 2000; Salgado, 1999). Namun demikian dalam tes awal biasanya dilakukan tes keterampilan, tes personality, dan tes psikologi karena dinilai memiliki prediksi kinerja yang cukup baik. Tes psikologi adalah teknik pengukuran potensi kandidat, kesesuaian antara potensi kandidat dan pekerjaan yang akan di-isi (Venne, 1987). Setelah perang dunia kedua, pemakaian alat tes psikologi di berbagai industri dan organisasi menjadi penting dalam rekruitmen di Amerika hingga tahun 1960-an (Berger & Ghei, 1995). Pemakaian alat tes ini kemudian berkurang setelah dikeluarkannya Civil Rights Act 1964, pada Bab VII yang membahas kesetaraan kerja (EEO). Penurunan penggunaan alat tes psikologi mengingat munculya praktek diskriminasi dan pemakaian alat tes yang tidak digunakan secara tepat pada waktu itu. Akan tetapi saat ini perkembangan penggunaan alat tes ini sudah sedemikian pesat, McHenry (1997) dalam penelitiannya menemukan pemakaian alat tes psikologi tumbuh hingga 65% dari tahun 1980 hingga 1990. Sedangkan menurut SHRM (Society for HRM), sekitar 22% perusahaan di Amerika mempergunakan tes psikologi untuk menyeleksi kandidat posisi managerial (Ciarmello, 1998). Sedangkan Shaffer & Schmidt (1999) mengindikasikan 40% dari Top 100 Companies mengaplikasikan tes psikologi untuk seleksi karyawan.
Dalam studi yang dilakukan Cho & Woods’ (2000), menunjukan bahwa tes psikologi sangat efektif sebagai alat seleksi untuk menentukan kandidat yang tepat bagi organisasi. Tentunya apa yang ditemukan oleh Cho & Woods’ bukannya tanpa alasan, Terpstra dan Rozell (1993) meneliti hubungan praktek penempatan tenaga kerja terhadap laba tahunan, pertumbahan laba, pertumbuhan penjualan dan kinerja organisasi keseluruhan. Hasilnya menujukan hubungan yang sangat signifikan praktek penempatan tenaga kerja terhadap kinerja organisasi. Implementasi TQM membutuhan penempatan personalia yang kompeten baik secara individu maupun tim, oleh karena itu sebelum inisiatif-inisiatif di dalam TQM dilaksanakan – peran MSDM menjadi penting di dalam memetakan potensi pekerja sesuai dengan kebutuhan tim TQM. Kesalahan dalam penempatan personalia akan dapat mengakibatkan kegagalan implementasi TQM yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan kegagalan organisasi.
2.2.2. Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)
Swanson (1995) mendefinisikan pelatihan dan pengembangan sebagai “sebuah proses yang secara sistematis mengembangkan keahlian individual yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja”. Organisasi perusahaan secara stratejik mengimplementasikan program pelatihan dan pengembangan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pekerja sesuai kebutuhan saat ini ataupun mempersiapkan SDM perusahaan untuk menghadapi tuntutan kerja mendatang. Pelatihan dan pengembangan dimulai dengan identifikasi kebutuhan training dan evaluasi atas hasil pelatihan yang telah dilakukan.
Analisis kebutuhan pelatihan adalah “proses menentukan kebutuhan pelatihan organisasi yang bertujuan untuk menjawab apakah kebutuhan organisasi, tujuan organisasi, dan masalah organisasi dapat diselesaikan melalui pelatihan” (Arthur & Bennett, 2003). Dengan demikian pengukuran kebutuhan pelatihan (needs assessment) adalah sebuah proses identifikasi “kesenjangan (gap) antara kinerja optimal dan kinerja aktual” (Breiter & Woods, 1997).
Pengukuran kebutuhan training merupakan langkah awal yang sangat penting bagi pelaksanaan pelatihan (Breiter & Woods, 1997) dan dapat mempengaruhi secara signifikan suksesnya sebuah pelatihan dan pengembangan (Goldstein & Ford, 2002; Sleerzer, 1993; Zemke, 1994). Disamping hal tersebut, pada kenyataannya masih sedikit perusahaan yang mengukur kebutuhan pelatihan untuk desain dan pengembangan program pelatihan (Breiter & Woods, 1997). Masih sedikit penelitian yang menguji hubungan pengukuran kebutuhan training (needs assessment) terhadap hasil-hasil pelatihan yang dijalankan.
Apabila profil pekerjaan dan SDM yang akan di training teridentifikasi, selanjutnya program pelatihan dikembangkan dan dilaksanakan. Berikutnya setelah program pelatihan dan pengembangan selesai dilakukan maka efektivitas-nya harus di ukur. Merujuk pada sebuah studi, perusahaan di industri jasa membelanjakan biaya pelatihan rata-rata USD 837 per karyawan pertahun pada tahun 2002 (“Training expenses”, 2002). Berdasarkan perkiraan ini, belanja pelatihan untuk 100 karyawan diperkirakan USD 83,700 per tahun. Biaya investasi pelatihan ini belum termasuk hilangnya jam kerja dan produktivitas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan praktek manajemen untuk menghitung tingkat pengembalian pelatihan dan pengembangan (ROI on Training) bagi organisasi untuk meningkatkan profitnya.
Kirkpatrick (1956) merekomendasikan 4 (empat) level dalam mengukur efektivitas pelatihan. Empat level tersebut adalah mengukur reaksinya (reaction), pembelajaran (learning), perilaku (behavior) dan hasil (result). Pada pengukuran efektivitas pelatihan level reaksi, yang dikur adalah persepsi peserta pelatihan terkait “like & dislike” dari program pelatihan pelatihan yang di-ikuti. Pada tahap ini akan diperoleh informasi sebatas program pelatihan yang dilakukan, sedangkan ROI belum dapat di-ukur, atau dengan kata lain mengukur reaksi peserta pelatihan tidak mengungkapkan seberapa besar efektivitas pelatihan berkontribusi pada peningkatan nilai organisasi (organization’s value). Menurut Arthur dan Bennett (2003), evaluasi pelatihan pada level reaksi tidak menunjukan hubungan antara pelatihan dan efektivitasnya, namun pada kenyataannya paling banyak digunakan sebagai metoda evaluasi pelatihan. Pada penelitian yang lain (Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003) – sebuah riset meta analysis yang dilakukan Van Buren & Erskine (2002) terkait desain dan evaluasi pelatihan di perusahaan-perusahaan di Amerika Utara diperoleh data sesuai Tabel 2.3. dibawah.
Tabel 2.3 Evaluasi Pelatihan Model Kirkpatrick

No Tahap Evaluasi Jumlah Perusahaan (%)
1. Reaksi (Reaction) 78
2. Pembelajaran (Learning) 32
3. Perilaku (Behavioral) 9
4. Hasil (Result) 7
Sumber : Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003
Pengukuran efektivitas pelatihan level kedua adalah menilai hasil-hasil pembelajaran dari pelatihan yang dilakukan. Pada tahap ini di-ukur seberapa besar peningkatan pengetahuan, keterampilan sebelum dan sesudah pelatihan. Metoda ini dilakukan secara sederhana dengan melakukan pre-test dan post-test. Hasil-hasil pembelajaran yang diperoleh sangat dibutuhkan tetapi tidak menjamin “aplikasi pengetahuan yang diperoleh” (Tannenbaum & Yukl, 1992).
Level ketiga evaluasi pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur perilaku, melihat efeknya terhadap kinerja (Arthur & Benett, 2003). Pengukuran perilaku dilakukan dengan cara mengevaluasi perubahan perilaku kerja terkait dengan sebelum dan sesudah pelatihan. Meskipun pembelajaran dan perubahan perilaku belum secara langsung memberikan efek finansial, akan tetapi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku akan di-ikuti kinerja individu dan organisasi. Garavan (1997) menemukan peningkatan yang sangat signifikan dalam kualitas layanan pelanggan setelah pelatihan dilakukan pada sebuah perusahaan jasa.
Level keempat efektivitas pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur seberapa jauh pelatihan dan pengembangan berpengaruh bagi pencapaian sasaran organisasi. Pengukuran level 1-2-3 lebih berfokus pada skala individual sedangkan level ke-empat lebih menekankan pada level organisasional, misalnya ROTI (Return on Training Investment). Pada level ini, biaya dan keuntungan yang dihasilkan dari pelatihan dan pengembangan di-bandingkan, ROTI yang positip bila keuntungan (benefit) lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan.
Teori self-efficacy sudah sering digunakan untuk menjelaskan hubungan positif antara pelatihan dan pengembangan terhadap kesuksesan organisasi. Self efficacy merujuk pada “keyakinan pada kapabilitas seseorang dalam menjalankan tugas khusus” (Bandura, 1986; dan Saks, 1996). Para pakar teori pembelajaran sosial (Bandura, 1982, 1989; Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons, 1992) menyatakan bahwa kepercayaan yang ada dalam diri manusia mempengaruhi perilaku, aktivitas, usaha, pembelajaran dan kinerjanya (Omrod, 1999). Di dalam teori self-efficacy menjelaskan seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi senaniasa menetapkan target yang realistis, sukar dicapai namun dia tetap mencoba untuk meraihnya. Sebaliknya seseorang dengan self-efficacy yang rendah cenderung enggan dalam mendorong dirinya untuk pencapaian hasil yang maksimal. Penelitian menunjukan bahwa pelatihan dapat meningkatkan self-efficacy karyawan yang pada akhirnya akan bermuara pada kinerja (Gist, Stevens, & Bavetta, 1991; Martocchio, 1994). Tannenbaum, Mathieu, Salas, dan Cannon-Bowers (1991) dalam penenelitiannya menemukan peningkatan kinerja yang signifikan setelah selesai pelatihan. Tannenbaum dkk (1991) juga menemukan bahwa perilaku peserta pelatihan (post training attitude) dan kinerjanya memiliki keterkaitan yang sangat signifikan terhadap kadar self-efficacy peserta pelatihan.
Sejumlah studi menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan memegang peranan kunci di dalam pegembangan dan mempertahankan keunggulan kompetitif (Barret & O’Connel, 2001; Cho dkk, 2001; Saks, 1996). Pelatihan dan pengembangan memiliki peran signifikan secara langsung pada retensi karyawan (Panitz, 1999) dan secara signikan berpengaruh tidak langsung pada komitmen organisasi (Roel & Swerdlow, 1999). Saks (1996) menemukan keterkaitan pelatihan memiliki keterkaitan yang signikan bagi sikap perilaku karyawan baru (newcomers), misalnya keinginan untuk keluar (intention to quit), komitmen dan kepuasan kerja. Bahkan menurut Barret dan O’Connel (2001) lamanya training days meningkatkan produkstivitas pekerja. Sedangkan menurut Choe dkk (2001) pelatihan juga berpengaruh signifikan terhadap “turn over”, misalnya saja perusahaan yang membelanjakan pelatihan 218 USD per karyawan/tahun memiliki TO 16%, sedangkan perusahaan yang membelanjakan 273 USD memiliki TO kurang dari 7%.
Terkait dengan pengaruh positif pelatihan dan pengembangan terhadap kinerja organisasi, semakin banyak perusahaan yang menempatkan pentingnya pelatihan dan pengambangan SDM untuk mempertahankan keunggulan bersaing, melalui peningkatan keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability). Pada tahun 2000, menurut Industry Report (2000), diperkirakan total belanja SDM (Training & Development) perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki karyawan 100 orang atau lebih sebesar 54 milyar USD per tahun. Sementara itu ASTD (American Society of Training and Development) menyampaikan rekomendasi anggaran pelatihan dan pengembangan SDM paling tidak 2,5% dari biaya upah pekerja (Kimmerling, 1993). Alasan sedikitnya belanja pelatihan dan pengembangan SDM mengingat pengukuran ROTI-nya tidak mudah dan tidak dirasakan langsung oleh perusahaan. Selain itu banyak studi menunjukan riset di bidang pelatihan dan pengembangan justru berfokus pada alat dan teknik pelatihan yang digunakan, kurang meneliti pada pengaruhnya bagi ROTI bagi individu maupun organisasi (Harris, 1997; Harris & Bonn, 2000; Harris & Cannon, 1994). Di dalam implementasi TQM, ROTI menjadi faktor utama yang harus diukur – sehingga pelaksanaan training harus berfokus pada ”losses” yang terkait dengan kompetensi dan metode kerja. Sehingga kesulitan dan keterbatasn sebagian besar organisasi perusahaan dalam mengukur ROTI dapat dipecahkan bila kebutuhan raining benar-benar terkait dengan reduksi ”losses” yang dapat didefinisikan sebagai ”cost”.
2.2.3. Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
Penilaian kinerja memiliki fokus pada upaya identifikasi, pengukuran, evaluasi dan peningkatan kierja karyawan. Mathis & Jackson (2003, p.342) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai “sebuah proses evaluasi seberapa jauh karyawan mencapai kinerja dengan dibandingkan standar yang telah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada karyawan yang dinilai”.
Menurut Cleveland, Murphy, dan Williams (1989), penggunaan penilaian kinerja dapat dikelompokan menjadi 4 hal, yaitu :
  1. Antar individu (between individual), misalnya sebagai administrasi pengupahan, promosi dan identifikasi karyawan yang berkinerja rendah).
  2. Dalam individu (within individual), misalnya untuk identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, identifikasi kebutuhan pelatihan individu dan umpan balik bagi pekerja.
  3. Pemeliharaan sistem (system maintenance), misalnya untuk identifikasi kebutuhan training organisasi, evaluasi pencapaian target dan sasaran organisasi, serta membantu identifikasi sasaran organisasi.
  4. Dokumentasi, misalnya untuk dokumentasi keputusan personalia, penyediaan aspek legal personalia maupun validasi riset-riset yang terkait karyawan.
Sementara itu, Thomas dan Bretz’s (1994), mengemukakan 3 (tiga) hal penggunaan penilaian kinerja, yaitu untuk peningkatan kinerja, administrasi kenaikan upah dan umpan balik bagi pekerja dan perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Shah & Murphy (1995), Smith, Hornsby & Shirmeyer (1996) juga memberikan gambaran praktek penilaian kinerja mampu meningkatkan kinerja karyawan. Sedangkan Wood, Sciarini dan Breiter (1998) dalam risetnya menemukan beberapa penggunaan penilaian kinerja oleh perusahaan, diantaranya untuk keputusan kompensasi (86,4%), penetapan sasaran pekerja (78%), analisa kebutuhan training (73%) dan promosi (65%). Studi ini juga menemukan bahwa 95% perusahaan yang diteliti memiliki persepsi bahwa penilaian kinerja sangat penting bagi suksesnya pencapaian bisnis perusahaan, namun sebaliknya riset yang dilakukan Shah dan Murphy (1995) justru menemukan 36% organisasi yang berpartisipasi dan dijadikan responden penelitian menyatakan bahwa mereka tidak memiliki prosedur standar penilaian kinerja.
Efektivitas sebuah penilaian kinerja harus diukur dan mampu mendorong pencapaian strategi bisnis perusahaan. Bretz, Milkovich dan Read (1992) menemukan fenomena pada perusahaan-perusahaan yang sudah maju menghabiskan waktu 7 jam bagi setiap karyawan eksekutif untuk mengukur kinerja yang telah dicapainya dan 3 jam bagi setiap karyawan pada level yang dibawahnya. Sementra itu Longenecker (1992 p.21) menemukan 3 (tiga) alasan mendasar ketidak-efektifan penilaian kinerja dari perspektif manajemen, yaitu :
  1. Kurangnya informasi kinerja aktual /data catatan kinerja karyawan.
  2. Umpan balik yang buruk dari pihak karyawan yang menyangkut upaya pembelaan diri dan terkait tingkah laku negatif (bad attitude).
  3. Persiapan waktu yang tidak cukup / minim.
Sebaliknya dari perspektif pekerja ditemukan alasan ketidak-efektifan penilaian kinerja diakibatkan “proses yang dijalankan oleh manajer tidak dilakukan secara serius, standar ukuran yang tidak jelas dan terlalu subyektif, dan kurangnya informasi kinerja karyawan secara lengkap”.
Sebagian besar perusahaan meyediakan waktu khusus bagi pelaksanaan review dan umpan balik kinerja sebagai bagian dari proses penilaian kinerja. Dorfman, Stephan dan Loveland (1986) menunjukan adanya waktu khusus untuk review dan umpan balik kinerja mampu meningkatkan kepuasan dan motivasi karyawan secara keseluruhan, lebih tegas lagi dalam penelitian lainnya ditemukan bukti bahwa umpan balik kinerja karyawan mampu meningkatkan kinerjanya (Kluger & DeNisi, 1996; London, Larsen & Thisted, 1999). Namun demikian menurut riset yang dilakukan Kluger dan DeNisi (1996), terdapat 33% literatur yang mereka review yang mengindikasikan adanya umpan balik justru berakibat pada penunurunan kinerja karyawan yang dinilai. Mereka merekomendasikan agar umpan balik harus diberikan dengan cara yang konstruktif untuk meningkatkan kinerja karyawan.
Mathis dan Jackson (2003) menyatakan bahwa penilaian kinerja merupakan proses manajerial dalam evaluasi kinerja karyawan dibandingkan dengan standar kinerja yang sudah disepakati sebelumnya antara pekerja dan pimpinannya. Sasaran yang ditetapkan sebelumnya akan dijadikan sumber motivasi dan “anchor” dalam proses pencapaian sasaran pada periode yang telah disepakati. Teori penetapan sasaran (goal setting theory) menjelaskan hal ini sebagai gambaran hubungan positip antara penilaian kinerja dan kinerja pekerjaan (job performance), dalam teori ini perilaku di pengaruhi oleh sasaran (goals) yang spesifik, sulit tetapi dapat di raih. Sejumlah studi telah menunjukan sasaran yang spesifik dan sulit, namun dapat diraih (achievable goals) mampu meningkatkan produktivitas karyawan secara signifikan (Latham & Saari 1982; Locke & Latham 1994, 2002). Terpstra dan Rozell (1994), melakukan studi antara teori penetapan sasaran dan profitabilitas organisasi, hasilnya medukung hipotesis perusahaan –perusahaan yang menetapkan sasaran berdasarkan goal setting theory untuk meningkatkan kinerja karyawannya ternyata memiliki profitabilitas yang lebih tinggi. Sebaliknya Locke dan Latham (1990) membantah hal ini dan menyatakan tidak adanya pengaruh terhadap kinerja bila memang penetapan sasaran tidak dilakukan, justru yang paling penting adalah umpan balik dari atasan yang konstruktif dan cerdas akan mampu merubah perilaku dan meningkatkan kinerja karyawan. TQM sangat membantu di dalam pendefinisian target baik secara individu maupun tim, model manajemen kinerja yang berbasis pada prioritas-prioritas KPI (Key Performance Indicator). Sistem kontrol dan pelaporan di dalam TQM akan memudahkan para pimpinan dan bawahan untuk memonitor pencapaian prioritas KPI.
2.2.4. Penghargaan Kinerja (Performance Reward)
Penghargaan kinerja bertujuan untuk peningkatan kinerja karyawan dan penghargaan atas kontribusi terbaik yang diberikan individu karyawan. Sistem penghargaan kinerja di desain untuk memotivasi pekerja, moral, komitmen, produktivitas dan kerja tim. Penghargaan yang diberikan organisasi atas kontribusi kinerja karyawan dapat diberikan secara finansial (monetary incentive) maupun non finansial (non-monetary reward). Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 1995 menunjukan bahwa perusahaan yang tergolong dalam Fortune 1000 menggunakan monetary reward plan (Lawler & Mohrman, 1995). Penelitian yang dilakukan Luthans & Stajkovic (1999) dengan menggunakan meta-analytic study mengindikasikan penghargaan finansial dapat meningkatkan kinerja karyawan sebesar 39% di industri manufaktur dan 14% di industri jasa. Sementara itu penghargaan non-finansial (social attention & recognition) berpengaruh 15% pada peningkatan kinerja di industri jasa. Banker, Potter dan Srinivasan (2000) melakukan studi longitudinal untuk melihat efektivitas incentive plan pada industri jasa, hasil studi menunjukan incentive plan memiliki pengaruh positif bagi peningkatan laba (revenue & profitability) dan menurukan biaya (cost). Sebaliknya penelitian yang dilakukan Medoff dan Abraham (1980) menunjukan insentif finansial tidak memiliki pengaruh yang kuat bagi kinerja karyawan, tidak sebagaimana sistem penghargaan yang terkait dengan kenaikan upah.
Program-program pengupahan berbasis kinerja seperti halnya program penyesuaian upah berdasarkan kinerja di desain untuk memberikan penghargaan bagi karyawan secara finansial (monetary terms) atas kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Menurut Lawler (1987, p.255) sistem penghargaan bagi pekerja merupakan topik yang paling sering dibahas dalam manajemen sumber daya manusia. Sehingga dapat dikatakan sistem penghargaan (reward system) yang efektif merupakan tulang punggung dari praktek dan kebijakan SDM (Loery, Petty & Thompson, 1995). Penelitian yang telah dilakukan menunjukan hasil yang berbeda-beda terkait dengan pengupahan berbasis kinerja. Lowery, Petty dan Thompson (1995) dalam studinya menemukan bahwa incentive plan memiliki pengaruh positip bagi peningkatan perilaku kerja karyawan namun tidak memberikan efek pada produktivitas dan kualitas kerja. Heneman (1992) dalam studinya menunjukan adanya keterkaitan antara rencana pemberian insentif finansial dengan kinerja dan motivasi karyawan. Di dalam penelitian lain ditemukan bukti perusahaan yang berkinerja lebih baik memberikan penghargaan yang lebih dibandingkan dengan perusahaan berkinerja dibawahnya (Marler, Milkovich dan Yanadori, 2002). Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan pemberian insentif yang lebih tinggi tidak secara otomatis dibarengi dengan peningkatan kinerja perusahaan menjadi lebih baik, akan tetapi di sisi lain perusahaan-perusahaan yang berkinerja lebih baik biasanya memberikan insentif yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan perusahaan yang memiliki kinerja lebih baik justru memberikan insentif yang lebih sedikit bagi pekerjanya, pada level yang lebih rendah dalam liga pengupahan perusahaan yang dimasukinya.
Pengupahan berbasis kinerja diklasifikan dalam dua kategori, yaitu pada level individu dan pada level tim. Pada level individual termasuk didalamnya insentip produktivitas, upah jam kerja, kenaikan upah, bonus maupun komisi yang mengacu pada kinerja individual. Sedangkan pada level tim misalnya cost-saving plan, profit-sharing plan, dan kepemilikan saham (stock ownership) yang diberikan berdasarkan kinerja tim. Program insentip berbasis tim seperti halnya profit sharing dan stock ownership telah menjadi perhatian utama banyak organisasi disamping karena memang praktek ini dirasakan lebih fair dan memperkecil budaya individualisme di dalam organisasi (Baker, Jensen, dan Murphy, 1988). Beberapa riset menyatakan sebagian besar karyawan lebih menyukai pengupahan berbasis individual dibandingkan tim (Cable & Judge, 1994), namun demikian studi yang lain justru menyimpulkan adanya pengaruh yang kuat dalam pengupahan berbasis tim terhadap kinerja perusahaan (Ehrenberg & Milkovich, 1987; Gerhart & Milkovich, 1990; Welbourne & Andrews, 1996). Penelitian yang dilakukan Gerhart dan Milkovich (1990) melaporkan perusahaan yang memberikan 80% stock options kepada manajernya ternyata memiliki ROA (returns on assets) 25% lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang memberikan stock options sebesar 20%. Welbourne dan Andrews (1996) menemukan adanya fenomena perusahaan-perusahaan baru yang memiliki tingkat survival yang lebih tinggi ketika semakin banyak karyawan yang menerima pengupahan berdasarkan kinerja organisasional. Pada tulisan lainnya, Cooke (1994, p. 598) menegaskan pemikiran logika pengupahan secara tim, dimana jika karyawan memperoleh pendapatan berdasarkan kinerja tim, mereka akan berusaha lebih maksimal. Bonus yang diberikan pun didasarkan pada upaya keseluruhan, insentif diberikan atas kerjasama yang dilakukan. Pola tersebut sering disebut sebagai group based incentives, dan dengan logika ini fungsi kontrol supervisor dapat berkurang.
Teori perilaku organisasi telah banyak menjelaskan permasalahan efektivitas penghargaan kinerja. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (1943) dan Teori Dua Faktor Herzberg (Two Factors Theory, Herzberg, 1966) paling sering dijadikan dasar untuk menjelaskan pengaruh penghargaan kinerja pada kinerja organisasi. Menurut Teori Maslow (1943), manusia memiliki lima tingkatan hirarki kebutuhan, yaitu : fisiologi, keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, harga diri (self-esteem), dan aktualisasi diri. Berdasarkan teori ini, kebutuhan yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi sebelum kebutuhan yang lebih rendah terpuaskan. Ketika kebutuhan fisiologi, keselamatan dan keamanan serta kebutuhan sosial terpenuhi di tempat kerja, setiap karyawan akan berusaha memenuhi kebutuhan harga dirinya (self-esteem). Kebutuhan harga diri merujuk pada kepuasan terhadap diri sendiri, perasaan berharga, atau keinginan untuk berprestasi. Pemenuhan harga diri dapat dicapai jika seseorang merasa puas dengan kemampuan yang dimiliki, orang lain menghargai atas kemampuan dan prestasi yang dimilikinya. Penghargaan kinerja merupakan salah satu cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan self-esteem karyawan. Karyawan akan merasa dihargai melalui praktek promosi, penerimaan insentip, atau penghargaan non material lainnya seperti penghargaan karyawan berprestasi dan pemberian liburan ekstra.
Konsep yang disampaikan oleh Herzberg (1966), yaitu two factors menjelaskan perilaku manusia di tempat kerja yang disebut sebagai faktor hygiene dan motivator. Faktor hygiene tidak mengakibatkan kepuasan karyawan dengan pekerjaannya secara langsung, akan tetapi karyawan akan merasa kurang puas bila faktor hygiene berkurang atau tidak ada, misalnya kebijakan perusahaan tentang struktur pengupahan, hubungan dengan rekan sekerja, kehidupan pribadi, status pekerjaan (job status), dan keamanan kerja (job security). Faktor hygiene sering disebut sebagai penghargaan ekstrinsik karena bersumber dari perusahaan dan lingkungan kerja bukan berasal dari internal pekerja. Faktor kedua disebut sebagai motivator, faktor yang dapat memuaskan karyawan dengan pekerjaan dan memacu motivasi untuk berkinerja yang lebih baik. Motivator disebut sebagai faktor intrinsik dimana perasaan terpuaskan dan motivasi yang kuat ditimbulkan dari internal pekerja. Faktor hygiene tidak menjamin kepuasaan karyawan dan motivasi, akan tetapi dibutuhkan secara mutlak untuk memelihara karyawan untuk tetap bekerja dengan baik. Apabila beberpa faktor hygiene diabaikan maka akan memunculkan ketidakpuasan, karyawan akan mempertimbangkan untuk keluar dan memungkinkan produktivitasnya menurun. Di dalam implementasi TQM, faktor motivasi pekerja menjadi sasaran utama dan prasarat mutlak dan menjadi prioritas awal sebelum, selama proses implementasi. Pengkondisian organisasi termasuk didalamnya – menghubungkan sistem kompensasi dan penghargaan kinerja yang mendorong pencapaian kinerja bisnis melalui tools TQM.
2.2.5. Kekaryawanan – Hubungan Industrial (Employee Relations)
Hubungan industrial atau kekaryawanan adalah sebuah sistem yang menyediakan perlakukan adil dan konsisten bagi karyawan sehingga menjadikannya memiliki komitmen kepada organisasi (Gomez-Meija dkk, 2001). Para pekerja memiliki cara untuk menyelesaikan masalah, konflik mapun perlakukan yang kurang adil (unfair treatment) di tempat kerja melalui serikat pekerja (unions). Peningkatan partisipasi pekerja di dalam pengelolaan organisasi akan mengakibatkan kepuaan kerja yang lebih tinggi dan juga motivasi kerja yang lebih baik, sehingga pada gilirannya meningkatkan kualitas produk serta kinerja karyawan (Gittell, Nordenflycht, dan Kochan 2004; Hammer dan Stern 1986). Di Amerika terjadi kecenderungan menurunnya jumlah serikat pekerja di dalam perusahaan, hal ini terkait dengan aplikasi undang-undang kesetaraan pekerja (Equal Employment Opportunity Laws) sehingga semakin banyak perusahaan yang berfokus pada pengembangan program kekaryawanan misalnya mekanisme penyelesaian komplain, program peningkatan partisipasi pekerja dan survey perilaku pekerja yang secara rutin dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kepuasan kerja serta produktivitas organisasi.
Proses penyelesaian komplain secara formal ataupun sistem penanganan keluhan menjadi demikian penting untuk meningkatkan kepercayaan pekerja kepada manajemen (Fryxell & Gordon, 1991). Para pekerja meyakini keadilan di tempat kerja akan memiliki pengaruh positip bagi kinerja organisasional (Colquitt, Wesson, Porter, Conlon, dan Ng, 1986; Fryxell dan Gordon, 1991). Penelitian yang dilakukan Colquitt dkk (1986) menemukan keyakinan pekerja terhadap praktek ketenagakerjaan yang adil mempengaruhi perilaku karyawan seperti halnya komitmen organisasi, loyalitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Fryxell dan Gordon (1989) meneliti pengaruh keadilan di tempat kerja dan kepuasan kerja dan menemukan pengaruh yang sangat kuat dimana keadilan di tempat kerja akan mampu meningkatkan kepuasan karyawan terhadap manajemen perusahaan.
Di dalam implementasi TQM, program partisipasi pekerja seperti halnya tim peningkatan kualitas (improvement team), tim pemecahan masalah (problem solving team), dan sistem sumbang saran (suggestion system) mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Hal tersebut di dasarkan pada proposisi bahwa para pekerja lini umumnya memiliki informasi dan pengetahuan yang akurat tentang pekerjaan dibandingkan manajernya (Levine & Tyson, 1990; Miller & Monge, 1986). Program partisipasi karyawan juga mampu memuaskan kebutuhan penghargaan diri (self esteem) melalui pemenuhan imbalan intrinsik, dimana pekerja memiliki suara dan berpartisipasi terkait tugas dan kerja serta berkontribusi pada pencapaian kinerja yang optimal (Hammer, 1988; Cooke, 1994). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penghargaan-penghargaan intrinsik yang lebih besar akan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memotivasi karyawan untuk mencapai sasaran-sasaran kerja (Miller & Monge, 1986; Hammer, 1988) dan pada gilirannya mampu menghasilkan produktivitas kerja yang lebih tinggi.
Survei perilaku pekerja dilakukan untuk mengukur aspek-aspek yang disukai maupun yang tidak disukai oleh pekerja terkait dengan pekerjaannya (Gomez-Mejia, dkk., 2001). Organisasi perusahaan mengimplementasikan survei perilaku pekerja untuk mendeteksi secara aktif problem-problem potensial yang mengakibatkan ketidakpuasan kerja dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja. Kesselman (1994) berpendapat keuntungan penggunaan survei perilaku karyawan dengan memberikan contoh secara langsung misalnya survei perilaku mampu memberikan informasi mendasar bagi perusahaan untuk membangun ulang jenjang karir bagi para pekerja yang potensial, untuk mempertajam strategi operasional bisnis, untuk mengimplentasikan program-program peningkatan keselamatan kerja maupun peningkatan kondisi kerja, dan juga pengembangan manajemen sumber daya manusia yang meliputi uraian kerja, sistem penilaian kerja dan sistem penggajian. Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa pentingnya survei perilaku pekerja memiliki pengaruh yang signifikan bagi kinerja perusahaan. Di dalam TQM, sasaran utama keberhasilan pecapaian target bisnis yang bersifat jangka panjang adalah suasana hubungan kekaryawanan yang kondusif, iklim kerja dan sistem organisasi yang memacu produktivitas serta keadilan di tempat kerja (fairness).
2.2.6. Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication Sistem)
Setiap karyawan berusaha untuk meningkatkan diri satu sama lain dan membina hubungan dengan cara berkomunikasi dan melakukan aktivitasnya (Duncan& Moriarty, 1998). Menurut Thomson, Chernatony, Arganbright dan Khan (1999). Terdapat 3 jenis saluran komunikasi yaitu : komunikasi eksternal (company-customer), komunikasi internal (company-emlpoyee), dan komunikasi interaktif (customer-imployee). Para peneliti telah menekankan pentingnya komunikasi eksternal yang efektif yang secara umum terlihat secara positip pada ROI (Return On Investment) pemasaran. Pada sisi lainnya ada beberapa studi yang meneliti dan mengeksplorasi pentingnya komunikasi internal. Hal yang sangat tidak mungkin menciptakan hubungan antara organisasi dan karyawan tanpa adanya prose komunikasi yang baik (Duncan & Moriarty, 1998). Komunikasi internal yang efektif dapat dicapai ketika sebuah organisasi mampu mengkomunikasikan dengan baik tentang visi, misi, produk, proyek, status kinerja keuangan perusahaan dan lain-lain dengan baik kepada karyawan. Ada beberapa cara melakukan komunikasi pada pekerja misalnya berita-berita singkat (newsletter), papan pengumuman, pertemuan formal, intranet, memo secara formal dan lain lain, Klein (1994) menyatakan komunikasi secara langsung adalah cara yang paling efektif. Sedangkan menurut Brewer (1995), pekerja lebih merasakan efektivitas komunikasi melalui berita-berita singkat (newsletter). Komunikasi internal yang efektif mampu meningkatkan kepuasan kerja, moral, komitmen dan sebagai konsekwensinya akan memberikan pengaruh yang lebih besar bagi kinerja organisasi (Lievens, Monenaert, S’Jegers, 1997; Sprague & Brocco, 2002). Komunikasi sangat berperan dalam membangun mobilisasi dan komitmen karyawan dalam implementasi TQM, sehingga dapat dikatakan salah satu faktor keberhasilan pencapaian kinerja TQM organisasi adalah fondasi komunikasi internal organisasi yang baik.
2.3. TQM dalam Perspektif Stratejik dan RBV
Organisasi biasanya mengatur praktek SDM dalam sistem yang sesuai dengan budaya mereka dan strategi bisnis mereka (Osterman, 1987; Block, Kleiner, Roomkin & Salsburg, 1987). Seperangkat terpadu (bundles) praktek SDM adalah kombinasi dari praktek-praktek strategi bisnis yang dikaitkan dengan SDM dan budaya perusahaan, sehingga bukan praktek secara terpisah, yang akan membentuk pola interaksi antara dan diantara manajer dan karyawan (Cutcher-Gershenfeld, 1991). Selain itu, dikatakan bahwa penelitian yang terfokus pada dampak praktek SDM individual pada kinerja organisasi mungkin menghasilkan bukti empiris yang kurang tepat, mengingat sebuah praktek tunggal SDM akan dipengaruhi dari sistem SDM keseluruhan (Ichniowski, Shaw & Prennushi, 1993).
Pendekatan paling baru saat ini adalah yang dikembangkan oleh Paauwe dan Boselie (2002). Paauwe dan Boselie mencoba mengembangkan konsep yang lebih sepesifik yang diturunkan dari RBV (resource-based view), yang disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Wright dkk (1994) dan Paauwe (1994) menyatakan bahwa sumber daya manusia stratejik memiliki asumsi dan kriteria sesuai dengan teori RBV (resource-based view), dimana memiliki nilai (value), langka (rare), sukar ditiru (inimitability) dan tidak tergantikan (non-substitution). Wright dkk (1994) menyatakan relevansinya penggunaan teori RBV, karena lebih spesifik dalam menjelaskan manajemen sumber daya manusia stratejik. Paauwe mengajukan sebuah konsep yang disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Model tersebut berusaha mengakomodasi elemen-elemen pendekatan kontijensi dan konfigurasional (Delery & Doty, 1996), institutionalism (Dimagio & Powell, 1983) dan juga terinspirasi dengan model pendekatan Harvard (Beer dkk, 1984).
Di dalam model Pauwee, Total Quality Management (TQM) merupakan kebutuhan mutlak dan dapat berperan di dalam mendorong pencapaian efisiensi, efektivitas, fleksibilitas, kualitas, inovasi dan kecepatan yang akan mendorong kinerja organisasi unggulan. Dimensi MSDM memiliki peranan yang sangat penting dalam pencapaian kinerja unggulan TQM dengan berfokus pada aspek-aspek yang ”soft” (Wilkinson dkk, 1996). Faktor-faktor yang dominan dan berpengaruh tersebut misalnya: supervisory styles, sistem kompensasi, keterlibatan karyawan, kerja tim, sumbang saran, interaksi manajerial dan budaya perusahaan.
Gambar 2.7. TQM dan Praktek MSDM Stratejik
Product/Market/Technology Dimension (PMT)
Competitive Mechanism
Organizational/Administrative/Cultural Heritage
Configurational
Social/Cultural/Legal Dimensions (SCL)
Institutional Mechanism
Room to maneuver :
Dominant Coalition
Strategic Choice
HR Strategies
Aimed at resources that are :
-valuable
-inimitable
-rare
-and non substitutable
HRMOT
COME
S
P
E
R
F
ORMANC
E
Fairenss & Legitimacy with regard to work, time, money, know-how & participation
Efficiency
Effectiveness
Flexibility
Quality
Innovativeness
Speed
TQM
Sumber : diadaptasikan untuk disertasi ini
Model yang dikembangkan oleh Paauwe mencoba melihat praktek SDM stratejik dengan melihat faktor dominan yang paling berpengaruh untuk membentuk strategi-strategi SDM yang berbasis sumber daya yang mampu menghasilkan kinerja SDM dalam mencapai sasaran bisnis perusahaan. Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan PMT (product/market/technology dimension), Konfiguarsi (organizational/administrative/cultural/heritage) maupun mekanisme institusional (social/cultural/legal dimensions) akan mempengaruhi pilihan strategi yang diambil perusahaan. Gambar 2.7 menjelaskan model yang dikembangkan oleh Paauwe (2002, 1994, 1998). Berdasarkan konsep-konsep yang telah dibahas, diajukan Proposisi Dua sebagai berikut :
Proposisi Dua
Keunggulan Kinerja Berbasis TQM, Strategi Bisnis dan Praktek MSDM
(2) Kebutuhan Total Quality Management merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing perusahaan dan menjadi pilihan strategi binis perusahaan-perusahaan kelas dunia. Praktek MSDM yang selaras dengan spirit TQM akan dapat menjamin suksesnya manajemen perusahaan menuju keunggulan kinerja berbasis TQM. Praktek MSDM yang sejalan dengan manajemen perubahan akan menjadi titik awal suksesnya impelemtasi TQM
Proposisi Dua ini disajikan secara piktografis dalam Gambar 2.8 berikut ini.
Gambar 2.8 Proposisi Dua
Sumber : Dikembangkan untuk disertasi ini
2.4 Perspektif Budaya Organisasi
Terdapat pendekatan yang berbeda dalam mempelajari budaya organisasi. Perdebatan yang paling signifikan pada konsep budaya organisasi adalah berpusat pada akar keilmuannya. Tradisi antropologi menekankan bahwa organisasi adalah budaya, sedangkan tradisi sosiologi menyatakan bahwa organisasi memiliki budaya tertentu. Tradisi antropologi menempatkan budaya organisasi sebagai variabel dependent, sedangkan tradisi sosiologi memandang budaya organisasi sebagai suatu variabel independent. Sementara itu selain adanya perbedaan akar keilmuan antropologi dan sosiologi, di dalam mempelajari budaya organisasi juga telah berkembang pendekatan perspektif fungsionalis dan perspektif semiotik (Burrell dan Morgan, 1979; Smircich, 1983; Schein, 1985; Cameron dan Ettington, 1988; Cameron dan Quinn, 1999; Martin, 2002). Menurut perspektif fungsionalis, budaya organisasi adalah sebuah komponen sistem sosial yang dimanifestasikan dalam perilaku organisasi (Cameron dan Ettington, 1988, hal. 358), dimana perilaku tersebut dievaluasi dari sudut pandang peneliti dan pada tingkatan organisasi. Perspektif semiotik memandang budaya terletak pada pikiran individu, yang dievaluasi dari perspektif native pada tingkatan individu (Cameron dan Ettington,1988; Cameron dan Quinn, 1999). Sederhananya pendekatan fungsionalis berasumsi bahwa perbedaan budaya dapat dikenali, diukur, dan diubah (Cameron dan Quinn, 1999). Perspektif semiotik berasumsi bahwa budaya adalah suatu gambaran sebuah organisasi (Morgan, 1986), yang terletak pada persepsi dan penafsiran individu, digunakan untuk memfasilitasi “pemahaman dan melakukan komunikasi tentang fenomena organisasi yang kompleks” (Smircich, 1983, hal. 340).
2.4.1 Perspektif Fungsionalis
Studi yang menempatkan budaya organisasi sebagai variabel, baik variabel independent maupun dependent biasanya mewakili sudut pandang sosiologi-fungsional (Martin, 2002). Di dalam perspektif ini, budaya organisasi dipersepsikan sebagai suatu atribut organisasi, yang dapat di-identifikasi secara empirik, diukur, dievaluasi, dan diubah, serta termanifestasi didalam perilaku organisasi (Ouchi, 1981; Reda dan Waterman, 1982; Schein, 1985; Cameron dan Ettington, 1988; Trice dan Beyer, 1993; Schneider, 1994; Cameron dan Quinn, 1999; Martin, 2002). Isu yang paling penting bagi para peneliti yang memanfaatkan pendekatan fungsionalis terkait pemahaman konsep hubungan sebab akibat (kausalitas). Secara spesifik, para peneliti fungsionalis berusaha untuk menetapkan suatu mata rantai hubungan kausalitas terhadap kontrol organisasi, manajemen, dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja organisasi (Schein, 1996; Martin, 2002). Baik peneliti yang memandang budaya sebagai suatu variabel independent, bagian dari lingkungan eksternal yang mempengaruhi perilaku organisasi; maupun sebagai suatu variabel dependent yang akan "dimanipulasi" untuk meningkatkan efektivitas organisasi, keduanya memiliki tujuan bersama yaitu mempelajari hubungan kontijensi yang dapat diaplikasikan dalam pengelolaan organisasi (Smircich, 1983, hal. 347). Perspektif fungsionalis biasanya didasarkan pada kerangka teori sistem terbuka (open sistem), yang menyatakan bahwa sistem melakukan pertukaran dengan lingkungannya melalui impor "material" yang diperlukan untuk mendukung dirinya sendiri dan kemudian melalui mekanisme ekspor komponen-komponen yang sudah terkonversi dikembalikan ke lingkungannya. Sebagai pembanding, suatu sistem yang tidak memiliki "material" yang masuk maupun meninggalkan sistem tersebut adalah suatu sistem tertutup (Von Bertalanffy, 1950). Katz dan Kahn (1978) menganggap teori sistem terbuka (open sistem) sebagai kerangka yang paling sesuai untuk studi organisasi, hal ini disebabkan pendekatan tersebut memungkinkan adanya integrasi menyeluruh analisa individu pada level mikro, hingga keseluruhan organisasi dan lingkungannya pada level makro. Mereka menekankan bahwa konsep sistem terbuka adalah suatu metafora yang sangat efektif di dalam menggambarkan pola perilaku organisasi. Pembahasan budaya organisasi sebagai metafora adalah topik bagian yang berikutnya, akan mendiskusikan budaya organisasi sebagai sesuatu yang ada di dalam organisasi. Pasmore (1988) menunjukkan arti konsep sistem terbuka adalah menyediakan suatu pijakan yang solid untuk pakar perilaku organisasi dalam meneliti interaksi internal dan eksternal anggota organisasi untuk mengaplikasikan pemahaman ke dalam tindakan. Bolman dan Deal (1991), menulis dari dari perspektif fungsionalis menyatakan bahwa dari waktu ke waktu, tiap-tiap organisasi mengembangkan kepercayaan (beliefs) dan pola perilaku yang berbeda dan hal tersebut muncul tanpa disadari dan bersifat "taken for granted". Asumsi-asumsi dasar terwujud dalam “mitos-mitos, dongeng, cerita, ritual, upacara, dan bentuk simbolis lainnya” ataupun artefak. Sebagai konsekuensi, para manajer dan para pemimpin yang mampu memanfaatkan asumsi-asumsi tersebut biasanya mampu mempengaruhi organisasi secara lebih efektif dibandingkan para pemimpin lain yang lebih fokus pada teknik manajemen seperti peraturan dan aturan formal.
Smircich (1983) menyatakan agenda utama penelitian muncul dari padangan manajerial yang menekankan pentingnya pembentukan dan perubahan budaya internal organisasi. Hal ini untuk membantu para pimpinan organisasi dalam membangun konsep budaya terkait dengan pengelolaan organisasi, peneliti telah mengidentifikasi beberapa dimensi utama budaya organisasi seperti halnya kekuatan (strength), kongruensi dan bentuk organisasi, yang diyakini sebagai aspek-aspek kristis yang ikut menentukan kinerja organisasi. Kekuatan budaya organisasi merujuk pada kemampuan di dalam mengontrol perilaku (Cameron dan Ettington, 1988). Hal ini dijelaskan bahwa organisasi dengan budaya yang kuat akan menyediakan anggota organisasi pemahaman tentang struktur, standar, konsistensi serta seperangkat sistem nilai yang akan berpengaruh pada pola hubungan internal, produktivitas dan efektivitas (Deal dan Kennedy, 1982; Sathe, 1983; Schneider, 1994). Sathe (1983) mengindikasikan bahwa organisasi yang memiliki lebih tinggi keterikatan anggota terhadap nilai-nilai dan keyakinan organisasi akan berperilaku sesuai dengan panduan tersebut dan disebut sebagai perilaku organisasi. Deal and Kennedy (1982) memberikan dukungan pada pemikiran dan teori tentang kekuatan budaya organisasi, menurut mereka budaya organisai yang kuat selalu menjadi faktor yang mendorong kesuksesan perusahaan secara berkesinambungan di banyak perusahan-perusahaan Amerika.
Keseragaman budaya merujuk pada tingkat kesesuaian homogentitas berbagai elemen-elemen budaya yang ada di dalam organisasi. Secara singat dijelaskan bahwa organisasi yang memiliki keyakinan budaya (cultural beliefs), nilai-nilai (values) dan asumsi-asumsi dasar lainnya dan dipahami dengan baik oleh individu anggota organisasi akan lebih kongruen, konsten, dan homogen dibandingkan dengan organisasi yang tidak memilikinya (Sathe, 1983). Kongruensi dan kekuatan budaya merupakan konsep yang saling terkait, dimana kekuatan budaya (cultural strength) akan meningkatkan kongruensi budaya (cultural congruence). Nadler dan Tushman (1980) menyatakan jika terjadi kesetaraan, lebih tinggi tingkat kongruensi, ataupun kesesuaian antar komponen organisasi, akan lebih efektif perilaku organisasinya pada berbagai level yang ada di dalam organisasi. Cameron dan Ettington (1988) mempelajari hubungan antara kongruensi organisasi, kekuatan, bentuk dan efektivitas organisasi. Mereka menemukan efektifitas organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan bentuk organisasi dibandingkan kongruensi ataupun kekuatan organisasi. Berdasarkan bentuk budaya organisasi, Cameron dan Ettington menyatakan bahwa jenis budaya yang spesifik merupakan representasi organisasi, misalnya inovasi, orientasi pada resiko, orientasi pada struktur ataupun orientasi pada peraturan. Berdasarkan penelitian Quinn dan Rohrbaugh, (1981, 1983) yang berfokus pada nilai-nilai yang dikompetisikan (Competing Values Research), Cameron dan Ettington (1988) megaplikasikan 4 (empat) bentuk budaya organisasi yang disebut sebagai budaya clan, adhocracy, market dan hierarchy. Keempat bentuk budaya ini digunakan untuk mengevaluasi dimensi budaya yang paling dominan dan efektif di dalam organisasi. Riset mereka telah mendorong pengembangan Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (OCAI, Organizational Culture Assessment Instrument) yang dilakukan oleh Cameron dan Quinn (1999), dimana model tersebut banyak digunakan untuk mengukur konsep budaya organisasi pada berbagai organisasi saat ini. Secara singkat pertimbangan sebagian besar peneliti menggunakan perspektif fungsionalis adalah untuk menentukan bentuk variabel organisasi yang akan dijadikan dasar pengembangan budaya organisasi. Jika ditemukan budaya organisasi sebagai variabel independen, maka akan dimasukan pengaturan organisasi melalui anggota organisasi dan faktor-faktor lingkungan lainnya, dan selanjutnya digunakan analisis untuk menghasilkan pemahaman perbedaan budaya (gap), identifikasi hambatan-hambatan budaya, melakukan pengukuran budaya secara terus menerus, dan memungkinkan pemimpin dan peneliti untuk membuat gambaran peta budaya sebuah organisasi yang kompleks (Hofstede dkk., 1990). Pandangan budaya organisasi sebagai variabel dependen berimplikasi pada budaya yang digerakkan oleh proses rasional sebagai instrumennya dimana pemimpin organisasi dan peneliti dapat memanipulasinya dan mempengaruhi arah organisasi, (Smircich, 1983; Druckman, dkk, 1997). Disamping sejumlah literatur yang ditulis dari perspektif fungsionalis, banyak akhli teori memperdebatkan pernyataan tentang budaya organisasi yang dapat dikendalikan. Misalnya Martin (1992) menyatakan hal tersebut dari perspektif yang berbeda, disebutnya budaya organisasi bukanlah kesatuan (unitary) melainkan sesuatu yang dipengaruhi lingkungan dan memiliki karakteristik sub kultural yang berada di dalam batas selaput (permeabel) organisasi dimana adanya inkonsistensi dan konsensus sub kultural adalah sebuah hal yang lazim. Dengan kata lain, konsensus budaya hanya terjadi pada level yang lebih rendah (level sub kultural) di dalam sebuah organisasi. Martin (2002) menyatakan bahwa "sub kultural mirip sebuah pulau ditengah lautan ambiguitas". Sebagai konsekuensinya diperlukan perspektif tradisional budaya organisasi yang diwakili oleh perspektif fungsionalis, mengeliminasi signifikansi sub kultural organisasi yang ada, (Smircich, 1983; Martin dan Frost, 1996). Para peneliti lain dengan perspektif "fragmentasi" menempatkan ambiguitas sebagai ganti kejelasan (clarity) dan kesatuan (unity) di dalam inti budaya organisasi. Peneliti yang menekankan perspektif fragmentasi menyatakan bahwa penafsiran manifestasi budaya merupakan sesuatu yang paling rancu terkait satu sama lain. Hal tersebut menunjukan ketiadaan konsistensi dan konsensus di dalam organisasi (Feldman, 1991; Meyerson, 1991; Kreiner dan Schultz, 1993; Martin dan Bekukan, 1996; Martin, 2002). Boeker (1989) mengambil pendekatan perspektif fungsionalis dalam studinya tentang perubahan strategis yang terjadi didalam organisasi. Temuannya menunjukan karakteristik permulaaan organisasi yang menyediakan panduan pada strategi awal terkait dengan adanya kontribusi konsensus internal. Argumentasinya menyatakan bawa pemimpin organisasi harus memahami bahwa mereka bekerja di dalam hambatan, sebagian besar berawal dari struktur awal yang dibentuk, rutinitas, perbendaharaan situasi, dan varias sub kultural yang sudah dilembagakan dari waktu ke waktu. Filosofi awal terbentuknya organisasi akan menciptakan pijakan budaya organisasi dan simbolisme-simbolisme, mitos-mitos dan tradisi yang harus dipahami sebelum praktek manajemen yang lain, (House dan Singh, 1987). Weick(1979) menyatakan budaya organisasi sesungguhnya sebuah konstruk yang lebih kompleks yang menggambarkan konsep yang saling terkait dibandingkan hanya sebuah variabel. Di dalam hubungan yang saling terkait, satu variabel bisa menjadi sebab dan akibat dari variabel yang lain. Hubungan yang saling tergantung merupakan analogi yang berkembang, dimana terdapat variabel antara, variabel dependen dan variabel independen yang saling terkait (Babbie, 1992). Konsep Weick (1979) tentang saling ketergantungan yang menempatkan kontradiksi, ambiguitas, paradoks yang pada gilirannya ketika organisasi berkembang kedepan akan ditemukan penyimpangan di dalam asumsi-asumsi dasar organisasi yang harus dipecahkan. Pada beberapa kasus perubahan perilaku organisasi terjadi melalui proses modifikasi, akulturasi budaya dan pengaruh lingkungan, serta penafsiran-penafsiran yang berbeda oleh anggota organisasi (Martin, 1992). Kesulitan yang dialami para ahli teori adalah upaya untuk membatasi konsep budaya organisasi, dimana budaya organisasi telah membawa persepsi lebih dari sekedar variabel (Berger dan Luckmann, 1966; Geertz, 1973, Smircich, 1983; Pondy, dkk., 1983; Schultz dan Hatch, 1996; Martin, 2002). Banyak ahli teori merasa budaya organisasi dapat disamakan sebagai gambaran organisasi, hal ini merupakan metafora memahami organisasi secara berbeda namun dengan cara yang parsial (Morgan, 1986, hal. 12).
2.4.2 Perspektif Semiotik
Tidak seperti dalam perspektif fungsionalis yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sesuatu yang dimiliki organisasi (something that an organization has), maka perspektif semiotik memandang budaya organisasi sebagai sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri (something an organization is), (Smircich, 1983; Schein, 1985; Morgan, 1986). Morgan (1986, hal. 14) menyatakan bahwa organisasi saat ini terletak pada gagasan, nilai-nilai, norma-norma, ritual, dan kepercayaan yang mendukung organisasi sebagai realitas yang dibentuk secara sosial. Sebagai konsekuensi, studi budaya organisasi sebagai sebuah metafora mempromosikan pandangan organisasi sebagai bentuk yang ekspresif, penjelmaan kesadaran manusia (Smircich, 1983, hal. 347). Lakoff dan Johnson (1980) menekankan pengetahuan dan persepsi itu adalah proses interpretasi dimana manusia berupaya untuk mendapatkan pemahaman satu aspek pengalaman "kemanusiaan" melalui evaluasi pengalaman tersebut dalam kaitannya dengan pengalaman yang lain. Analisis secara terus menerus pengalaman kemanusiaan dalam konteks pengalaman yang lain adalah esensi dari proses metafora. Pada saat yang sama metafora dapat mendorong pengetahuan ilmiah yang lebih mendalam (Tsoukas, 1991), Morgan (1986) menekankan bahwa proses metafora memungkinkan kita untuk membingkai pemahaman sebuah pengalaman secara berbeda namun bukanlah cara yang sempurna. Dengan kata lain, metafora dapat menghasilkan persepsi yang condong pada satu sisi dari suatu pengalaman, hal ini dapat menjadi dasar interpretasi yang sama dari sebuah situasi atau pengalaman. Oleh karena itu, para peneliti dan pemimpin organisasi harus meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan uraian atau interpretasi organisasi (Geertz, 1973), yang akan memudahkan pemahaman menyeluruh kebersamaan secara komplementer maupun aktivitas-aktivitas paradoks meliputi konstruk budaya organisasi yang kompleks. Jermier (1991) menyatakan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai budaya dimana para aktor manusia adalah "pengangkut" dari tingkatan yang lebih luas dari suatu ekpresi budaya dan sebagai konsekuensi mengimpornynya kedalam peraturan organisasi, baik dari pengaruh masyarakat sosial, agama, jabatan, jender, usia, dan lain-lain. Selanjutnya anggota organisasi menerapkan pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam realitas konstruk sosial dan memaknainya untuk kehidupannya. Sebagai konsekuensi, Jermier menekankan budaya oraganisasi merupakan realitas yang dikonteskan dimana kontruk sosialnya dapat diinterpretasikan kembali secara berulang-ulang. Penekanan secara umum teori integrasi yang telah digarisbawahi para pakar yang banyak dikutip memandang budaya organisasi memiliki penafsiran satu sama lain yang saling melengkapi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, teori integrasi mereduksi perspektif lainnya menjadi perspektif diferensiasi dan fragmentasi, yang tidak memandang budaya sebagai konstruk homogen seperti yang ditekankan dalam perspektif integrasi (Martin, 1992, 1997, 2002). Studi yang dilakukan dari perspektif semiotik berupaya untuk menggambarkan budaya organisasi dengan menyediakan deskrepsi yang luas yang menyertakan konteks organisasi secara detail dari sudut pandang individu dan meliputi "pembukuan" yang terperinci, peristiwa, ucapan, tindakan dan situasi (Morgan, 1986).Tujuan menggunakan proses metafora untuk menggambarkan organisasi agar memungkinkan peneliti dalam menyingkapkan karakteristik dari suatu organisasi, yang mungkin dinyatakan sebagai gagasan atau simbol. Gagasan atau karakteristik simbolis adalah karakteristik seperti misalnya pengetahuan bersama (shared knowledge) yaitu pengetahuan yang berada dalam pikiran individu terkait dengan organisasi. Tujuan umum dari perspektif ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih besar sebuah budaya organisasi, tidak bertujuan untuk memperkirakan perilaku lainnya atau memperkirakan kinerja berdasarkan manifestasi budaya. Budaya organisasi dipandang sebagai pengalaman subyektif dan suatu analisa semiotik yang mempertimbangkan investigasi pola perilaku organisasi, suatu tindakan terorganisir di dalam pengaturan organisasi. Sebagai contoh, Mahler (1988) menuliskan sudut pandang semiotik bahwa ketertarikan pada budaya organisasi telah mendorongnya untuk mengumpulkan dan membuat katalog tema dari berbagai organisasi. Artikel yang dibuatnya membandingkan cerita-cerita organisasi dan mencatat kehidupan organisasi pada keunikannya namun klasik, misalnya sebuah dongeng yang menyebar ke seluruh bagian organisasi. Hasil kerja Mahler (1986) merekomendasikan perlunya identifikasi dan analisis mitos-mitos yang ada akan memungkinkan para peneliti berikutnya lebih mudah memahami nilai-nilai yang dinyatakan, perasaan, motivasi dan komitmen anggota organisasi. Morgan (1986) menyatakan bahwa pengamatan budaya organisasi sebagai metafora memungkinkan penafsiran kembali banyak konsep-konsep manajerial tradisional. Secara spesifik ia menyatakan :
Metafora budaya merujuk pada pengertian lain dari penciptaan aktivitas yang terorganisir ; dengan pengaruh bahasa, norma, dongeng, upacara dan praktek sosial lainnya yang mengkomunikasikan ideologi kunci, nilai, kepercayaan yang memandu tindakan. Karenanya antusiasme saat ini di dalam mengelola budaya perusahaan sebagai "perekat normatif" yang memperkuat organisasi. Sedangkan sebelumnya banyak manajer memandang dirinya kurang lebih sebagai seorang pekerja yang merancang struktur dan uraian kerja, mengkoordinir aktivitas atau mengembangkan skema penghargaan untuk memotivasi pekerja. Saat ini mereka telah memandang dirinya sebagai aktor simbolis yang memiliki tugas utama mengembangkan pola-pola perilaku organisasi yang memiliki arti khusus. Hasil riset budaya organisasi menunjukan bagaimana bentuk manajemen simbolis dapat digunakan untuk membentuk realitas kehidupan organisasi dengan cara meningkatkan kemungkinan tindakan yang lebih terkoordinir.
Morgan (1986) juga menekankan bahwa pemahaman perubahan organisasi seharusnya meliputi realisasi perubahan organisasi sebagai hasil perubahan gambaran dan nilai yang akan menjadi pedoman tindakan, bukan sekedar perubahan teknologi dan struktur. Pengertian yang mendalam ini mengingatkan kepada sistem sosio-teknis organisasi (Trist, 1981). Seacara ringkas, Bolman & Deal (1991) menekankan bahwa budaya organisasi adalah suatu perpindahan penting dari prinsip teori organisasi tradisional yang menyertai rasionalitas, kepastian, dan linearitas. Dasar dari pedekatan perspektif semiotik adalah keinginan untuk menggunakan konsep budaya organisasi sebagai suatu alat epistemologi guna membatasi studi organisasi sebagai peristiwa sosial dan sebagai bentuk unik ekspresi kemanusiaan (Smircich, 1983). Sebagai konsekuensi, Smircich (1983) menunjukkan bahwa perilaku organisasi terbentuk sebagai pola hubungan simbolis yang telah diberi maksud oleh anggota organisasi melalui suatu proses konsensus, yang memberikan gambaran situasi yang independen.
Bolman dan Deal (1991) meringkas persepsi mereka terhadap pendekatan semiotik dengan menyatakan bahwa sifat alami organisasi dan perilaku manusia didasarkan pada asumsi-asumsi diluar kebiasaan sebagai berikut :
  1. Apa yang paling utama tentang peristiwa bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa makna yang ditimbulkannya.
  2. Peristiwa dan arti disatukan secara lebih longgar : peristiwa yang sama dapat mempunyai arti sangat berbeda untuk orang yang berbeda oleh karena perbedaan skema / struktur pengalaman yang mereka menggunakan untuk menginterpretasikan peristiwa yang terjadi.
  3. Banyak peristiwa yang penting dan proses di dalam organisasi bersifat tidak pasti atau rancu, terkadang sangat susah atau mustahil untuk diketahui apa yang terjadi, kenapa terjadi, ataupun apa yang akan terjadi.
  4. Semakin besar kerancuan dan ketidak-pastian, semakin sulit untuk menggunakan pendekatan rasional dalam menganalisis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.
  5. Menghadapi situasi ketidakpastian dan kerancuan (ambiguity), manusia menciptakan simbol untuk memecahkan kebingungan, meningkatkan prakiraan (predictability) dan memberikan arah. Hal ini sepertinya tidak logis, mengalir, acak, tak memiliki arti, namun simbol-simbol memberikan makna sebaliknya.
  6. Banyak proses dan peristiwa organisasi adalah sesuatu lebih penting untuk mereka nyatakan dibanding untuk apa mereka lakukan: mereka mengikuti dongeng, ritual, upacara, dan hikayat yang membantu mereka menemukan maksud dan memanggil pengalaman mereka
Martin (2002) menekankan bahwa perspektif semiotik melihat lebih dalam pada perilaku organisasi sedemikian hingga pemahaman yang dalam bagaimana anggota organisasai menginterpretasikan pengalaman dan manifestasinya untuk membentuk pola kejelasan, inkonsistensi, dan ambiguitas dapat dicapai. Di dalam perspektif semiotik, fokus riset bergeser dari apa yang dicapai dan tingkat efisien, menjadi bagaimana organisasi melakukan, dan apa arti dibalik tindakan yang dilakukan (Smircich, 1983). Telah dibahas suatu tinjauan ulang literatur mengenai analisis teoritis budaya organisasi yang dapat diringkas sebagai perdebatan pendekaran fungsionalis yang meyakini organisasi memiliki budaya dan pendekatan semiotik yang menyatakan organisasi adalah budaya. Kedua perspektif menyediakan pengertian yang unik hinggak konstruk yang komplek. Bagaimanapun kedua pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri di dalam memecahkan masalah yang rumit di dalam organisasi. Smircich (1983) menyatakan, terlepas dari perbedaan, kemungkinan kebenaran konsep budaya organisasi berfokus pada sesuatu yang ekspresif, kualitas organisasi non rasional dan hal tersebut legitimasi subyektif, aspek-aspek interpretatif kehidupan organisasi. Bagian yang berikutnya menyediakan suatu perspektif berbeda dimana pembahasan berfokus pada metodologi riset. Sudut pandang riset kualitatif dan kuantitatif akan di ekplorasi sebagai bagian dari penelitian ini.
2.4.3. Pengukuran Budaya Secara Kuantitatif
Martin (2002) menyatakan peneliti budaya organisasi memiliki dilema metoda penelitian yang digunakan setiap kali mereka medesain atau mengevaluasi suatu studi, baik mereka sadari atau tidak. Misalnya saja jenis desain studi bagaimana yang akan menjawab pertanyaan penelitian atau tujuan penelitian ? Apa dan bagaimana implikasi teoritis dari metode yang digunakan. Bahkan, pertimbangan praktis pun harus dilakukan seperti dana penelitian, ketersediaan waktu, data yang tersedia, tingkat minat pada topik yang ditelliti dan sejauh mana riset mendukung, menambah atau memperluas pengetahuan yang ada (Creswell, 1994). Sebagai konsekuensi, dua riset metodologis, metoda riset kualitatif dan kuantitatif, atau kombinasi keduanya, saat ini telah membentuk pondasi bagi kebanyakan riset yang ada.
Creswell (1994), di dalam bukunya membahas metodologi penelitian menyatakan pendekatan kuantitatif dalam sebuah desain penelitian menekankan pentingnya bagi peneliti untuk menjaga jarak dan independen dari obyek yang sedang diteliti. Hasil analisis ditandai dengan format formal dan tidak berfokus pada pribadi peneliti, menyertakan logika deduktif untuk menguji teori dan hipotesis dalam kerangka sebab akibat. Peneliti kuantitatif memandang realitas sebagai sesuatu yang logis, situasi yang obyektif dimana peneliti mampu melakukan pengukuran melalui kuesioner, survei dan eksprimen yang dapat dikontrolnya. Creswell (1994) menyatakan studi kuantitatif adalah pemeriksaan ke dalam problem sosial atau kemanusiaan, didasarkan pada pengujian teoritis sejumlah variabel, pengukuran dengan angka, dan analisis menggunakan prosedur statistik dalam rangka menentukan generalisasi model.
Metodologi yang digunakan untuk penelitian disertasi ini menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (OCAI-Organizational Culture Assessment Instrument) yang akan dibahas mendetail dalam bab metode penelitian. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa survei OCAI didesain dengan menggabungkan metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk menggali asumsi terbentuknya budaya organisasi (Cameron dan Quinn, 1999).
Pada sisi lain, banyak peneliti budaya percaya bahwa pendekatan kuantitatif merupakan metoda yang kurang efektif untuk mempelajari konstruk yang kompleks seperti halnya budaya organisatoris. Sebagai contoh, Rousseau (1990) menunjukkan bahwa penilaian kuantitatif memiliki kontroversial di kalangan peneliti dan secara umum kurang "pas". Schein (1991) setuju dan menekankan upaya yang maksimal dalam mengukur dan mengkuantifikasi konsep budaya organisasi yang masih terabaikan, hal ini mengingat sebagian peneliti sudah memiliki penafsiran meskipun hanya mengevaluasi budaya pada level "permukaan" seperti nilai dan artefak organisasi. Sebagai konsekuensi, Schein percaya penelitian kuantitatif yang dilakukan terpisah dari kulitatif akan menyediakan hasil analisa konstruk yang dangkal dan gagal untuk mengevaluasi asumsi-asumsi utama budaya organisasi. Di samping pemikiran yang berlawanan dengan pendekatan kuantitatif ini, juga adanya pertimbangan banyaknya studi organisasi sejak 1960-an yang lebih berfokus pada survei, analisa data arsip, dan eksperimen (Martin, 2002). Teknik kuantitatif menekankan prinsip empris-rasional yang mendukung pendekatan positivisme dalam pembelajaran dan pembentukan pengetahuan. Frederickson (1994) menyatakan bahwa asumsi dasar semua realitas sosial dan alam terdiri dari pola terpadu yang dapat diukur dan dievaluasi melalui pengalaman yang terkait dengan perasaan. Bagaimanapun, seperti yang telah diuraikan di atas, konsep budaya organisasi bersifat sangat subyektif karena hal tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang diambil dari anggota-anggota organisasi. Sebagai konsekuensi, adalah dapat dimengerti bila banyak ahli teori organisasi menghindari riset kuantitatif, yang didesain untuk meringkas, membandingkan, mem-validasi, mereplikasi, mereduksi dan meneliti secara obyektif, sebagai sebuah metodologi yang dirasakan tidak cukup untuk menganalis sebuah konstruk kompleks seperti halnya budaya organisasi (Cameron dan Ettington, 1988; Rousseau, 1990; Schein, 1999; Martin, 2002). Akan tetapi Cameron dan Ettington (1988) menyatakan bahwa alasan utama mempergunakan metoda kuantitatif, misalnya survei yaitu untuk menggantikan pertanyaan penelitian budaya organisasi yang umumnya menggunakan skala Likert dengan uraian tertulis atau skenario dimana kontruk penelitian merefleksikan atribut budaya organisasi yang diteliti. Cameron dan Ettington menunjukkan bahwa teknik ini memungkinkan responden untuk melakukan pengukuran nilai-nilai dasar utama serta orientasi budaya organisasinya. Hal ini dapat dikatakan memberikan keuntungan secara kualitatif maupun kuantitatif dan akhirnya mendorong pengembangan instrumen OCAI dan MSAI (Management Skills Assessment Instrument) oleh Cameron and Quinn (1999), yang akan digunakan dalam studi disertasi ini. Berrio (2003) menyediakan dukungan empiris efektivitas penggunaan OCAI dalam studi identifikasi budaya dominan di Ohio State university. Dalam studinya, Berrio menyatakan bahwa model CVF (Competing Values Framework) dapat digunakan dalam mengkonstruksi profil budaya organisasi. Melalui penggunaan OCAI, suatu profil budaya organisasi dapat disimpulkan berdasarkan bentuk budaya organisasi yang dominan. Terkait data empiris dan perdebatan metodologi, Hofstede dkk. (1990), menemukan bahwa budaya organisasi dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan pada jawaban anggota organisasi atas pertanyaan-pertanyaan tertulis yang diajukan kepadanya.
2.4.4. Pengukuran Budaya secara Kualitatif
Pendekatan kualitatif menekankan pentingnya peneliti untuk berinteraksi dengan obyek studi baik etnografi jangka panjang atau melalui kolaborasi aktual. Hasil analisis memiliki ciri khas format pribadi peneliti yang erat dengan nilai-nilai peneliti dan memiliki bias personal. Para peneliti kualitatif berusaha untuk memahami dan menemukan makna melalui logika induktif dimana pengelompokan riset muncul dari informasi yang disediakan oleh informan dan menghindari prasangka yang peneliti (Creswell, 1994). Merriam (1988) menyebutkan enam asumsi atau prinsip yang mmenjadi dasar pendekatan riset kualitatif, yaitu :
  1. Peneliti kualitatif lebih berfokus pada proses daripada hasil yang dicapai.
  2. Peneliti kualitatif tertarik pada cara orang-orang bisa menerima kehidupannya, pengalaman, dan struktur dunianya.
  3. Peneliti kualitatif adalah instrumen yang utama bagi dirinya sendiri untuk pengumpulan data dan analisa. Data dimediasi melalui instrumen manusia daripada sekedar daftar pertanyaan.
  4. Riset kualitatif melibatkan kerja lapangan. Peneliti secara langsung pergi ke obyek yang diteliti, lingkungan, lokasi, atau institusi untuk mengamati atau merekam perilaku orang organisasi secara "alami".
  5. Riset kualitatif bersifat deskriptif dalam arti peneliti tertarik pada proses, arti dan pemahaman yang dicapai melalui kata-kata dan gambar.
  6. Proses riset kualitatif bersifat induktif dalam arti peneliti membangun abstrak, konsep, hipotesis, dan teori dari hal-hal yang sangat detil.
Para peneliti yang mendukung pendekatan analisis kualitatif menyatakan bahwa riset kualitatif bersifat sangat subyektif sehingga teknik yang paling mungkin yaitu menggunakan analisis etnografis yang mendalam untuk memahami suatu budaya organisasi (Geertz, 1973; Martin, 1992, Schein, 1985, 1999; Martin, 2002). Desain riset etnografi berusaha untuk mengembangkan gambaran holistik subyek penelitian dengan menekankan pada potret keseharian individu melalui obeservasi dan interview serta hal-hal lain yang relevan (Creswell, 1994, hal. 163). Rousseau (1990) mengulangi pernyataan ini dengan menyatakan dasar pemikiran metoda kualitatif ditunjukan pada asumsi sulitnya akses, tingkat kedalaman dan kualitas budaya "tak sadar" yang ada. Bagaimanapun, Riley (1991) menunjukkan salah satu tantangan pendekatan etnografis adalah dibutuhkannya dedikasi pada projek yang luar biasa secara fisik maupun emosional dimana peneliti secara intim terlibat dengan budaya yang diteliti dan orang-orang yang menghasilkan budaya tersebut. Bahaya lain jika peneliti menjadi "native" yaitu ia menjadi sangat terasimilasi di dalam budaya yang diteliti sehingga akan membuat analisis berdasarkan prasangka dan nilai yang dibatasi. Rousseau (1990) juga menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai refleksi konstruksi sosial merupakan realitas yang unik dari anggota-anggota unit sosial, dan keunikan ini sukar bila dijadikan ukuran standar dalam mendapatkan proses budaya yang terjadi. Martin (2002) menyediakan ringkasan diskusi seputar metodologi kuantitatif dan kualitatif dan menunjukan argumentasi yang sangat kuat mengapa teknik kuantitatif telah mendominasi riset budaya (Trice dan Beyer, 1993) dengan menyatakan : ”Ketika budaya diperlakukan sebagai variabel dan digunakan untuk mem-prediksi variabel lain, misalnya kinerja organisasi, ini sangat relevan dengan superioritas metoda kuantitatif dalam penelitian dikaitkan dengan implikasi fungsional, misalnya peningkatan produktivitas dan kinerja. Budaya sebagai variabel penelitian lebih mudah untuk dilihat sebagai aspek manajerial dan sesuai dengan karakterisasi Habermas di dalam riset teknis. Sebaliknya, budaya sebagai metafora menempatkan budaya bukan sebagai variabel, namun sebuah metafora untuk menguji kehidupan organisasi sehari-hari. Budaya sebagai metafora menyoroti aspek fungsi organisasi yang telah diabaikan karena fokus pada variabel penelitian, misalnya ukuran organisasi dan struktur, yang dapat diukur lebih mudah mempergunakan metoda kuantitatif. Deal dan Kennedy berargumen bahwa analisis kualitatif memungkinkan peneliti untuk mempergunakan anggota organisasi yang dapat mendiagnosa budaya secara lebih mendalam dengan ketepatan yang jauh lebih besar. Namun terdapat perangkap untuk memperoleh pemahaman yang akurat yang menyangkut persepsi budaya organisasi seseorang, bila faktor obyektivitas menjadi bagian yang utama. Schein (1992, hal 169) tidak sependapat bila analisa kualitatif yang detil harus dicapai hanya melalui proses etnografi tradisional. Sebagai gantinya dia menguraikan persepsinya pada proses etnografi dengan menyatakan seorang peneliti harus melakukan wawancara "klinis", sebuah rangkaian pertemuan dan eksplorasi bersama antara investigator dan beberapa informan yang tinggal dan melekat di dalam organisasi. Schein (1992) menunjukkan bahwa “outsider” tidak bisa secara penuh memahami atau menghargai nuansa semantik bagaimana aturan organisasi berlaku dalam berbagai situasi atau bagaimana mereka diterjemahkan ke dalam perilaku. Apalagi, “outsider” menurut definisi tidak bisa digunakan untuk mengamati peristiwa dan juga derajat akurasinya akan dipertanyakan, terkecuali bila dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan “insider”. Namun demikian, Schein menyatakan “insider” tidak mampu mengkomunikasikan kepada peneliti nilai-nilai yang tidak disadari (unconscious values) dan asumsi yang berada di pusat budaya organisasi. Sebagai konsekuensi, Schein (1992) menyatakan melalui upaya bersama-sama antara peneliti dan anggota organisasi maka penentuan budaya organisasi dan hubungan pola utama dapat di evaluasi secara akurat, selain itu faktor subyektivitas dan bias peneliti dapt dihindari. Penelitian ini akan menggunakan metode kuantitatif, namun demikian kajian kualitatif tetap dilakukan mengingat peneliti sebagai bagian dari individu organisasi yang menjadi ”native” dan terlibat aktif dalam interaksi sosial dalam salah satu perusahaan yang menjadi sampel penelitian.
Pada sub-bab berikutnya akan dibahas secara singkat OCAI, yang akan digunakan dalam studi ini dalam perspektif penelitian seperti yang diuraikan oleh Schein di atas. Seperti yang dijelaskan lebih detil pada bab metodologi, OCAI adalah instumen kuantitatif yang bersandarkan pada proses dialog diantara individu organisasi yang memiliki keterkaitan dengan manajemen perubahan budaya. Ini pada umumnya melibatkan para manajer puncak organisasi dan membantu mereka untuk membongkar, atau membawa kepada permukaan, aspek budaya organisasi tidak bisa di identifikasi atau dinyatakan oleh anggota organisasi” (Cameron dan Quinn, 1999, hal. 72).
2.5. Budaya Organisasi dan TQM
Schneider (1994) menjelaskan pentingnya budaya perusahaan dengan menyatakan bahwa budaya organisasi mampu menyediakan konsistensi bagi organisasi dan orang-orang di dalamnya yang menyangkut tata nilai, keyakinan dan prilaku yang dibangun berdasarkan tradisi sukses organisasi. Sathe (1983) menunjukan bahwa budaya organisasi berperan sebagai ‘sesuatu yang sulit dipisahkan dan bahkan memiliki peranan yang menyatu dalam sebuah kehidupan organisasi’, dengan pemahaman budaya organisasi yang baik, pemimpin organisasi dapat secara efektif menggunakan, membelokan bahkan mengubahnya sesuai kebutuhan organisasi apabila diperlukan. Cameron & Quinn (1999) setuju dengan penilaian ini, mereka menyatakan bahwa sebagian besar pengamat dan pakar organisasi saat ini telah menyadari budaya perusahaan memiliki pengaruh terhadap kinerja dan efektivitas organisasi jangka panjang.
Schein (1985) menyatakan manifestasi budaya organisasi terbentuk dari 3 (tiga) level, yaitu atribut / artefak (artifacts), nilai (values) dan basic underlying assumptions. Schein mengindikasikan artefak sebagai ekspresi budaya organisasi yang terlihat secara nyata, artefak mewakili konstruk fisik organisasi dan lingkungan sosialnya. Artefak organisasi termasuk didalamnya fenomena yang terlihat misalnya : bahasa, teknologi dan produk, upacara dan ritual, mitos, seragam, arsitektur bangunan, misi dan visi, sejarah organisasi, simbol dan berbagai kegiatan seremonial yang ada. Artefak mudah di observasi, akan tetapi artefak hanya meggambarkan sekilas budaya organisasi, karena arti yang berada dibalik artefak tidak mudah untuk diterjemahkan dan di-interpretasikan.
Berikutnya Schein (1985) menjelaskan level kedua manifestasi budaya adalah “nilai”. Nilai inilah yang akan menjadi dasar untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, menjadi pedoman bila anggota organisasi menghadapi ambiguitas. Schein (1985) meyakini bahwa nilai organisasi tidak terlihat pada artefak organisasi. Bahkan ia menyatakan kesadaran terhadap values bisa lebih besar dibandingkan basic underlying assumptions. Biasanya organisasi menyampaikan kepada publik “values” dan mengkomunikasikan kepada anggota organisasi, stakeholders, dan masyarakat umum. Nilai-nilai organisasi sering disampaikan dalam strategi organisasi, sasaran, filosofi, program training dan terpampang jelas di dalam pernyataan nilai organisasi. Level ketiga dan paling dalam dari manifestasi budaya perusahaan adalah basic underlying assumptions, yang tumbuh dari standardisasi penyelesaian masalah yang berulang-ulang di masa lalu dan mejadi hal yang ‘tidak sadar’ dan selalu menjadi dasar dalam penyelesaian masalah-masalah serupa yang muncul. Secara ekstrim, bahkan anggota organisasi mengambil basic underlying assumptions sebagai sesuatu yang non-confrontable & non-debatable (Schein, 1985, h. 18).
Selanjutnya Cameron & Quinn (1999) mendefinisikan budaya sebagai “taken-for-granted values, underlying assumptions, expectations, collective memories, and definitions present in an organization”. Budaya organisasi menjadi identitas yang tak tertulis, tak terucap, tidak disadari dan menjadi bagian menyatu dari sebuah organisasi yang berguna untuk mempertahankan stabilitas sistem sosial di dalam lingkungan organisasionalnya. Cameron & Quinn meyakini bahwa budaya perusahaan mampu membuat organisasi menjadi unik, yang serupa dengan penilaian Schneider (1994). Keunikan dalam arti positip akan menjadi daya saing organisasi yang menjadi sumber keunggulan kompetitif yang sukar ditiru, Wright dkk (1994).
Pemahaman yang sama para peneliti di bidang budaya organisasi (Cameron & Quinn, 1999; Schein, 1999) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan faktor utama kemampuan “survive” dan efektivitas jangka panjang organisasi. Sebagai konsekuensi, pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab dalam menentukan arah stratejik dan visi organisasi tidak boleh menganggap remeh pentingnya budaya dan harus menyadari bahwa mereka bertanggung jawab untuk menganalisis dan mengelola budaya organisasi. Pimpinan organisasi harus kapabel dalam mengembangkan strategi untuk mengukur budaya, mengubahnya dan mengimplementasikan sesuai dengan kebutuhan organisasi selaras dengan sasaran organisasi. Perlu dipahami secara seksama bahwa artefak, nilai dan basic underlying assumptions melekat pada orang (SDM) yang dibangun melalui praktek-praktek SDM yang ada. Selanjutnya untuk memahami pengukuran dan analisis budaya organisasi, Quinn & Rohrbaugh (1983), Cameron & Quinn (1999) melakukan ekplorasi dan pemetaan budaya perusahaan dengan mengembangkan model yang disebut sebagai Competing Values Framework.
Quinn & Rohrbaugh (1983), Cameron & Quinn (1999) berhasil mengembangkan instrument survei kuantitatif untuk mengukur budaya organisasi berdasarkan “Competing Values Framework – CVF”. Instrumen yang pertama disebut sebagai OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument) dimana para peneliti dapat mengukur 4 (empat) budaya dominant didasarkan tipe budaya perusahaan yang dkembangkan berdasarkan CVF. Instrumen yang kedua disebut sebagai Management Skill Assessment Instrument (MSAI), yaitu instrumen yang digunakan untuk mengukur kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), kemampuan managerial / leadership dan kompetensi profesional organisasi.
Cameron & Quinn (1999) telah mengidentifikasi 4 (empat) tipe budaya CVF sebagai budaya “Clan”, budaya “Adhocracy”, budaya “Hierarchy” dan budaya “Market”. 4 (empat) tipe budaya tersebut memiliki karakteristik yang yang berbeda-beda, misalnya budaya organisasi “adhocracy” memiliki karakteristik yang menumbuh-kembangkan fleksibilitas, adaptabilitas, kreativitas dan informasi yang ada menjawab situasi organisasi untuk menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas. Tipe budaya organisasi harus di-ikuti dengan “cultural congruence” dimana setiap budaya organisasi tertentu harus fit dengan situasi praktek SDM dan karakter kolektif individu yang dibutuhkan untuk mendukung kinerja dan efektivitas organisasi, demikian pula sebaliknya “in-congruence” akan menghambat kinerja organisasi. Terkait penggunaan CVF sebagai model penelitian budaya, Berrio (2003) juga telah melakukan riset menggunakan OCAI dengan mengambil obyek Ohio State University, hasilnya menunjukan CVF dapat digunakan untuk mendefinisikan budaya organisasi yang paling dominan, selain itu membuktikan adanya keterkaitan antara “cultural congruence” dengan kinerja organisasi, hal ini diperkuat pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Pierce (2004) yang mengukur budaya organisasi menggunakan instrumen yang sama dan menunjukan hasil yang tidak berbeda, namun demikian Pierce merekomendasikan untuk dilakukan riset selanjutnya untuk memperkuat generalisasi hasil yang telah dilakukannya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perdebatan mengenai metodologi yang digunakan untuk menganalisis budaya organisasi terus berlanjut hingga saat ini. Dua pertanyaan kunci muncul dari literatur terkait pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pertama, apakah metoda analisis kuantitatif seperti daftar pertanyaan dan instrumen survei menyediakan informasi yang dangkal tentang pemahaman budaya ? Kedua, apakah pendekatan kualitatif memiliki ruang lingkup yang kurang luas untuk studi komparasi beberapa budaya organisasi mengingat keterbatasan waktu dan tenaga peneliti yang berfokus hanya pada satu budaya organisasi ? Terkait dengan diskursus mengenai metodologi dan menjawab pertanyaan tersebut, Cameron and Quinn (1999) menyatakan bahwa OCAI yang mereka buat berdasarkan CVF (Competing Values Framework) yang awal mulanya dikembangkan oleh Quinn dan Rohrbaugh (1981) ditujukan guna menjawab pertanyaan seputar metodologi penelitian budaya organisasi. Secara rinci Cameron dan Quinn (1999, hal. 135) menunjukkan bahwa : untuk melakukan perbandingan beberapa budaya, pendekatan kuantitatif harus digunakan. Menjadi hal yang sangat krusial dimana instrumen survei harus mampu memberikan informasi dasar asumsi dan nilai budaya, bukan sekedar persepsi ataupun perilaku superfisial situasi organisasi. Hal ini dapat dipenuhi secara baik dengan menggunakan skenario prosedur analisis, dimana responden melaporkan tingkat persepsi budaya organisasi melalui format skenario yang telah disusun. Skenario ini bertindak sebagai isyarat secara emosional dan kognitif yang membawa kepada inti atribut budaya organisasi. Responden mungkin tidak perduli pada atribut budaya yang rumit sampai mereka memahami skenario yang tertulis di kuesioner. Cameron dan Quinn (1999) menyatakan bahwa OCAI sudah banyak digunakan untuk melakukan identifikasi budaya perusahaan dalam ribuan organisasi dan sudah digunakan dalam memperkirakan kinerja organisasi. Validitas dan reliabilitas OCAI sudah teruji dan akan dibahas lebih detail pada bab metodologi penelitian. Model CVF, yang diterapkan oleh OCAI menyediakan suatu solusi pendekatan fungsionalis-semiotik, mengakomodasi perbedaan keduanya. Hal tersebut terjadi melalui identifikasi aspek organisasi yang merefleksikan nilai-nilai kunci dan asumsi organisasi dan setiap individu memiliki kesempatan untuk meresponnya menggunakan kerangka asumsi utama yang telah dikembangkan, (Cameron dan Quinn, 1999, hal. 137). Secara spesifik, responden OCAI diminta untuk menjawab pertanyaan yang mewakili 6 (enam) dimensi, yang menurut Cameron dan Quinn (1999) dinyatakan sebagai nilai budaya paling fundamental dan asumsi implisit cara organisasi menjalankan fungsinya. Keenam dimensi tersebut adalah : karakteristik dominan, kepemimpinan organisasi, manajemen karyawan, perekat organisasi, fokus strategi, dan kriteria sukses. Ketika dikombinasikan dengan empat jenis budaya yang terdapat dalam CVF menjadi tipe budaya clan, tipe budaya adhocracy, tipe budaya market, dan tipe budaya hierarchy (Cameron dan Ettington, 1988), yang dibentuk oleh dua dimensi efektivitas utama: internal focus dan integration versus external focus dan differentiation ; stability dan control versus flexibility dan discretion, enam dimensi budaya tersebut dapat dijadikan kerangka fundamental yang digunakan oleh anggota organisasi ketika mereka memperoleh, menginterpretasikan, dan menarik kesimpulan tentang informasi, Cameron dan Quinn (1999, hal. 136), seperti yang dijelaskan dalam Gambar 2.9. Sebagai konsekuensi, OCAI mampu menjelaskan budaya organisasi utama sebagai budaya organisasi yang bersifat ambiguitas, kompleks, pemaknaan konstruk sosial yang non-linear, susah untuk dilakukan observasi maupun dikuantifikasikan. OCAI memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi budaya organisasi yang paling dominan berdasarkan empat tipe budaya organisasi yang dikembangkan Cameron dan Quinn. Bahkan OCAI memungkinkan untuk mengukur tingkat kongruensi sebuah budaya organisasi aktual versus budaya organisasi yang dikehendaki. Kongruensi budaya merujuk pada tingkatan dimana berbagai aspek budaya organisasi dapat diselaraskan dengan kebutuhan organisasi. Hal tersebut merupakan budaya yang sama dan ditekankan pada berbagai bagian organisasi (Cameron dan Quinn, 1999, hal. 64).
Gambar 2.9. Competing Values Framework
Sumber : Cameron dan Quinn (1999)
Meskipun penyusun OCAI menyatakan bahwa pendekatan ini mewakili riset dalam perspektif fungsionalis yang memperlakukan budaya organisasi sebagai variabel, Camreon dan Quinn juga mengakui adanya aspek yang tidak bisa dikendalikan dan sebagai hal yang rancu (ambiguous) mewakili perspektif semiotik. Lebih lanjut teknik OCAI dalam Gambar 2.9 merupakan kombinasi sebagian aspek positif metodologi riset kualitatif dan kuantitatif, nampak sangat sempurna menjelaskan orientasi yang berbeda, seperti halnya persaingan nilai, yang menggambarkan perilaku manusia dimana masing-masing kuadran mewakili asumsi dasar, orientasi, dan nilai yang terdiri elemen-elemen serupa yang meliputi suatu budaya organisasi, Cameron dan Quinn (1999, hal. 33). Sebagai konsekuensi, OCAI dan pendekatan CVF dipilih dalam studi ini karena CVF sudah dikembangkan secara empirik dan memiliki validitas yang baik (Cameron dan Quinn, 1999). Lebih lanjut OCAI adalah suatu instrumen kuantitatif yang telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan respon kualitatif bagi tiap responden. Oleh karena itu, OCAI dapat dianggap sebagai suatu konsep hibrid yang menyertakan kuantitatif dan disain riset kualitatif, serta instrumen tersebut mempunyai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Terkait dengan bentuk budaya perusahaan, maka implementasi manajemen mutu atau improvement tools yang saat ini banyak dipergunakan oleh berbagai perusahaan, yaitu TQM (Total Quality Management) secara otomatis juga mempersyaratkan “culture congruence” yang “pas”, mengingat budaya yang mendorong suksesnya implementasi TQM membutuhkan perubahan budaya tertentu yang harus dicapai dengan manajemen perubahan (change management). Sub-bab berikut ini akan menjelaskan perkembangan singkat riset TQM dan kriteria Malcolm Baldrige Assessment yang sudah banyak digunakan sebagai parameter model keunggulan organisasi kelas dunia (world-class company).
Konsep CVF (Quinn, 1988) diturunkan dari Competing Values Model (Quinn & Rohrbaugh, 1983) yang menguji dimensi dan menilai efektifitas organisasi. CVF dikembangkan untuk menetapkan kriteria efektivitas organisasi dan digunakan untuk mempelajari banyak aspek-aspek organisasi seperti peran kepemimpinan dan efektivitas, budaya organisasi, perubahan, pengembangan, dan manajemen sumber daya manusia (Cameron & Freeman, 1991; DiPadova & Freeman, 1993; Quinn & Kimberley, 1984; Zammuto & Krakower, 1991). Studi lainnya menyelidiki budaya organisasi dan strategi organisasi (Bluedorn & Lundgren, 1993) serta aplikasi CVF untuk mengukur kode etik perusahaan (Stevens, 1996). CVF memiliki dua dimensi utama efektivitas organisasi : dimensi pertama membedakan efektivitas dalam konteks fokus internal versus fokus eksternal, sedangkan demensi kedua membandingkan ukuran-ukuran mengenai struktur : predictability/control versus flexibility/spontaneity, seperti digambarkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 CVF : Peran Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Sumber: Quinn, R.E. (1988)
Disebut sebagai CVF karena dimensi-dimensi utamanya menggambarkan nilai-nilai yang kontras. Sebagai contoh: Organisasi perlu fleksibel (flexibel) dan dapat menyesuaikan diri (adaptable), tetapi juga tekendali (controlled) dan stabil (stable). Demikian pula organisasi membutuhkan pertumbuhan, akuisisi sumber daya dan dukungan eksternal, namun juga memerlukan manajemen informasi yang ketat dan komunikasi formal. Kerangka konseptualnya menekankan pada nilai sumber daya manusia, tetapi juga menekankan pada perencanaan dan penetapan sasaran. Terdapat bukti dari riset terbaru dimana pemimpin yang efektif dan organisasi yang maju mampu menyeimbangkan tuntutan konflik, organisasi berkinerja tinggi membutuhkan kemampuan pemimpin dalam mengelola hal-hal yang berlawanan (paradox). secara bersama-sama, dua dimensi menghasilkan empat kuadran nilai budaya organisasi. Nilai masing-masing kuadran melengkapi kuadran yang bersebelahan dan berlawanan nilai dengan kuadran yang berlawanan. Empat kuadran yang ada mewakili empat set seperangkat nilai yang menjadi pedoman dalam manajemen organisasi, manajemen lingkungan dan integrasi internal. Setiap organisasi memiliki nilai-nilai sesuai dengan kuadran-nya hingga pada level tertentu menciptakan profile nilai organisasi. Semua organisasi mengembangkan kombinasi empat kuadran dengan satu atau dua kuadran biasanya paling dominan dibandingkan yang lain (Denison & Spreitzer, 1991; McDonald & Gandz, 1992). Masing-masing kuadran telah diberikan label untuk membedakannya dengan yang lainnya. Kuadran kiri atas, dikenal sebagai perspektif hubungan antar manusia (human relations) menekankan fungsi kepemimpinan orang (people leadership) misalnya kepercayaan dan rasa memiliki. Hasil target pada perspektif ini adalah: kohesi, partisipasi, keterbukaan, moral, dan komitmen. Penekanan pada fleksibilitas dan fokus internal. Berbagi informasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sangat didukung. Setiap individu dianggap anggota yang mampu bekerja sama sebagai bagian sistem sosial atau klan (clan) yang terikat oleh rasa memiliki dan afiliasi. Kuadran kanan atas dikenal sebagai perspektif sistem terbuka yang menekankan pada fungsi kepemimpinan adaptif. Hasil target pada perspektif ini adalah inovasi, adaptasi, pertumbuhan, dukungan eksternal dan akuisi sumber daya. Penekanannya pada fleksibilitas dan fokus ekternal seperti halnya inovasi dan kreatifitas. Setiap individu tidak dikontrol tetapi terinspirasi, sangat berkomitmen dan tertantang. Fungsi adhocracy berfungsi dengan baik bila tugas yang diberikan bersifat kurang jelas dan kebutuhannya mendesak untuk diselesaikan sangat terasa. Kuadran kanan bawah disebut sebagai perspektif tujuan rasional (rational goal perspective) yang menekankan pada fungsi kepemimpinan tugas. Hasil target perspektif ini adalah perencanaan, arah, kejelasan tujuan, produktivitas, efisiensi, dan pencapaian sasaran. Penekanannya pada predictability dan fokus eksternal. Individu diarahkan oleh figur berwenang yang bersifat menentukan, dan bila melaksanakan dengan baik akan diberikan hadiah. Bentuk budaya market ini meningkatkan daya saing organisasi dan produktivitas. Kuadran kiri bawah merujuk pada perspektif proses internal yang menekankan pada stabilitas dan kontrol. Hasil target dari perspektif ini adalah manajemen informasi, dokumentasi, stabilitas, rutinisasi, sentralisasi, kesinambungan, dan pengendalian. Penekanannya pada predictability dan fokus internal di mana individu diberi peran yang telah dirumuskan dengan baik dan diharapkan mengikuti aturan singkat apa yang harus dilakukan. Penghargaan yang utama adalah jaminan kerja. Di dalam sistem hirarki, kontrol internal dipastikan dengan aturan, pekerjaan yang terspesialisasi dan keputusan terpusat.
CVF digunakan untuk memberikan gambaran peran nilai-nilai yang ada di dalam budaya organisasi. Budaya organisasi menjelaskan bagaimana organisasi beroperasi (Gray, Densten,& Sarros, 2003), dengan menjelaskan nilai-nilai inti, asumsi, penafsiran dan pendekatan-pendekatan yang digunakan sesuai karakter organisasi. Organisasi bisnis membutuhkan cara yang sistematik untuk mengevaluasi budaya organsasi unit-unit operasinya, identifikasi kekuatan dan kelemahannya dalam rangka perencanaan strategi perubahan yang efektif. Tidak adanya perhatian pada budaya organisasi dapat berimplikasi pada gagalnya inisiatif strategis (Jones& Redman, 2000). Bahkan menurut Barney (1986), Fiol (1991) suksesnya implementasi inisiatif strategis memerlukan kecocokan yang kuat antara strategi dan budaya organisasi. CVF mempergunakan dimensi dan kuadran yang sama untuk menjelaskan kepemimpinan dan budaya organisasi dalam sebuah model terontegrasi. Terkait dengan analisa budaya organisasi, CVF memberikan label pada setiap kuadran untuk membedakan karakter-karakter organisasi paling dominan pada organisasi yang berbeda. Pemberian nama tersebut seperti yang telah dijelaskan, yaitu kuadran kiri bagian atas dikenal sebagai budaya klan (clan culture), pada bagian kanan atas disebut sbagai budaya adokrasi (adhocracy cultur), pada kanan bawah disebut budaya pasar (market culture) dan yang kiri bawah disebut sebagai budaya hirarki (hierarchy culture), Quinn & Cameron (1998).
Riset-riset terdahulu menunjukan bahwa tipe budaya yang berbeda akan menghasilkan bentuk efektifitas organisasi yang berbeda pula. (Cameron & Freeman 1991; Deal & Kennedy, 1982; Denison, 1990; Denison & Spreitzer, 1991; Lairy, 1994; Lau & Ngo, 1996; Saffold, 1988). Dalam konteks CVF, kriteria sukses masing masing budaya dominan dalam organisasi menunjukan efektivitas nilai yang ada. Budaya clan akan ditunjukan dengan moral karyawan yang tinggi, kerja tim; pada budaya adhocracy kriteria efektif ditunjukan pada solusi-solusi kreatif dan ide-ide baru; pada budaya market ditunjukan pada pencapaian sasaran, kemenangan kompetisi; sedangkan pada budaya hierarchy ditunjukan pada efisiensi, ketepatan waktu, kelancaran operasional dan segala sesuatunya dapat diprediksi. Organisasi jarang memiliki budaya organisasi yang bersifat tunggal. Organisasi cenderung memiliki kombinasi budaya, dalam arti satu atau lebih budaya paling dominan yang ada di dalamnya. Organisasi cenderung untuk mengembangkan budaya organisasi yang paling sesuai untuk menyesuaikan dengan tantangan dan perubahan (Sathe, 1983; Schein, 1985). Survei yang dilakukan dengan mengambil responden anggota organisasi dapat menentukan karakter paling dominan diantara empat kuadran budaya yang ada. Visualisasi budaya organisasi saat ini dan profil budaya organisasi yang di-inginkan dapat tergambar dengan jelas. Salah satu umpan balik survei yang dilakukan adalah kemungkinan proses perubahan budaya dengan menggunakan "action research" model dengan cara memperjelas budaya yang akan dicapai, target-target kunci dan mengajukan proses perubahan sesuai dengan budaya yang di-inginkan. Namur demikian harus hati-hati, mengingat Denison dan Spreitzer (1991) menyatakan bahwa didalam organisasi yang memiliki kecenderungan kuat pada satu kuadran, jauh dibandingkan dengankan skor kuadran yang lain dapat mengakibatkan disfungsional organisasi. Misalnya terlalu banyak fleksibilitas dan spontanitas dapat mengakibatkan chaos, terlalu banyak "instruksi" dan "kontrol" dapat mengakibatkan "kekakuan", terlalu banyak "kontrol" dan "koordinasi" menjadikan organisasi stagnan, kehilangan energi, penurunan kepercayaan dan moral anggota organisasi, (Quinn & Kimberley, 1984). Dengan perkataan lain, kekuatan budaya pada satu kuadran akan menjadi kelemahan pada indikator atau nilai-nilai kuadran budaya yang lain. Ketidakseimbangan budaya, khususnya penekanan yang berlebih pada kuadran proses internal (budaya hierarchy) cenderung mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja, supervisor, upah, bahkan kepuasan hidup pekerja (Quinn& Spreitzer, 1991).
Kekuatan budaya dan kesesuaian diantara keempat kuadran budaya akan mengarah pada efektivitas dan keunggulan organisasi (Deal & Kennedy, 1982; Peters & Waterman, 1982). Akan tetapi Cameron dan Freeman (1991) yang meneliti 331 institusi pendidikan tinggi di Amerika menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan terkait efektivitas organisasi dalam kontek kongruensi budaya dan kekuatan budaya. Penelitian Kalliath, Bluedorn & Strube (1999) yang mengukur budaya organisasi rumah sakit, juga menemukan tingkat kongruensi budaya organisasi sidak signifikan dalam menjelaskan komitmen dan kepuasan kerja. Sebagai konsekuensi, disamping penekanan pada literatur akan pentingnya kekuatan dan kongruensi budaya bagi efektivitas organisasi (Kotter, 1980; Schein, 1985), maka keseluruhan profile juga menjadi hal yang penting untuk efektivitas organisasi. Buenger, Daft, Conlon, and Austin (1996) melakukan studi menggunakan obyek Angkatan Udara Amerika, untuk menguji aplikasi CVF terhadap pola nilai-nilai yang ada di dalam organisasi. Hasilnya menunjukan nilai-nilai yang ada di dalam empat kuadran amat jelas tetapi keempat kuadran budaya tidaklah memiliki kesamaan profil. Berlawanan dengan harapan penelitian, ternyata semua nilai-nilai memiliki korelasi yang positif yang berarti adanya signifikansi keterkaitan antara nilai-nilai yang ada di dalam kuadran proses internal (kuadran dominan) dengan nilai-nilai yang ada dikuadran lainnya. Gambaran ini menyimpulkan bahwa organisasi militer yang diteliti memiliki keseimbangan dalam menentukan fokus nilai-nilai yang diaplikasikan. Buenger dkk. (1996) menjelaskan kecenderungan budaya di Angkatan Udara amat terkait dengan situasi dan kondisi “damai” atau dalam kondisi persiapan “misi” yang menuntut nilai-nilai yang berbeda. Sehingga budaya dominan yang muncul tidak secara otomatis meniadakan nilai-nilai yang lain, namun hanya perubahan prioritas semata.
CVF dan hasil profile budaya memberikan kemudahan bagi para praktisi untuk memahami model budaya yang kompleks dan juga memudahkan diagnosas dan intervensi organisasi (Brown & Dodd, 1998; Quinn & Spreitzer, 1991). Sebagai contoh, profile budaya dapat dijadikan model dan selanjutnya individu organisasi menyesuaikan untuk mengarah pada budaya ideal organisasi. Hal ini akan berimplikasi pada upaya pengembangan dan peningkatan pada masing-masig kuadran yang diprioritaskan. (Cameron& Quinn, 1999). Manajemen memiliki tugas yang sangat penting untuk menentukan keseimbangan diantara profil budaya organisasi yang di-inginkan (Goodman, Zammuto, & Gifford, 2001). Membangun profil organisasi sangat relevan bagi organisasi untuk memahami kebutuhan praktek MSDM, inisiatif kualitas, perencanaan dan melakukan perubahan dan pengembangan organisasi.
Beberapa studi menggunakan CVF untuk menguji pengaruh budaya pada isu-isu organisasi (Goodman dkk., 2001; McDermott & Stock, 1999; Ulrich, 1995). Goodman dkk (2001) dalama studinya menggunakan organisasi rumah sakit sebagai obyek riset menemukan bahwa organisasi yang lebih berfokus pada budaya clan (human relations quadran) memiliki kualitas hidup kerja yang lebih baik. Sebaliknya di dalam organisasi yang budaya hierarchy-nya sangat dominan mengakibatkan penurunan komitmen, keterlibatan, pemberdayaan, kepuasan kerja dan lebih tinggi tingkat turnover karyawannya. Menurut Cameron dan Quinn (1999), praktek MSDM yang efektif memerlukan aspek-aspek dan kesesuaian dengan salah satu dari empat kuadran budaya organisasi dominan yang dimiliki organisasi. Sebagai contoh, membangun budaya organisasi yang berfokus pada kontrol proses internal (hierarchy) membutuhkan ahli-ahli administratif yang berfokus pada proses re-engineering dan menciptakan infrastruktur yang efisien. Memperkuat aspek hubungan antar manusia (clan) membutuhkan seorang champion yang mampu megembangkan komitmen, kohesi dan peningkatan soliditas anggota organisasi. Membangun budaya adhocracy (open sistem) membutuhkan agen perubahan yang mampu memfasilitasi transformasi dan pembaharuan organisasi. Lebih lanjut, implementasi TQM membutuhkan spirit perubahan yang relevan dengan budaya adhocracy karena perubahan mendasar dan transformasi harus dilakukan untuk membangun tatanan baru yang berfokus lepada pelanggan. Membangun budaya yang berorientasi pada pasar (market) mengarahkan praktek MSDM sebagai mitra stratejik organisasi selaras dengan visi dan misi organisasi. Secara keseluruhan, kerangka perubahan organisasi dan peningkatan kinerja (improvement) sangat erat kaitannya dengan fungsi dan praktek MSDM. Meletakkan praktek MSDM dalam kerangka CVF akan menjadikan fungsi MSDM menjadi lebih strategis, lebih inklusif, dan lebih masuk akal (Cameron& Quinn, 1999). Berdasarkan konsep-konsep dan kajian literatur yang telah disampaikan, diajukan Proposisi Tiga, sebagai berikut :
Proposisi Tiga
TQM, Budaya Organisasi dan Praktek MSDM
(3) Salah satu indikator pendukung keberhasilan jangka panjang penerapan TQM adalah terbentuknya budaya perusahaan yang relevan dengan spirit TQM. Budaya perusahaan yang selaras dengan “budaya TQM” hanya dapat dicapai melalui praktek-praktek MSDM yang mendukung terciptanya budaya organisasi “TQM”. Kesesuaian budaya “adhocaracy & market” terhadap terciptanya budaya TQM harus didukung dengan pengembangan SDM dan penciptaan policy-policy SDM yang merangsang pada pembentukan budaya tersebut.
Secara piktografis, Proposisi Tiga dapat disajikan pada Gambar 2.11 seperti berikut ini :
Gambar 2.11 Proposisi Tiga
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
Pada sub-bab 2.5 telah dijelaskan secara detail teori, riset budaya organisasi terkait dengan praktek dan peran MSDM di dalam organisasi. Pada sub-bab berikutnya akan dibahas aplikasi TQM dan keterkaitannya dengan budaya organisasi dan praktek MSDM.
2.5. Konsep dan Implementasi TQM
Sudah banyak riset internasional yang menjelaskan konsep TQM namun definisi yang diberikan masih belum standar dan jelas. Dale dkk (2001) menjelaskan TQM sebagai konsep dan ide dalam berbagai konteks yang terkait dengan gerakan kualitas. Sebelumnya Dale (1999) menjelaskan TQM sebagai upaya kerjasama di dalam organisasi terkait dengan proses bisnis dalam rangka produksi produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Oakland (1989), mendiskripsikan TQM sebagai cara untuk meningkatkan daya saing, efisiensi dan fleksibilitas organisasi secara menyeluruh. Oakland menyebutkan bahwa organisasi disebut efektif bila masing-masing bagian bekerja-sama dengan baik dalam pencapaian sasaran bersama, memahami aktivitas masing-masing bagian saling berpengaruh satu sama lain. Metode dan teknik TQM dapat diaplikasikan pada semua jenis organisasi.
Shiba dkk (1993) mendefinisikan TQM sebagai sebuah sistem yang berkembang, merupakan praktek, tools, dan metoda pelatihan dalam mengelola organisasi di dalam lingkungan yang berubah cepat. Menurut Shiba dkk., sistem TQM terkait dengan pemenuhan kepuasan pelanggan (customer satisfaction), meningkatkan kinerja organisasi dengan menurunkan jumlah produk cacat (zero deffect) dan mempercepat pengiriman produk tepat waktu (delivery on time). Definisi yang lain, Dahlgaard dkk (1999), menjelaskan TQM sebagai "budaya perusahaan" yang bercirikan pada orientasi kepuasan pelanggan, dilakukan melalui program peningkatan berkelanjutan (continuous improvement), melibatkan semua karyawan di dalam organisasi. Garvin (1988) menghindari pengertian TQM secara sempit, ia lebih menekankan TQM sebagai Strategic Quality Management dan menurutnya TQM lebih dari sekedar inspeksi kualitas, kontrol kualitas maupun jaminan kualitas.
Banyak peneliti TQM meletakan "nilai" sebagai elemen utama dari TQM, Oakland (1989), Kanji & Asher (1993), Lewis (1996) dan Boaden (1997). Namun demikian masing-masing peneliti memiliki sedikit perbedaan tentang "nilai" yang terkandung dalam elemen TQM. Dahlgaard dkk (1999) menyatakan TQM memiliki lima karakteristik, di dalam Malcolm Baldrige National Quality Award (NIST,2001) menyebut sebelas konsep utama, sedangkan Dale (1999) membahas delapan elemen utama TQM. Sila & Ebrahimpour (2002) melakukan studi dan investigasi literatur penelitian dan menemukan elemen utama yang selalu dibahas dalam riset dan praktek TQM, yaitu :
1. Fokus Kepuasan Pelanggan
2. Pelatihan Karyawan
3. Kepemimpinan dan Komitmen Manajemen
4. Kerjasama Tim
5. Keterlibatan Karyawan
6. Inovasi dan Peningkatan Berkelanjutan
7. Pengukuran Kinerja dan Informasi Kualitas
Untuk mempermudah pemahaman, pada Gambar 2.12 menjelaskan nilai (values) yang banyak dibahas para peneliti TQM, sebuah kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Bergman dan Klefsjo (2003).
Gambar 2.12 Konsep TQM yang berorientasi pada Kepuasan pelanggan
Sumber: Bergman dan Klefsjo (2003)
Banyak peneliti telah mengajukan berbagai pendekatan terkait konsep TQM, Shiba dkk (1993), Dean dan Bowen (1994) dan Hellsten dan Klefsjo (2000). Hellsten dan Klefsjo (2000) menyatakan TQM bukanlah nilai-nila semata seperti halnya fokus pada proses, fokus pelanggan ataupun komitmen setiap orang. Nilai-nilai tersebut membutuhkan teknik, seperti halnya manajemen proses, perenacanaan berfokus pelanggan, tim yang berorientasi taregt; juga membutuhkan alat (tools), misalnya grafik kontrol (control charts), diagram Ishikawa.
Pembahasan oleh Hellsten dan Klefsjo (2000) menyimpulkan bahwa TQM dapat didefinisikan sebagai sistem manajemen yang saling tergantung dan memiliki tujuan yang sama. Sistem yang terdiri dari tiga unit utama, yaitu nilai (values), teknik (techniques) dan alat (tools), Hellsten & Klefsjo (2000). Tujuannya adalah "meningkatkan kepuasan pelanggan dengan mereduksi sumber daya yang terlibat dalam proses penciptaan nilai bagi pelanggan". Meningkatkan profitabilitas dan menurunkan biaya yang bermuara pada peningkatan kepuasan pelanggan internal dan eksternal, merealisasikannya melalui peningkatan kinerja berkelanjutan. Dengan demikian TQM relevan untuk diaplikasikan dalam berbagai bidang (Bergman & Klefsjo, 2003). Di dalam penelitian ini akan difokuskan pada interpretasi TQM yang definisikan oleh Hellsten dan Klefsjo (2000), dimana mereka mendefinisikan TQM sebagai manajemen sistem dalam perubahan yang berkelanjutan yang terdiri dari nilai (values), teknik (techniques) dan alat (tools). Sasaran menyeluruhnya adalah kepuasan pelanggan dengan mereduksi sumber daya yang digunakan.
2.5.1. Nilai-Nilai TQM
Strategi TQM di dalam organisasi harus dibangun berdasarkan komitmen manajemen terus-menerus pada upaya perbaikan dan kualitas. Menurut Bergman dan Klefsjo (2003), manajemen harus menetapkan kebijakan mutu dan mendukung aktivitas mutu, baik secara ekonomis, moral dan pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Manajemen harus terlibat secara aktif, karena bila tidak terlibat akan menunjukan rendahnya tingkat keseriusan manajemen dan pada saat yang sama pekerja dibawahnya tidak akan serius mengimplementasikannya (Bergman dan Klefsjo, 2003). Suksesnya implementasi TQM harus didasarkan pada nilai inti (core values) yang digunakan sebagai bagian dari program manajemen perubahan (Senge, 1995). Perubahan harus berangkat dari internal ke eksternal, bukan sebaliknya; dengan konsep ini top manajemen dapat menstimulasi nilai-nilai individu melalui pengelolaan sumber daya, dukungan aktivitas kualitas dan penggunaan alat dan teknik yang mendukung nilai-nilai inti TQM. Konsep nilai inti yang dibahas dalam penelitian ini berdasarkan interpretasi TQM yang didefeinisikan oleh Hellsten dan Klefsjo (2000). Nilai-nilai tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Komitmen Manajemen Puncak
Aplikasi TQM untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas membutuhkan komitmen manajemen secara menyeluruh (Dale dkk., 1997; Abraham dkk., 1999; Reed dkk., 2000). Manajemen harus membuat perencanaan awal untuk implementasi dan berpartisipasi secara aktif termasuk dalam evaluasi proses dan hasil yang dicapai. Semua pimpinan organisasi harus berorientasi pada pelanggan dan membuat nilai-nilai mutu terlihat secara jelas dan mudah dipahami. Pentingnya keterlibatan dan peran manajer senior sebagai pembimbing, guru dan pemimpin bersifat mutlak (Tenner dan DeToro, 1992). Para pemimpin harus menjadi ‘role model’ bagi seluruh lapisan organisasi, sehingga semua level akan dapat menemukan model yang dapat dijadikan contoh dalam aplikasi teknik dan alat TQM.
2. Fokus pada Pelanggan
Nilai inti TQM berpusat pada produk dan proses yang dihasilkan harus berfokus pada kepuasan pelanggan. Kualitas harus dinilai oleh pelanggan terkait dengan kebutuhan dan ekpektasinya (Oakland, 1989; Tenner & DeToro, 1992; Shiba dkk., 1993; Dahlgaard dkk., 1994; Bergman & Klefsjo, 2003). Hal ini memberikan keyakinan bahwa kualitas merupakan konsep relatif yang diatur oleh kompetisi pasar. Organisasi didedikasikan untuk memuaskan pelanggan, upaya ini harus bersifat jangka panjang dan berkelanjutan karena produk yang berkualitas bisa saja menjadi lebih ‘lemah’ manakala muncul produk baru yang lebih kompetitif di pasar. Untuk berfokus pada pelanggan salah satunya adalah menemukan nilai dan kebutuhan pelanggan, melakukan analisis pasar dan mencoba memenuhi harapan pasar secara sistematis dengan mengembangkan dan membuat produk yang di-inginkan pelanggan. Menerapkan orientasi pada kepuasan pelanggan dilakukan tidak hanya pada pelanggan eksternal, namun juga internal. Dalam rangka memuaskan pelanggan eksternal, diawali dari upaya memuaskan pelanggan internal (oakland, 1989; Tenner & DeToro, 1992; Shiba dkk., 1993; Dahlgaard dkk., 1994; Bergman & Klefsjo, 2003).
3. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Fakta
Salah satu nilai inti TQM adalah pengambilan keputusan berdasarkan fakta dan tidak membiarkan faktor-faktor yang tak terukur menentukan dalam pengambilan keputusan yang penting. Hal ini membutuhkan pentingnya pengetahuan terkait variasi dan kemampuan dalam mengontrol variasi (Deming, 1994). Program peningkatan kinerja kualitas "Six Sigma" yang dikembangkan pertama kali oleh Motorola pada tahun 1980-an merupakan salah satu metode yang bisa diaplikasikan organisasi, Harry (1994). Sebagian besar produk baru gagal di pasar (Kotler, 1996), ini membuktikan bahwa proses produksi dan pengembangannya harus didasarkan pada pengalaman pelanggan dan kebutuhan saat ini serta masa depan pelanggan (Bergman & Klefsjo, 2003). Ukuran-ukuran yang berbeda dibutuhkan untuk mendapatkan fakta, dan hal ini dikelompokan sebagai ukuran kepuasan pelanggan, termasuk didalamnya kepuasan karyawan, ukuran posisi pasar, ukuran operasional serta pengembangan produk, Bergman & Klefsjo (1994) dan Dahlgaard dkk (1994). Pada saat organisasi mendapatkan gambaran informasi posisinya, membandingkan dengan organisasi benchmark, secaa otomatis harus dapat mengambil keputusan dan melakukan tindakan.
4. Fokus pada Proses
Sebagian besar pekerjaan di dalam organisasi dapat dilihat sebagai proses, dimana rangkaian proses tersebut dilakukan berulang-ulang (Bergman & Klefsjo, 2003). Tujuan dari proses adalah produk dan jasa yang dapat memuaskan pelanggan. Hasil yang ada merupakan variabel dependen, sehingga harus berfokus fokus pada proses, bukan semata-mata pada hasil, karena hasil merupakan implikasi dari proses-proses yang terjadi, proses-lah yang menjadikan hasil (Shiba dkk., 1993). Proses menghasilkan data yang menunjukan seberapa jauh proses yang ada dapat memuaskan pelanggan. Ini berarti analisis data yang dilakukan harus menyeluruh, tidak hanya satu aspek, misalnya komplain pelanggan saja tetapi harus ada keterkaitan dengan proses yang ada dan bagaimana hal tersebut dapat ditingkatkan (Bergman & Klefsjo, 2003). Fokus dan orientasi pada proses menjadi demikian dominan dan penting, khususnya dengan aplikasi Six Sigma.
5. Peningkatan Kinerja Berkelanjutan (Continuous Improvement)
Organisasi saat ini harus bisa menghasilkan proses dan produk yang jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya. Lingkungan dan permintaan pasar terus berkembang, organisasi membutuhkan peningkatan yang berkelanjutan baik produk maupun prosesnya (Imai, 1997; Bergman dan Klefsjo, 2003). Proses peningkatan yang berkelanjutan akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal dengan menurunkan produk cacat dan produk baru yang jauh lebih baik (Dahlgaard dkk., 1994). Siklus Deming, atau siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action) adalah model yang digunakan untuk peningkatan proses dan analisa proses serta simbol dari peningkatan yang kinerja yang berkelanjutan. Siklus PDCA terdiri dari 4 tahap, yaitu : plan, do, check (study) dan act (Deming, 1994).
6. Komitmen Bersama
Implementasi TQM yang sukses mempersyaratkan keterikatan karyawan untuk memuaskan pelanggan melalui peningkatan kualitas berkelanjutan. Komitmen setiap orang memiliki arti peningkatan kinerja berkelanjutan dan harus diaplikasikan oleh seluruh karyawan pada setiap jenjang organisasi. Termasuk pihak suplier yang menjadi mitra dalam proses penciptaan produk dan bekerja terus menerus bersama karyawan (Tenner & DeToro, 1992; Bergman & Klefsjo, 1994). Setiap karyawan harus memahami kompetensi yang dibutuhkan dan keterlibatannya. Pendidikan dan pelatihan bagi seluruh karyawan memberikan pemahaman visi, misi, arah dan strategi organisasi, seperti halnya kompetensi yang dibutuhkan untuk pencapaian kualitas yang berkelanjutan serta pemecahan masalah di tempat kerja (Tenner & DeToro, 1992). Kata kunci komitmen adalah informasi, delegasi dan pelatihan (Wruck & Jensen; Bergman & Klefsjo, 2003).
2.5.2. Tahapan Implementasi TQM
Secara umum, implementasi dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas proses dan realisasi perencanaan dan prosedur yang telah ditetapkan, memastikan strategi dan policy yang dibuat dapat dijalankan. Wheelen dan Hunger (1992) mendefinisikan implementasi sebagai proses dimana strategi dan kebijakan dilaksananan dengan sebaik-baiknya. Sebagai konsekuensinya dapat saja disebut implementasi sebagai proses interaksi antara penetapan sasaran dan tindakan dalam upaya mencapai sasaran tersebut. Hal ini berarti bahwa implementasi juga merupakan perubahan organisasi, sama seperti halnya proses implementasi TQM yang membutuhkan sistem manajemen dan proses eksekusi melalui berbagai aktivitas yang dibutuhkan. Dalam setiap implementasi harus ada langkah awal yang dijalankan dan ada batas tercapainya kesuksesan implementasi yang dilakukan (Pressman & Wildavsky, 1973). Kegagalan implementasi biasanya diakibatkan salah perkiraan. Penting bagi organisasi untuk merencanakan dengan baik sumber daya yang dimilikinya agar implementasi dapat berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan (Pressman & Wildavsky, 1973).
Jika menginginkan TQM sebagai sistem manajemen dapat diimplementasikan dengan baik di dalam organisasi, maka harus diketahui tingkat adopsi pada proses implementasinya. Lascelles & Dale (1991) menggambarkan 6 (enam) tahapan implementasi TQM, yang disebutkan sebagai :
1. Tahap awal, belum memiliki komitmen implementasi (uncommitted),
2. Mengambang, dalam proses transisi (drifters),
3. Pemaksaan implementasi (tool-pushers),
4. Tahap peningkatan kinerja,
5. Memenangkan penghargaan,
6. Mencapai kategori kelas dunia.
Tahapan-tahapan ini digambarkan pada Gambar 2.13 dibawah ini.
Gambar 2.13 Tingkatan dalam Adopsi dan Implementasi TQM
Uncommitted
Drifters
Tool Pushers
Improvers
Award Winner
World class
Permanency of TQM
Level
Sumber : Lascelles & Dale (1991)
Tahap-tahap diatas tidak secara otomatis sebagai bagian dari "TQM Journey", tetapi merupakan karakteristik dan perilaku organisasi yang terlihat terkait dengan implementasi TQM (Dale, 1991). Tahapan atau tingkatan yang dikemukakan Lascelles dan Dale (1991) sangat membantu dalam identifikasi posisi, masalah-masalah dalam implementasi TQM, serta cara menyelesaikannya. Level kelima, dapat disebut sebagai suksesnya implementasi TQM karena memperoleh penghargaan (award winner). Menurut Dale (1999), organisasi pada level tersebut mencapai tingkat kematangan organisasi dimana budaya, nilai-nilai, kepercayaan, kapabilitas, keterlibatan karyawan sudah secara total.
Seperti yang disampaikan oleh Lascelles dan Dale (1991), tahapan suksesnya adopsi TPM dapat diindikasikan dengan diraihnya penghargaan oleh perusahaan. Pemberian penghargaan bagi perusahaan yang sukses implementasi TQM sudah diadakan di Amerika semenjak dua dekade yang lalu, misalnya dengan MBNQA (Malcolm Baldrige National Quality Award), juga di Eropa dengan EFQM (European Foundation for Quality Management) yang dikembangkan untuk mendorong terciptanya model keunggulan bisnis perusahaan-perusahaan yang berada di Eropa.
Kemampuan untuk memperbaharui diri dan melakukan perubahan, merupakan cara organisasi untuk mempertahankan kinerja dan efesiensi jangka panjang. Kondisi yang dimaksud adalah adalah perubahan yang dapat membawa pada peningkatan kinerja. Setiap upaya peningkatan kinerja membutuhkan perubahan, tetapi tidak semua perubahan membawa dampak pada peningkatan kinerja (Bruzelius & Skarvard, 2000). Sebuah aspek utama yang mempengaruhi proses perubahan adalah faktor-faktor yang menyebabkan proses perubahan terjadi. Menurut Killing & Fry (1986) setiap situasi yang berbeda membutuhkan kecepatan perubahan, sasaran perubahan dan cara berubah yang berbeda-beda. Menurut mereka, tiga faktor utama yang membedakan proses perubahan yang terjadi yaitu :
(1). Perubahan yang telah diantisipasi, dimana perubahan sudah dipersiapkan berdasarkan pada proyeksi perubahan yang dibutuhkan.
(2). Perubahan yang reaktif, dimana perubahan terjadi sebagai respon perubahan.
(3). Krisis, dimana perubahan harus dilakukan demi kelangsungan organisasi (survival).
Selanjutnya Tichy (1983) menggambarkan empat penyebab utama perubahan stratejik, yaitu lingkungan, teknologi, SDM, dan bisnis. Proses perubahan dilakukan apakah karena kebutuhan TQM atau dapat disebabkan kebutuhan faktor-faktor utama organisasi lainnya.
Salah satu prasyarat suksesnya implementasi sistem manajemen, seperti halnya TQM adalah perubahan perilaku dan praktek organisasi. Proses implementasi dapat dikatakan berjalan dengan baik bila terjadi transformasi aktivitas manusia di dalam organisasi (Pidd, 1999), dan selanjutnya dipertimbangkan sebagai sebuah perubahan organisasi yang komprehensif. Manajemen perubahan dalam sebagian besar kasus dilihat sebagai proses yang kompleks dan sulit, banyak perusahaan mengalami permasalahan selama implementasi (Siegal dkk., 1996). Merujuk pada Beer dkk., (1990) dan Schaffer & Thomson (1992), kebanyakan program-program perubahan tidak dapat berjalan dengan baik karena kurang menggunakan panduan-panduan perubahan organisasi. Juga sebagian besar studi menunjukan bahwa permasalahan SDM dan organisasi menjadi hambatan terbesar dibandingkan faktor teknis lainnya bagi suksesnya implementasi, Gilmore (1998). Perubahan yang dilakukan menggunakan sistem dan prosedur yang dipilih, metode dan model yang diterima dan dipahami oleh berbagai pihak yang terlibat (Sandberg & Targama, 1998; Ljungstrom, 2000).
Selain fokus pada permasalahan SDM dan organisasi, maka prasayarat lain suksesnya manajemen perubahan adalah keinginan dan kemampuan setiap manajer dalam mengadopsi dan melakukan transformasi, Kotter (1996). Hal ini membutuhkan perubahan perilaku, sikap dan tindakan yang melibatkan setiap orang yang terlibat. Kotter (1996), menekankan semakin tinggi ekspektasi perubahan akan semakin tinggi resistensi yang terjadi. Salah satu kunci utama yang harus dipertimbangkan, menurut Senge (1990), Tichy (1993), adalah faktor kualitas kepemimpinan, kemampuan untuk membangun visi bersama dan menjadikannya sebagai keinginan seluruh karyawan yang secara otomatis akan mempermudah perubahan yang akan dilakukan. Aspek lain yang harus dipertimbangkan adalah faktor komunikasi (Eisenstat, 1993), pemberdayaan (Pascale dkk., 1997), pemberian penghargaan dan imbalan (Pettigrew, 1995), hasil-hasil dan keberhasilan yang lebih cepat (Beer dkk., 1990). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan organisasi menjadi sebuah kebutuhan mutlak dalam implementasi TQM, proses yang terjadi harus dimiliki oleh karyawan semua level dan hal ini sangat terkait erat dengan budaya organisasi, lingkungan bisnis dan tradisi (sejarah) organisasi.
Implementasi sistem manajemen seperti halnya TQM membutuhkan perubahan organisasi ang menyeluruh, dimana organisasi dalam tahap ‘unconscious‘ dalam melaksanakan sistem yang baru dijalankan. Menurut Thomsen dkk. (1994), pengalaman yang sangat penting dalam pencapaian implementasi TQM adalah penggunaan disiplin pengembangan organisasi (OD, Organization Development) yang dilakukan bersamaan dengan implementasi TQM, ada keterkaitan dan tumpang tindih antara praktek OD dan TQM (Grieves, 2000). Inisiatif manajemen seperti halnya TQM, model keunggulan bisnis, manajemen budaya, proses rekayasa ulang bisnis dan downsizing membutuhkan keterkaitan dengan pengembangan organisasi berupa intervensi dan metodologinya.

Posting Komentar

0 Komentar

close