Konsep manajemen sumber daya manusia strategis
Pada sub-bab ini akan dijelaskan perspektif teori yang akan menguraikan “black box”, fenomena yang menjelaskan
kontribusi MSDM terhadap kinerja perusahaan. Pendekatan Perspektif Stratejik (Strategic Perspective), yaitu MSDM berkontribusi terhadap kinerja melalui keselarasan praktek MSDM dengan strategi bisnis. Selain itu akan dijelaskan pendekatan RBV (Resource Based View of the firm) yang berfokus pada keunikan, inimitable dan sumber daya internal perusahaan yang berkontribusi pada kinerja organisasi.
kontribusi MSDM terhadap kinerja perusahaan. Pendekatan Perspektif Stratejik (Strategic Perspective), yaitu MSDM berkontribusi terhadap kinerja melalui keselarasan praktek MSDM dengan strategi bisnis. Selain itu akan dijelaskan pendekatan RBV (Resource Based View of the firm) yang berfokus pada keunikan, inimitable dan sumber daya internal perusahaan yang berkontribusi pada kinerja organisasi.
Perspektif Stratejik : Desain Sistem MSDM
Ide utama yang mendasari Perspektif Stratejik adalah teori manajemen
stratejik yang menekankan bahwa keberhasilan strategi perusahaan
mempersyaratkan “kejelasan” strategi yang digunakan, Porter (1980, 1987,
1990) dan Miles & Snow (1984). Pemikiran MSDM Stratejik mengarah
pada konsep dimana setiap strategi bisnis yang bersifat “generic”
memberikan implikasi keselarasan pilihan sistem MSDM yang dapat
menunjang pencapaian kinerja bisnis (Schuler & Jackson, 1987).
Berkaitan dengan “black box”, konsep MSDM stratejik menekankan
aspek ‘transformasi’ input MSDM yang menghasilkan desain spesifik
praktek MSDM sesuai dengan pendekatan strategi bisnis yang ditetapkan.
Dua alasan utama yang terkait dengan Perspektif Stratejik, pertama, bahwa MSDM dan strategi organisasional harus diselaraskan untuk meningkatkan efektifitas MSDM, kedua, bahwa MSDM harus diaplikasikan secara spesifik kepada kelompok-kelompok kerja / karyawan untuk mencapai sasaran organisasi.
Meski pentingnya integrasi stratejik MSDM dan strategi organisasional
banyak ditekankan oleh literatur-literatur MSDM, akan tetapi masih
terdapat ketidaksepakatan bagaimana proses interaksi MSDM dan strategi
organisasi yang diterapkan. Torrington & Hall (1998) menggambarkan
berbagai tingkat interaksi tersebut, dari hal yang terpisah sama sekali
yang disebut sebagai “unstrategic personnel management” hingga
keterkaitan yang sangat erat antara konsepsi MSDM yang berpengaruh pada
strategi bisnis (Butler 1988, 1991). Dua konsep strategi bisnis akan
dibahas dalam sub-bab selanjutnya, yaitu tipologi Miles & Snow
(1984) dan Schuler & Jackson (1997), sebagai salah satu referensi
utama dari bangunan teori yang akan dikembangkan. Prinsip kedua tipologi
tersebut adalah setiap strategi bisnis hanya memiliki sejumlah pilihan
terbatas praktek MSDM yang sesuai dengan karakteristik strategi yang
dipilihnya (Mabey & Salaman 1995).
Lebih lanjut, sebelum membahas secara mendetail interaksi MSDM dan
strategi bisnis, diperlukan pemahaman yang sama dan definisi yang sama
tentang konsep strategi. Strategi, menurut Purcell & Ahlstrand
(1994) : “strategy is associated with the long-term decision taken at
the top of enterprise and distinguished from operational activities”.
Hal ini sangat berbeda dengan Hill & Jones (1992) yang lebih
mengarah ke pendekatan “tradisional” dalam mendefinisikan strategi,
disebutnya sebagai pendekatan ‘hierarchy- & planning-based’.
Menurut Purcell & Ahlstrand (1994), pendekatan tradisional terkesan
terlalu sederhana, mengingat dengan model tradisional pimpinan di
tingkat korporasi masih dapat dilibatkan pada aktivitas operasional
seperti halnya staf bisnis di level unit yang diberikan otonomi untuk
menyusun formula strategi bisnisnya ataupun kontribusi pada strategi
korporat-nya. Dengan demikian, lebih tepat apabila strategi
didefinisikan dengan melihat sebagai bentuk karakteristik pengambilan
keputusan manajerial yang bersifat stratejik. Johnson (1987) menekankan
bahawa keputusan manajerial harus fokus pada arah jangka panjang
organisasi, ruang lingkup aktivitas organisasi, kesesuaian aktivitas
organisasi dengan lingkungan bisnisnya, kesesuaian aktivitas organisasi
dengan kapabilitas sumber daya yang dimilikinya.
Pemahaman konsep strategi dapat dilakukan dengan melihat tingkatan
(level) strategi yang berbeda-beda (Hendry 1995). Quinn (1991)
mengidentifikasi 5 (lima) tingkatan dalam level stratejik, yaitu : Sasaran (goals) sesuai dengan ruang lingkup dan spesifik, kebijakan (policies) yang merupakan aturan dan pedoman sebagai kerangka pelaksanaan / implementasi, rencana stratejik (strategic plans) berupa pola dan rencana yang mengintegrasikan sasaran dan kebijakan sebagai satu kesatuan yang konsisten, keputusan stratejik (strategic decisions) lebih kepada arah keseluruhan alokasi sumber daya organisasi dalam mencapai sasaran bisnis, program (programmes) yang disebutkan sebagai rangkaian ‘step-by-step’
implementasi untuk mencapai sasaran utama bisnis dengan memastikan alat
ukur / indikator yang digunakan untuk menilai tingkat pencapaian
sasaran. Keputusan stratejik (strategic decisions) berbeda dengan keputusan operasional ‘day-to-day’
karena dalam keputusan stratejik melibatkan tingkat ketidakpastian
maupun resiko yang jauh lebih tinggi, membutuhkan integrasi manajemen
lintas fungsional, melibatkan masalah perubahan seperti halnya
mobilisasi sumber daya dan kekuatan dalam menghadapi ketidakpastian di
masa depan.
Porter (1987) membedakan antara strategi di tingkat ‘unit bisnis’ dan
strategi di tingkat ‘korporasi’, sedangkan Wheelen & Hunger (1990)
menambahkan bahwa dalam penerapannya, strategi dibedakan menjadi level
‘fungsional’ atau ‘departemental’. Strategi korporat (corpoarete strategy) menurut Porter fokus pada jenis aktivitas bisnis dimana organisasi bersaing dan bagaimana ‘corporate office’ mengelola seluruh unit bisnis agar unit bisnis fokus pada ‘competitive strategy’ dengan tujuan untuk menghasilkan ‘competitive advantage’
di dalam satu unit bisnisnya. Secara nyata harus dipahami bahwa
persaingan / kompetisi justru terjadi pada level unit bisnisnya, Porter
(1980, 1990) menyatakan bahwa unit bisnis untuk memenangkan
persaingannya harus berkonsentrasi pada : cost leadership yang bertujuan untuk menciptakan keunggulan pasar melalui harga lebih rendah dibandingkan pesaing, differentiation (peningkatan kualitas) dimana upaya unit bisnis dalam meraih keunggulan kompetitif melalui kualitas produk yang ditawarkan, focus sebagai strategi yang dapat melibatkan cost leadership atau differentiation dan
berfokus pada market dan pelanggan yang spesifik, artinya kompetisi
langsung dengan pesaing lain dapat dihindari dengan target pada pasar
khusus / ceruk pasar (niche market) yang ada. Inovasi
menurut Porter merupakan satu langkah kedepan dalam meraih keunggulan
kompetitif dipasar. Sedangkan Schuler & Jackson (1987)
menterjemahkan inovasi sebagai ‘a distinct strategy’, sesuai
dengan Porter, menurutnya kerja dapat dipahami bukan sekedar mengikuti
proses yang ada dan belajar untuk mencari cara baru berkompetisi, akan
tetapi memanfaatkan kesempatan yang muncul dari dis-kontinyuitas
struktur industrinya (Hendry 1995).
Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Miles & Snow (1984) memunculkan 3 (tiga) strategi organisasi fundamental, yaitu :
- Defenders : tipe organisasi ini beroperasi pada situasi pasar yang dapat diprediksi dengan jenis pasar dan produk tertentu, sasaran utama strateginya pertumbuhan melalui penetrasi pasar. Penelitian dan pengembangan (research and development, R & D) dikonsentrasikan pada pengembangan produk, produksi dengan volume cukup besar serta berorientasi pada penekanan biaya melalui efisiensi dan perbaikan rekayasa proses.
- Prospectors : tidak seperti halnya defenders, tipe organisasi ini berorientasi pada perubahan pasar dengan diversifikasi produk dan memiliki sasaran pertumbuhan melalui pengembangan produk serta aktif mempengaruhi pasar dengan mencoba peluang-peluang baru. Perusahaan yang tergolong prospectors memiliki target utama pada R & D untuk selalu meluncurkan produk barunya. Orientasi produksi bersifat ‘customized’ dan ‘prototypical’, menekankan pada efektivitas dan desain produknya.
- Analysers : tipe organisasi ini merupakan kecenderungan dari tipe defenders & prospectors, bertujuan pada efisiensi produksi dengan jenis produk tertentu serta mengadopsi trend pasar baru yang cukup menjanjikan dengan kemampuan inovasinya. R & D memiliki fokus trend spesifik yang muncul dan berpeluang dipasar yang dilihat dari prospectors–nya, menekankan pada strategi ‘second-to-market’. Produksi tergantung pada jenis produknya, berorientasi pada volume dan penekanan harga (low cost), selain itu tipe analysers juga berfokus pada rekayasa proses (process engineering) termasuk pada product / brand management-nya.
Secara singkat Miles & Snow juga megemukakan tipe keempat yang disebutnya sebagai ‘reactor’ yang bercirikan dengan strategy-environment inconsistency ataupun poor strategy-structure-process, tipe reactor
menurut Miles & Snow lebih sulit berkembang dibandingkan dengan
tipe lainnya. Tipologi organisasi menurut Miles & Snow (1984) ini
secara umum konsisten dengan pendekatan Porter.
Mabey & Salaman (1995) menggunakan ‘open’ & ‘closed’
dalam pendekatan strategi SDM. Strategi ini dikarakterisasikan dengan
mendefinisikan terlebih dahulu sasaran atau praktek-praktek yang
mendukung tipe strategi bisnisnya, jelasnya sangat tergantung dengan
strategi bisnisnya. Kesesuian diantara kebijakan-kebijakan SDM yang
berbeda merujuk pada kesesuaian ‘internal’ dan ‘vertikal’, dan
kesesuaian antara kebijakan SDM dan strategi organisasional yang juga
sering disebut sebagai kesesuaian ‘eksternal’ ataupun ‘horizontal’
(Delery & Doty 1996, Huselid 1995). Pengelompokan pendekatan
teoritis yang umum digunakan untuk mempelajari desain SDM stratejik
banyak mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Delery & Doty
(1996). Pertama, pendekatan universalistic atau ‘best practice’, didasarkan pada anggapan praktek terbaik SDM semisal HPWS (High Performance Work Sistem) akan selalu lebih baik dibandingkan yang lain (Pfeffer 1994, Huselid 1995). Kedua, contingency perspective,
didasarkan pada ide bahwa kebutuhan efektivitas organisasi sangat
dipengaruhi konsistensi antara elemen-elemen MSDM dengan aspek
organisasional yang lain, khususnya dengan strategi bisnisnya (Schuler
& Jackson 1987, Lengnick-Hall & Lengnick-Hall 1988). Secara umum
pendekatan kontijensi ini dipahami sebagai ‘external fit’. Ketiga, configurational approach, didasarkan pada bentuk yang ideal berdasarkan prinsip equifinality, yaitu
tiap bentuk organisasi yang berbeda dapat memiliki tingkat efektivitas
yang berbeda pula (Doty dkk 1983, Doty & Glick 1994, Delery &
Doty 1996). Pendekatan konfigurasional menyatukan praktek MSDM yang
konsisten dengan alternatif strategi konfigurasi, misalnya kombinasi
antara kesesuaian internal dan eksternal (Delery & Doty 1996).
Bentuk-bentuk pendekatan MSDM stratejik yang sama polanya juga disampaikan oleh Guest (1997) yang membedakannya menjadi internal fit, external fit dan configurational fit.
Guest mendefinisikan kesesuaian eksternal dan internal serupa dengan
deskripsi sebelumnya diatas, namun Guest mengajukan bahwa ‘internal fit’ sangat identik dengan ‘HRM as an ideal set of practices’. Ilustrasi yang disampaikan oleh Guest ini kurang mampu menjelaskan konsep internal fit. Delery & Doty mengelompokan internal fit sebagai salah satu bagian dari pendekatan konfigurasional. Guest (1997) menginterpretasikan kesamaan dari internal fit dengan perspektif universalistic.
Jadi perspektif universalistik memberikan implikasi dalam memperkaya
pemahaman HPWP (High Performance Work Place), yang dinyatakan oleh Guest
(1997) sebagai “the more of high performance HRM practices that are used, the better the performance”, pernyataan tersebut tidak menjelaskan ‘internal relationship’
diantara praktek MSDM yang ada. Pemahaman Guest sebenarnya didasarkan
pada asumsi implisit bahwa praktek MSDM saling melengkapi satu sama
lain. Dalam tataran konseptual, akan lebih berguna dengan memastikan
perbedaan-perbedaan teoritis diantara konsep-konsep yang ada. Hoque
(1999a) melengkapi tipologi Guest dengan mengusulkan konsep universal relevance.
Tergantung pada situasi pasarnya, adopsi sebuah strategi bisnis yang
pasti akan diperlukan jika kebutuhan organisasinya juga spesifik yang
akan diikuti dengan pendekatan MSDM yang relevan secara universal (universally relevant HRM approach).
Menyimpulkan pendekatan desain MSDM yang telah dibahas sebelumnya,
terlihat pandangan universalistik mempengaruhi praktek MSDM dan memiliki
efek positip secara universal dalam berbagai situasi yang ada ;
pandangan kontijensi yang mengajukan ‘fitting’ MSDM dengan strategi
binis akan menghasilkan kinerja yang lebih baik ; pendekatan
konfigurasional mampu memberikan prediksi kinerja yang lebih baik bila
sistem SDM yang dipilih lebih ‘pas’ dengan tipe ideal organisasinya ;
pandangan relevansi universal mengajukan bahwa sebuah koteks situasi
dapat berimplikasi pada kepastian strategi yang harus didukung
pilihan-pilihan praktek MSDM yang ada. Model-model yang diusulkan oleh
Schuler & Jackson (1987) dan Miles & Snow (1984) banyak
digunakan, salah satunya Boxall (1992) menyebut sebagai “matching model”
untuk mendeskripsikan ‘external fit’ seperti yang telah disebutkan
diatas. Didasarkan pada strategi Porter (1980, 1990), Schuler &
Jackson (1987) mendefinisikan praktek MSDM dan perilaku SDM yang muncul
didorong melalui prektek MSDM yang ‘matching’ dengan strategi generic
yang diadopsi. Miles & Snow (1984) memasukan dalam kategorisasi
kebijakan MSDM yang seharusnya mendukung strateginya. Berikut beberapa
contoh yang ada :
Quality-enhancement – membutuhkan kebijakan SDM yang terdiri atas pelaksanaan job description yang ‘fixed & explicit’,
partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi
dan pekerjaannya, sistem penilaian kinerja individual dan kelompok yang
berorientasi pada hasil dan bersifat jangka pendek, jaminan ‘job security’ dan pelatihan-pelatihan berjenjang.
Innovation strategies – membutuhkan praktek MSDM :
interaksi pekerjaan dan koordinasi antar grup individu, sistem penilaian
kinerja berdasarkan grup dan bersifat jangka panjang, orientasi kerja
yang memberikan peningkatan skills buat pekerjaan / posisi yang lain, sistem kompensasi yang berfokus pada ‘internal-equity’, sistem upah dengan upah pokok yang lebih kecil namun diberikan alternatif ‘stock options’ dan sistem kompensasi yang fleksibel lainnya, sistem karir yang lebih luas.
Cost-reduction strategies – difasilitasi dengan praktek MSDM yang bercirikan uraian kerja relatif ‘fixed’,
eksplisit dan jelas, sistem karir dan job yang lebih sempit dan
mendorong pada keahlian dan spesialisasi tertentu, sistem penilaian
kinerja berorientasi hasil dan bersifat jangka pendek, sistem kompensasi
yang selalu dipertimbangkan dengan memonitor pasar, minimal pelatihan
dan pengembangan SDM.
Meski secara logika praktek-praktek MSDM dan ‘role behaviours’
dibutuhkan, Lee & Miller (1999) berpendapat bahwa sebuah proposal
strategi yang akan diterapkan sangat tergantung dari organisasi yang
akan menjalankannya. Strategi yang berbeda memerlukan program-program
yang berbeda, misalnya target pada manajemen inventori, reduksi biaya
operasi, keduanya akan berimplikasi pada pentingnya komitmen organisasi
perusahaan terhadap eksistensi karyawan untuk mendapatkan komitmen dan
dukungan karyawan demi kesuksesan pelaksanaan program.
Miles & Snow (1984) memasukan tipologi strategi bisnis serta
orientasi SDM yang dibutuhkan secara jelas, tidak seperti halnya Porter
yang tidak menjelaskan secara langsung. Defenders, akan berimplikasi penerapan strategi utama ‘building’ & ‘making’
SDM, misalnya berkurangnya strategi untuk melakukan rekruitmen pada
level manajemen atas dan kecenderungan untuk melakukan pengembangan
kompetensi karyawan melalui program pelatihan formal. Penilaian kinerja
dilaksanakan dengan berorientasi pada proses, terintegrasi dengan
identifikasi kebutuhan training dengan target pada individu dan kelompok
karyawan serta mempergunakan time-series comparisons. Kompensasi
karyawan berorientasi pada jabatan / pangkat / posisi individu
karyawan, ada konsistesi pada situasi internal organisasi perusahaan
serta bersifat ‘cash compensation’.
Prospectors, tidak seperti halnya defender, memiliki strategi ‘buy’ or ‘acquire’ SDM perusahaan. Strategi ini membutuhkan ‘spohisticated recruitment sistems’ dimana setiap level melibatkan penggunaan alat tes psikomterik. Sebagai
konsekuensi kebutuhan training lebih terbatas, penilaian kinerja
berorientasi pada hasil, lebih cenderung mengidentifikasi kebutuhan staf
dibandingkan kebutuhan pelatihan, serta melakukan evaluasi kinerja
divisional / koprorat dengan cross-sectional comparisons
(misalnya dengan benchmarking perusahaan lain). Sistem kompensasi
berorientasi pada kinerja dengan fokus pada insetif dan upah eksternal
yang kompetitif.
Analysers, orientasi SDM melalui kontribusi
dalam mengalokasikan orang dan proses manajemen sesuai dengan kebutuhan
aktivitas bisnis yang berbeda. Jadi strategi “make” & “buy” dikombinasikan, sehingga proses seleksi & rekruitmen merupakan pendekatan dari kedua strategi tersebut. Pengembangan skills karyawan merupakan prioritas, performance appraisals berorientasi pada proses yang menekankan pada identifikasi staffing dan analisis kebutuhan training. Performance assessment dilaksanakan pada semua level, dengan menerapkan model time-series & cross-sectional. Sistem kompensasi cenderung hierarchy-oriented,
dengan memasukan pertimbangan-pertimbangan kinerja. Selain itu
konsistensi internal dan persaingan pasar tenaga kerja juga jadi dasar
menentukan sistem kompensasinya, sehingga akan terdapat pula sistem
pembayaran cash maupun insentif-nya.
Pendekatan ‘matching model’ yang diajukan oleh Boxall (1992) seperti pada beberapa contoh diatas belum mengalami perubahan. Menurutnya, “it
is the firm’s chosen path in the product market that is seen to
determine HR strategy. Other aspects of the organizational context are
more or less ignored”. Hal mendasar yang dibuat oleh Boxall adalah
tidak ada satupun strategi SDM yang bersifat tunggal untuk semua
karyawan dalam sebuah organisasi, hal ini sudah dikonfirmasikan secara
empirik oleh Jackson dkk (1989) yang juga telah menemukan bahwa praktek
SDM beraneka ragam tergantung dari teknologi produksi, sektor industri,
struktur organisasi, ukuran maupun keberadaan serikat pekerja. Problem
lain tentang ‘matching model’ adalah strategi bisnis seperti
halnya Porter atau Miles & Snows merupakan hal yang kontroversial
(Boxall 1992). Sebaliknya, Murray (1998), Hill (1988), Miller &
Friesen (1986) dan Parnell (1997) mendapatkan bahwa strategi bisnis
bersifat “mutually exclusive”.
Merujuk pada pemikiran Becker & Gerhart (1996), “HR sistems
only have a sistematic impact on the bottom line when they are imbedded
in a firm’s management infrastructure and help it solve real business
problems such as product development cycle times, customer service, and
so forth.” Menjadi sangat jelas bahwa pendekatan kontijensi dan perspektif universalistik juga bersifat “mutually exclusive”.
Becker & Gerhart mencatat adanya tingkat kesulitan pada level
analisisnya, mereka membedakan 3 (tiga) level sistem SDM, misalnya architecture (prinsip-prinsip utama secara menyeluruh), policies (kebijakan), dan practices
(praktek SDM yang spesifik, misalnya sistem kompensasi, insentif,
performance appraisal, dst). Sehingga hal utama adalah menentukan
pengaruh praktek SDM yang paling tepat yang dapat dicapai pada level arsitektural, misalnya
penentuan prinsip-prinsip utama penghargaan pada kinerja karyawan yang
secara internal dan eksternal sesuai pada level kebijakan dan praktek
SDM organisasinya.
Gambar 2.2 merangkum pendekatan teori Perspektif Stratejik, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa strategic management
sebagai dasar bagi sebuah organisasi di dalam mengambil keputusan
strategi bisnis organisasi akan di-ikuti dengan pilihan strategi SDM (HR Strategy) yang akan diambil. Implikasi yang terjadi adalah praktek MSDM (HRM Practices) yang akan dilakukan pada level arsitektur, kebijakan dan praktek keseharian organisasi (day to day operations).
Pendekatan Resource-Based View (RBV)
Patut diketahui, karena sifat terapan dari MSDM Stratejik (Strategic Human Resources Management),
maka bidang ini mengembangkan atau menggunakan model-model teori yang
memungkinkan prediksi dan pemahaman pengaruh dari praktek praktek HR
pada fungsi organisasi. Namun, sampai sekarang, salah satu dari
kekurangan yang paling nyata dari MSDM Stratejik adalah kurangnya basis
teori yang kuat untuk pengkajian fungsi MSDM (Mahoney & Deckop,
1986) didalam organisasi yang lebih besar. Referensi terkini dalam
pembahasan teori manajemen sumber daya manusia stratejik berasal dari
literatur manajemen stratejik dan ekonomi organisasi dan telah
menghasilkan konsep Resource-Based View of the Firm yang
sering disebut sebagai RBV (Barney 1991; Conner 1991; Penrose 1959;
Wernerfelt, 1984). Sejak kemunculan “strategi” sebagai bidang yang
penting dalam ilmu manajemen, para ahli strategi organisasi industri
bergantung pada sebuah kerangka tunggal (SWOT Analysis) dalam melakukan penelitian mereka (Barney 1991).
Grant (1991) menyatakan bahwa karena ketidakpuasan dengan model
keseimbangan statis dari ekonomi organisasi industri yang mendominasi
bidang strategi, maka para peneliti mengkaji kembali teori-teori lama
tentang laba dan kompetisi yang berkaitan dengan tulisan Ricardo (1817),
Schumpter (1934) dan Penrose (1959). RBV ini berbeda dari paradigma
strategi tradisional dalam hal penekanan pada keunggulan kompetitif
dalam konteks antara strategi dan sumber daya internal perusahaan. RBV
berfokus pada internal perusahaan sedangkan paradigma analisa stratejik
tradisional lebih berfokus pada industri-lingkungan.
Pandangan RBV didasarkan pada keunggulan kompetitif dan
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Barney (1991) menggambarkan
keunggulan kompetitif sebagai “when a firm is implementing a value
creating strategy not simultaneously being implemented by any current or
potential competitor”. Sebuah keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan hanya ada apabila upaya pihak lain gagal untuk meniru
keunggulan tersebut (Barney, 1991). Menurut RBV, keunggulan kompetitif
hanya dapat muncul dalam situasi heterogenitas sumber daya perusahaan
dan immobilitas sumber daya perusahaan, dan asumsi inilah yang berfungsi
untuk membedakan model berbasis sumber daya dari model manajemen
stratejik tradisional. Heterogenitas sumber daya perusahaan mengacu pada
sumber daya yang dimiliki sebuah perusahaan (modal fisik, modal
manusia, dan modal organisasi) dan seberapa besar perbedaan sumber daya
ini diantara perusahaan-perusahaan. Dalam model strategi tradisional,
sumber daya perusahaan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat homogen
di semua perusahaan dalam industri. Immobilitas sumber perusahaan
mengacu pada ketidakmampuan dari perusahaan perusahaan yang bersaing
untuk memperoleh sumber dari perusahaan lain. Dalam model strategi
tradisional, sumber dianggap mobile dalam hal perusahaan dapat
membeli atau membuat sumber yang dimiliki oleh perusahaan pesaing. Agar
sumber daya sebuah perusahaan memberikan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan, empat kriteria harus dapat dikaitkan dengan sumber daya
tersebut:
(a) sumber daya harus menambah nilai positif bagi perusahaan,
(b) sumber daya harus bersifat unik atau langka diantara calon pesaing dan pesaing yang ada sekarang ini,
(c) sumber daya harus sukar ditiru, dan
(d) sumber daya tidak dapat digantikan dengan sumber lainnya oleh perusahaan pesaing.
Maka dengan heterogenitas sumber daya dan immobilitas sumber daya
serta pemenuhan prasyarat nilai, kelangkaan, ketidakmampuan meniru
secara sempurna, dan tidak adanya daya substitusi, maka sumber daya dari
sebuah perusahaan dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang awet.
Barney (1991) menyatakan bahwa dalam RBV – perusahaan tidak dapat
berharap untuk membeli atau mengambil keunggulan kompetitif
berkelanjutan yang dimiliki oleh suatu organisasi lain, karena
keunggulan tersebut merupakan sumber daya yang langka, sukar ditiru, dan
tidak tergantikan. Pemikiran bahwa sumber daya manusia dapat berfungsi
sebagai keunggulan kompetitif bukanlah hal baru. Schuler dan MacMillan
(1984) membahas potensi human capital yang dimiliki manajemen
sumber daya manusia yang unggul sebagai sarana pencapaian dan
pemeliharaan keunggulan kompetitif. Schuler dan MacMillan menyajikan
matriks target/pendorong untuk menunjukan bagaimana MSDM dapat
memberikan keunggulan kompetitif. Target dari praktek HR mengarah pada
aktivitas semua level termasuk internal perusahaan itu sendiri,
konsumennya, distributornya dan penyedia layanannya (servicer) bahkan para supliernya.
Ulrich (1991) secara parsial juga bergantung pada perspektif teori
RBV dalam penggambaran sumber daya manusia sebagai keunggulan
kompetitif. Dia memperluas model keunggulan kompetitif Porter (1985)
untuk memasukkan budaya organisasi, kompetensi yang berbeda, dan
kesatuan stratejik sebagai “mediator” dalam hubungan keunggulan
kompetitif-strategi. Ulrich kemudian membahas bagaimana praktek sumber
daya manusia dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan
strategi-strategi yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif yang
terus menerus, yang menegaskan bahwa harus ada fokus pada hubungan
antara sumber daya manusia, strategi dan keunggulan kompetitif. Baik
Chule & MacMillan (1984) maupun Ulrich (1991) memberikan perspektif
berorientasi praktek, yang menunjukkan bahwa MSDM dapat berfungsi
sebagai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Namun, tak satupun
dari analisa mereka didasarkan pada resource-based view of the firm secara
utuh. Adanya sebagian fakta keunggulan kompetitif yang berkelanjutan
sebenarnya lebih cenderung ditemukan bukan dikembangkan, maka terlebih
dahulu perlu untuk mengkaji kondisi dimana sumber daya manusia dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam konteks resource-based view of the firm, Barney (1991) & Wright dkk (1992).
Wright dkk (1992) mendasarkan asumsinya pada empat kriteria untuk
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan berupaya untuk mengevaluasi
kondisi dimana sumber daya manusia memenuhi kriteria tersebut.
Pemahaman tersebut melahirkan kosep :
· Pertama, agar sumber daya manusia ada sebagai
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, mereka harus memberikan nilai
bagi perusahaan. Kondisi ini mensyaratkan bahwa ada kebutuhan heterogen
akan tenaga kerja (bahwa perusahaan memiliki pekerjaan yang memerlukan
bermacam tipe ketrampilan) dan suplai tenaga kerja yang heterogen
(individu individu berbeda dalam ketrampilan dan tingkat ketrampilan
mereka). Dalam kondisi ini, sumber daya manusia dapat menambah nilai
bagi perusahaan.
· Kedua, sebuah sumber daya harus bersifat langka bila
sumber daya itu akan menjadi sebuah keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Wright dkk (1992) mencatat bahwa karena distribusi
kemampuan yang normal, sumber daya manusia dengan tingkat kemampuan
tinggi, secara definisi tentu akan menjadikannya langka. Tujuan dari
semua program seleksi jelas untuk memastikan bahwa organisasi hanya akan
mempekerjakan individu dengan kemampuan tertinggi. Masalahnya kemudian,
adalah validasi dari sistem seleksi dan apakah organisasi mampu atau
tidak untuk menarik dan mempertahankan para pelamar tersebut yang
dinggap memiliki kemampuan tertinggi. Maka, sebuah perusahaan dapat
secara teori memperoleh karyawan dengan kemampuan unggul melalui
kombinasi dari program seleksi yang valid dan sistem penghargaan yang
menarik.
· Ketiga, agar sebuah sumber daya dianggap sebagai
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sumber daya manusia harus
tidak dapat ditiru. Dalam pembahasan ini, Wright dkk (1992) menggunakan
konsep kondisi historis yang unik, ketidakjelasan sebab akibat, dan
kompleksitas sosial untuk menunjukkan ketidakmampuan untuk meniru dari
keunggulan kompetitif yang berasal dari sumber daya manusia. Kondisi
historis yang unik mengacu pada kejadian historis tertentu yang telah
membentuk praktek, kebijakan dan budaya perusahaan. Ketidakjelasan sebab
akibat menggambarkan situasi dimana sumber sebab akibat dari keunggulan
kompetitif tidak mudah diidentifikasi. Kompleksitas sosial menunjukkan
bahwa dalam banyak situasi (misal tim produksi) keunggulan kompetitif
berasal dari hubungan sosial yang unik yang tidak dapat ditiru. Maka,
Wright dkk menyatakan bahwa karena fakta bahwa banyak keunggulan
kompetitif yang mungkin didasarkan dalam sumber daya manusia dari sebuah
perusahaan dicirikan oleh kondisi historis yang unik, ketidakjelasan
sebab akibat, dan kompleksitas sosial, sangat tidak mungkin bahwa sumber
daya manusia yang dikembangkan dengan baik dapat dengan mudah ditiru.
· Keempat, sebuah sumber daya harus tidak dapat
digantikan (substitusi) bila sumber daya tersebut dianggap sebagai
sebuah keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Menurut Wright dkk
(1992), seseorang dapat dengan mudah menggambarkan sebuah perusahaan
tertentu memiliki individu-individu berkemampuan tertinggi yang
menghasilkan keunggulan kompetitif. Namun, apa yang terjadi bila pesaing
mengembangkan teknologi baru yang memberikan peningkatan produktivitas
yang lebih besar dibandingkan perbedaan produktivitas dalam perusahaan
karena kemampuan ? Bila teknologi dapat ditiru (yang memang demikian
karena sebuah perusahaan dapat membeli teknologi di pasar), maka setelah
perusahaan itu membeli teknologi baru tersebut, sumber daya manusia
akan sekali lagi menjadi ada sebagai keunggulan kompetitif.
Teori resource-based view telah mendapatkan sejumlah perhatian
yang signifikan dalam literatur manajemen stratejik (Barney 1991;
Castanias & Helfat, 1991; Conner 1991; Fiol 1991). Potensi besar
untuk menggunakan teori tersebut menjadi sangat penting bagi para
peneliti di bidang MSDM Stratejik, untuk mengkaji ‘cara perusahaan’
dalam mengembangkan sumber daya manusia sebagai sebuah keunggulan
kompetitif. Saat ini kebutuhan untuk menyatukan praktek sumber daya
manusia dalam tahap perumusan dari strategi sebuah perusahaan menjadi
hal yang utama dalam kajian berkelanjutan MSDM stratejik. Pendekatan resource-based view memberikan
kerangka dalam pengkajian fungsi sumber daya manusia yang berperan
stratejik selama fase perumusan perencanaan strategi manajemen. Dengan
demikian pendekatan resource-based view akan menunjukkan fakta
bahwa strategi tidak secara universal dapat diterapkan, tetapi bersifat
kontingen pada kepemilikan basis sumber daya manusia (karyawan) yang
perlu untuk menerapkannya.
Sementara itu para ahli dari berbagai disiplin ilmu juga telah
memberikan berbagai kerangka kerja konseptual sebagai penjelasan
terhadap hubungan antara praktek manajemen SDM dan kinerja pada tingkat
perusahaan. Jackson dan Schuler (1995) memberikan literatur tentang hal
ini dan menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan yang berbeda seperti
teori sistem umum, teori perilaku peran (Behavioral Approach), teori institusional (Institutional/Political Forces), teori ketergantungan sumber daya (Resource Dependence), teori modal manusia (Human Capital), ilmu ekonomi biaya transaksi (Transaction Costs), teori agensi (Agency) dan teori resource-based view,
digunakan untuk meneliti peran-peran potensial SDM (praktek SDM) dalam
menentukan kinerja perusahaan. Hasilnya secara umum menunjukan adanya
hubungan yang positif antara berbagai praktek SDM yang berkualitas dan
keunggulan organisasi, yaitu kinerja perusahaan. Gambar 2.3 menjelaskan
kerangka konseptual teoritik yang menjelaskan pemikiran Jackson dan
Schuler (1995) tersebut. Konsep tersebut juga mengambil dari kerangka
konseptual yang telah dikembangkan oleh Wright dkk (1992).
Strategi Organisasi dan Perilaku SDM
Banyak tipologi telah dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana
perusahaan membahas masalah dasar ini (tipologi strategi bisnis dan
manajemen sumber daya manusia), tetapi tipologi yang dikembangkan oleh
Porter (1980, 1985) tidak diragukan lagi merupakan yang paling umum dan
digunakan secara luas oleh para peneliti industri dan kebijakan bisnis
(Hambrick, 1983; Sorge & Streeck, 1988). Seperti yang dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya, Porter menyatakan bahwa ada dua strategi
bisnis generik yang berhasil yang sebuah perusahaan mungkin gunakan
untuk mencapai keunggulan kompetitif yang bertahan lama atas perusahaan
lain dalam industri. Strategi itu adalah Cost Leadership Strategy (yaitu dengan menjadi produsen berbiaya terendah) dan Differentiation Strategy
(yaitu dengan mendiferensiasi dirinya dari kompetitor pada beberapa
basis selain biaya rendah misalnya kualitas produk atau jasa). Logika
untuk hubungan antara strategi ini dan strategi manajemen SDM berakar
dari perbedaan dalam ketidakpastian tugas produksi yang terlibat dalam
implementasi strategi bisnis Cost Leadership dan Differentiation.
Pemfokusan pada tujuan manajemen, praktek dan kebijakan SDM digunakan
untuk membentuk karakteristik karyawan, sikap, dan perilaku untuk
pelaksanaan efektif dari bermacam tipe tugas pekerjaan (Jackson,
Schuler, & Rivero, 1989; Galbriath, 1977; Drazin & Van deVen,
1985; Govindarajan, 1988). Karakteristik strategi pengurangan biaya
adalah kontrol ketat, minimalisasi biaya tak langsung / overhead,
dan pencapaian skala ekonomis. Fokus utama pengukuran ini adalah
peningkatan produktivitas, yaitu, biaya output per orang. Profil
perilaku peran karyawan yang diperlukan untuk perusahaan yang berupaya
untuk meraih keunggulan kompetitif dengan pencapaian pengurangan biaya
adalah sebagai berikut :
(1) perilaku yang relatif berulang dan dapat diprediksikan,
(2) fokus agak jangka pendek,
(3) aktivitas individual atau bersifat otonom,
(4) cukup perhatian terhadap kualitas,
(5) perhatian tinggi terhadap kuantitas output (barang atau jasa),
(6) perhatian utama terhadap hasil,
(7) aktivitas beresiko rendah, dan
(8) tingkat kesesuaian yang relatif tinggi dengan stabilitas (Porter 1980, 1985).
Strategi diferensiasi menurut Piore dan Sable (1984) lebih dikaitkan
dengan “spesialisasi fleksibel” melalui penggunaan teknologi yang lebih
fleksibel untuk menghasilkan cakupan yang lebih luas dari produk yang
relatif khusus dalam jumlah yang lebih kecil. Implikasi pengaturan
sumber daya manusia yang mengupayakan strategi ini adalah bahwa
diperlukannya pemilihan individu yang sangat terampil, yang memberikan
karyawan lebih banyak peluang, penggunaan kontrol minimal, pembuatan
investasi yang lebih besar dalam sumber daya manusia, penyediaan lebih
banyak sumber untuk ber-eksprimen, pemberian kemudahan dan bahkan
penghargaan terhadap “kegagalan tertentu”, dan penilaian kinerja untuk
implikasi jangka panjang. Sehingga pencapaian strategi ini akan
berimplikasi pada rasa kontrol pribadi yang meningkat dan moral yang
lebih baik, sehingga meningkatkan komitmen yang lebih besar untuk diri
sendiri dan profesi. Dengan demikian, profil tipe perilaku peran
karyawan ini termasuk :
(1) tingkat perilaku kreatif yang tinggi,
(2) fokus jangka panjang,
(3) tingkat kerja sama yang relatif tinggi, perilaku saling ketergantungan,
(4) tingkat perhatian terhadap kualitas yang tinggi,
(5) perhatian yang cukup terhadap kuantitas,
(6) tingkat perhatian setara untuk proses dan hasil,
(7) tingkat pegambilan resiko yang lebih tinggi, dan
(8) toleransi ketidakjelasan dan ketidakmampuan prediksi yang tinggi (DePree, 1986).
Teori manajemen SDM stratejik sering digunakan sebagai kerangka kerja
dasar untuk investigasi strategi SDM dan kinerja perusahaan. Menurut
Wan dkk (2000), seperti yang telah dibahas sebelumnya, saat ini terdapat
tiga perbedaan utama dalam pendekatan teoritis untuk memahami teori SDM
stratejik yang terdapat pada literatur manajemen SDM, antara lain
pendekatan perspektif universalistic, contingency dan configurational.
Ketiga pendekatan tersebut merupakan salah satu perspektif terintegrasi
yang banyak digunakan untuk memahami praktek SDM, strategi organisasi
dan kinerja perusahaan seperti yang di gunakan sebagai dasar peneltian
yang dilakukan pula oleh Erras (2002). Praktek dan sistem SDM di desain
berdasarkan permasalahan yang relevan, misalnya di dasarkan pada asumsi
efektivitas pendekatan universalistic, contingency, configurational,
maupun idiosyncratic. Namun demikian terdapat pula pendekatan obyek,
dimana tergantung dari bagian karyawan yang dipilih dalam penerapan
praktek SDM tersebut, di dalam istilah SDM sering disebut sebagai
generalism (diberlakukan menyeluruh bagi seluruh individu organisasi)
dan segmentation (diaplikasikan pada satu bagian atau beberapa bagian
kelompok individu organisasi). Desain sistem SDM yang dirancang dan
dilaksanakan umumnya dipengaruhi oleh strategi organisasi yang dipilih
(pendekatan kontijensi). Teori RBV (resource-based view of the firm) di
adaptasikan untuk melihat sisi stratejik SDM dalam membangun keunggulan
kompetitif maupun korelasi pengaruh strategi organisasi dan praktek SDM
yang akan dipilih. Erras (2002) melihat adanya “HR Outcomes” dan
“Organizational Performance” di dalam model ini sebagai konsekuensi
logis yang saling berkaitan, dimana dari sisi perilaku SDM yang
dihasilkan merupakan indikator kinerja organisasi yang menghasilkan
indikator-indikator finansial.
Perspektif universalistik adalah bentuk paling sederhana dari model
teoritis dalam literatur manajemen SDM strategik. Perspektif
universalistik mengupayakan “praktek terbaik” manajemen SDM. Sehingga
melalui pendekatan ini para peneliti ini yakin bahwa beberapa praktek
manajemen SDM selalu lebih baik daripada praktek lainnya. Selain itu,
perusahaan yang menerapkan praktek-praktek ini akan menghasilkan kinerja
perusahaan yang lebih baik. Dalam kelompok pemikiran ini, ada konsensus
yang berkembang tentang praktek manajemen mana yang dianggap sebagai
strategik. Tujuan praktek secara konsisten di identifikasi sebagai
praktek SDM strategik (Osterman, 1987, Sonnerfeld dan Perperl 1988).
Praktek pertama, peluang karir internal, mengacu pada
penggunaan pasar internal. Organisasi dapat memilih untuk mempekerjakan
karyawan secara dominan dari dalam atau dari luar. Praktek kedua,
sistem pelatihan, mengacu pada jumlah pelatihan formal yang diberikan
untuk karyawan. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilihan dan
sosialisasi. Ketiga, penghargaan dapat didasarkan pada
hasil atau perilaku. Penghargaan berdasarkan perilaku terfokus pada
perilaku individu yang diperlu kan untuk melaksanakan pekerjaan secara
efektif, sedangkan penghargaan berorientasi hasil terfokus hanya pada
konsekuensi perilaku tersebut. Keempat, rencana pembagian keuntungan, yang menghubungkan gaji dengan kinerja organisasi. Praktek kelima, berkaitan dengan sejauh manajemen karyawan diberi jaminan keamanan oleh perusahaan serta implikasinya. Keenam,
mekanisme opini (voice mechanism), baik sistem keluhan formal dan
partisipasi dalam pembuatan keputusan, telah muncul sebagai faktor
utama. Ketujuh, sekaligus sebagai elemen terakhir
adalah sejauh mana pekerjaan secara ketat atau secara sempit
didefinisikan. Pekerjaan yang didefinisikan secara ketat adalah
pekerjaan dimana karyawan tahu dengan sangat baik isi pekerjaan itu.
Banyak penelitian telah mendukung prediksi universalistik. Leonard
(1990) mendapati bahwa organisasi yang memiliki rencana insentif jangka
panjang untuk para eksekutifnya memiliki peningkatan yang lebih besar
dalam ROE selama periode empat tahun daripada organisasi lainnya. Abowd
(1990) membuktikan bahwa sejauh mana kompensasi manajerial dikaitkan
dengan kinerja finansial sebuah organisasi secara signifikan dikaitkan
dengan kinerja finansial mendatang. Gerhart dan Milkovich (1990)
menemukan bahwa pay mix berkaitan dengan kinerja finansial. Terpstra dan
Rozell (1993) mengemukakan lima praktek staffing terbaik dan
menyimpulkan bahwa penggunaan praktek praktek ini memiliki hubungan
positif dengan hasil tingkat organisasi. Secara keseluruhan, tingkat
dukungan yang diberikan untuk prediksi universalistik mengindikasikan
bahwa perspektif universalistik adalah perspektif teoritis yang valid
untuk manajemen SDM strategik.
Penerapan teoritik perspektif universal juga mendapat banyak kritikan
dari praktisi dan peneliti. Kritikan-kritikan tersebut antara lain :
pertama, organisasi yang tidak menerapkan praktek SDM terbaik ternyata
juga menghasilkan return yang lebih besar. Huselid (1995) menunjukkan
bahwa organisasi mungkin tidak dapat mempertahankan keunggulan
kompetitif melalui penerapan apa yang disebut praktek terbaik karena
praktek ini mudah ditiru. Maka, bahkan bila sebuah organisasi menerapkan
praktek ‘terbaik’ ini, organisasi itu hanya mungkin meraih keunggulan
kompetitif jangka pendek dan menikmati kinerja superior sementara waktu.
Kedua, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang lebih kompleks antara manajemen
strategik SDM dan kinerja organisasi. Beberapa praktek SDM lebih sesuai
dalam kondisi strategik tertentu dan kurang sesuai dalam kondisi
strategik lainnya. Misalnya, hanya praktek pembagian keuntungan,
penghargaan berorientasi hasil, dan keamanan karyawan yang memiliki
hubungan universal yang relatif kuat dengan pengukuran kinerja
akuntansi.
Teori teori kontingensi mengemukakan bahwa sebuah organisasi perlu
menerapkan praktek/kebijakan SDM tertentu untuk bermacam strategi
perusahaan. Maka, untuk menjadi efektif, kebijakan SDM dari sebuah
perusahaan harus sesuai dengan aspek aspek organisasi lainnya. Strategi
sebuah organisasi memerlukan prasyarat perilaku tertentu agar berhasil,
dan penggunaan praktek SDM dalam organisasi dapat menghargai atau
mengkontrol perilaku karyawan. Ada banyak cara dimana kebijakan dan
praktek SDM dapat digunakan untuk mendapatkan perilaku karyawan yang
sesuai dengan strategi organisasi. Karena perilaku merupakan fungsi
kemampuan dan motivasi, sebuah organisasi dapat membentuk sistem dan
praktek SDM yang memastikan bahwa individu individu dengan kemampuan
yang diperlukan dipekerjakan dan dipertahankan. Mereka dapat menggunakan
praktek praktek SDM untuk memastikan bahwa karyawan termotivasi untuk
berperilaku sesuai dengan strategi bisnis (Kerr & Jakosfy, 1989;
Fama & Jensen, 1983).
Namun, menurut Delery dan (1996), perspektif ini juga mendapatkan
kritik. Mereka menemukan hanya tiga praktek SDM (partisipasi,
penghargaan berorientasi hasil, dan peluang karir internal) yang sesuai
dengan perspektif kontingensi. Lebih banyak penelitian empiris dan
teoritis diperlukan untuk mengkaji perspektif ini secara menyeluruh.
Perspektif konfigurasional dalam manajemen SDM strategik dikaitkan
dengan bagaimana pola aktivitas dan pengelompokan SDM yang terencana dan
majemuk mencapai tujuan organisasi. Dengan sistim tersebut, sebuah
organisasi harus mengembangkan sebuah sistem SDM yang mencapai
kesesuaian horisontal dan vertikal (Becker & Gerhart, 1996).
Kesesuaian horisontal mengacu pada konsistensi internal praktek atau
kebijakan SDM organisasi, dan kesesuaian vertikal mengacu pada
kongruensi sistem SDM dengan karakteristik organisasi lainnya, seperti
strategi perusahaan.
Ada tiga prinsip utama yang mengarahkan perspektif konfigurasional
ini. Pertama, perspektif ini berasumsi pada prinsip holistik investigasi
untuk mengidentifikasi konfigurasi, atau pola unik faktor-faktor, yang
diperkirakan secara maksimal akan efektif. Konfigurasi ini menunjukkan
pengaruh sinergis nonlinier dan interaksi urutan yang lebih tinggi yang
secara tidak normal ditunjukkan oleh teori-teori kontingensi bivarian
tradisional (traditional bivariate contingency theories). Kedua, teori
konfigurasional menyatukan asumsi ekuifinalitas (equifinality) dengan
perkiraan bahwa banyak konfigurasi unik dari faktor faktor yang relevan
dapat menghasilkan kinerja maksimal. Ketiga, konfigurasi ini diasumsikan
menjadi tipe ideal yang merupakan elemen teoritis bukan fenomena yang
secara empiris dapat diamati (Venkatraman & Prescott, 1990; Doty
& Glick, 1994; Meyer, Tsui dan Hining, 1993).
Sejumlah penulis telah berupaya untuk mengembangkan tipologi
sebelumnya dari sistem SDM yang efektif dan menghubungkan kinerja sistem
SDM dengan strategi perusahaan. Miles dan Snow (1984) mengembangkan
banyak kombinasi praktek manajemen SDM yang sama efektifnya dan
menyatakan bahwa praktek SDM yang berbeda disesuaikan untuk strategi
perusahaan yang berbeda pula. Arthur (1992) juga menyatakan bahwa
semakin dekat praktek SDM sebuah organisasi mencerminkan sistem
kepegawaian prototipe yang tepat (untuk strategi bisnisnya), semakin
besar kinerjanya bagi perusahaan. Demikian juga, MacDuffie (1995) telah
menurunkan konfigurasi khusus, berupa bundel praktek SDM untuk
meningkatkan kinerja perusahaan. Salah satu keterbatasan utama dari
perspektif konfigurasional adalah bahwa meskipun konfigurasi ideal dapat
menunjukkan pengaruh sinergis nonlinier dari dimensi yang digunakan
untuk membentuk konfigurasi, akan tetapi secara empiris tidak dapat
dibuat argumen kuat bahwa sinergi diantara praktek SDM yang sedang
dikaji akan meningkatkan kinerja organisasi (Delery & Doty 1996).
Kedua, meskipun sebagian besar ahli teori konfigurasi mengemukakan bahwa
multiple konfigurasi efektif sesuai parameter yang relevan, namun
penelitian yang dilakukan oleh Delery dan Doty (1996) hanya
mengidentifikasi konfigurasi SDM tunggal yang menghasilkan kinerja yang
lebih baik.Dengan kata lain, perspektif konfigurasi masih merupakan
kerangka kerja yang sangat spekulatif tanpa banyak dukungan empiris.
Maka pengembangan teori tambahan dan pengujian diperlukan untuk validasi
efektivitas perspektif ini,
Kerangka Analisis Hubungan MSDM dan Kinerja
Konsep manajemen sumber daya manusia (MSDM) memiliki sejarah panjang
dan kompleks yang berkaitan dengan praktek-praktek ketenagakerjaan.
Dalam era 1980-an ketertarikan yang luar biasa para akademisi semakin
bertambah dengan kemunculan istilah dan model –model pengembangan MSDM
(Purcell & Ahlstrand 1994). Model awal MSDM seperti yang dimunculkan
oleh Beer dkk (1984), Fombrun dkk (1984), Guest (1989) masih merupakan
gambaran konsep-konsep yang luas dan masih belum berdasarkan bukti-bukti
empiris yang mendukung validitas model-model tersebut. Perluasan dari
kosep MSDM menuju konsep MSDM Stratejik bahkan telah menjadi bidang
khusus MSDM (Boxall 1992, Delery & Doty 1996, Huang 2000), sementara
bagi pakar lainnya, MSDM Stratejik sudah menjadi disiplin ilmu
manajemen baru (Wright & McMahan 1992). Topik-topik yang berkaitan
dengan MSDM Stratejik umumnya berkaitan antara strategi organisasi dan
MSDM, maupun hubungan MSDM dengan kinerja organisasi (Khatri 2000).
Penelitian-penelitian empiris pada tahun 1990 dalam bidang MSDM sudah
banyak yang meneliti topik-topik MSDM stratejik tersebut. Penelitian
seperti yang dilakukan oleh Becker & Gerhart (1996) hingga Bae &
Lawler (2000) merupakan salah satu dari sekian penelitian yang
mengambil topik seperti yang ditegaskan oleh Khatri.
Menurut Paauwee & Richardson (2001), fokus penelitian empirik
yang menguji hubungan MSDM dan kinerja saat ini sudah berada pada tahap
puncaknya. Sebagian besar dari penelitian yang dilakukan pada dasawarsa
1990-an mampu membuktikan secara statistik hubungan yang sangat kompleks
antara MSDM dan kinerja organisasi (Misalnya : Arthur 1994, Huselid
1995, Ichniowski dkk., 1997). Meskipun penemuan-penemuan tersebut sangat
“merangsang” bagi para peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut
seputar topik MSDM dan kinerja organisasi, akan tetapi masih menyisakan
“kurangnya”–nya penelitian yang menekankan pada proses – proses yang
terlibat di dalam keterkaitan hubungan sebab akibat – atau hipotesis
hubungan MSDM terhdap kinerja orgaisasi, misalnya melalui kinerja
karyawaan (employee outcomes) berupa sikap perilaku (attitudes) dan
komitmen yang ada. Sebagian besar di dalam riset yang dilakukan
sebelumnya masih berupa pendekatan perilaku yang cenderung sebagai
asumsi daripada diuji secara empirik (Purcell 1999). Sebagai
konsekuensinya, penelitian-penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk
melakukan studi lebih lanjut yang berfokus pada “proses yang terlibat”,
proses dimana MSDM dapat berkontribusi secara langsung bagi kinerja
organisasi (Becker & Gerhart 1996, Becker dkk 1997, Purcell 1999,
Erras 2002). Proses-proses yang terlibat dalam hubungan antara MSDM dan
kinerja organisasi tersebut masih sangat banyak. Proses-proses tersebut
oleh sebagian besar peneliti MSDM disebut sebagai “black box” yang harus
diungkap dan dikuak secara empiris, termasuk didalamnya keselarasan
dengan budaya organisasi yang berorientasi pada kinerja TQM, yang saat
ini banyak diaplikasikan organisasi perusahaan. Meskipun terdapat
kemajuan dalam riset-riset terbaru yang ada, baik dalam desain
penelitian (research design), metodologi dan pengujian kausalitas secara
langsung, akan tetapi hal tersebut masih menyisakan kesenjangan
penelitian (research gaps) yang dapat diuji secara empirik menyangkut
“proses” yang mendukung hubungan positip MSDM dan kinerja
organisasional.
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah sebuah konsep disiplin
ilmu yang memiliki akar tersendiri. Banyak akademisi yang tertarik pada
konsep tersebut, yaitu apakah MSDM berbeda secara substansi dengan
’manajemen personalia’ ataukah hanya berbeda secara istilah, hal
tersebut telah menjadi perdebatan dalam banyak literatur MSDM. Sehingga
tidak mengherankan bila MSDM dijelaskan dengan bermacam-macam definisi,
dan untuk menghindari perbedaan pemahaman, maka di dalam riset ini akan
menggunakan definisi yang dikembangkan oleh Storey (1995) yang
menjelaskan “HRM is a distinctive approach to employment management
which seeks to achieve competitive advantage through the strategic
deployment of a highly committed and capable workforce, using an
integrated array cultural, structural and personnel techniques.”
Definisi dari Storey diatas memiliki keunggulan, yaitu : pertama, karakterisasi MSDM sebagai sebuah pendekatan khusus dalam mengelola orang, kedua, hasil yang dicapai berupa tenaga kerja yang memiliki komitmen dan kompeten, ketiga,
adanya pengaruh positif sebagai keunggulan kompetitif organisasi
ataupun pengaruh pada kinerja organisasi. Tiga muatan definisi yang
disampaikan oleh Storey akan dijadikan karakterisasi pembahasan
konseptual dan pengujian empiris MSDM. Definisi tersebut akan senantiasa
muncul melalui pengulangan-pengulangan pada penjelasan model dan dan
bangunan teori yang dikembangkan dalam riset ini.
Saat ini, telaah literatur penelitian SDM umumnya terbagi di dalam 2 (dua) area utama, yaitu :
1. Pengembangan alat ukur praktek MSDM yang efektif.
2. Penerapan pengukuran kinerja organisasi terkait dengan praktek MSDM yang efektif.
Becker & Gerhart (1996) menemukan bahwa dari telaah 5 literatur
penelitian yang mereka lakukan hanya menemukan praktek “problem-solving
groups” dan “self-directed team” yang digunakan sebagai indikator
praktek MSDM pada 4 riset yang dilakukan sebelumnya. Begitupula yang
dilakukan oleh Dyer & Reeves (1995) yang mencatat dari 4 riset yang
mereka review, hanya satu praktek MSDM yang menjadi indikator bersama,
sementara 22 dari total 28 indikator praktek MSDM hanya muncul sekali
dalam masing-masing riset-nya. Terlihat ada berbagai macam opini yang
berkaitan dengan praktek MSDM, akan tetapi dalam riset yang dilakukan
para peneliti cenderung dibatasi pada praktek-praktek tertentu. Misalnya
Kalleberg & Moody (1994) menggunakan praktek MSDM berupa
rekruitmen, Patterson dkk (2000) menguji efek interaksi sistem
manufaktur terpadu (integrated manufacturing) dengan program
“pemberdayaan” karyawan yang meliputi praktek seleksi karyawan,
pembentukan teamwork, praktek penilaian kinerja – namun tidak memunculkan indikator praktek komunikasi maupun sistem kompensasi..
Terkait dengan ruang lingkup penelitian ini untuk menggali domain
praktek MSDM yang memberikan kontribusi bagi kinerja organisasional,
maka telaah literatur penelitian terdahulu diperlukan untuk
mengembangkan konsep praktek MSDM yang dapat diakui sebagai praktek
signifikan yang secara umum telah berhasil diaplikasikan oleh sebagai
besar perusahaan modern dan maju. Dari kajian literatur yang dilakukan,
meskipun terdapat inkonsistensi terhadap konsep pendekatan studi yang
dilakukan oleh para peneliti, akan tetapi terdapat kesepakatan dalam
beberapa praktek MSDM yang ada di dalam perusahaan. Praktek MSDM
tersebut misalnya : kerja tim, self-managed & self-directed teams, fleksibilitas dalam job design, program seleksi & rekruitmen, program pelatihan formal, problem-solving teams,
program formal peningkatan partisipasi & keterlibatan karyawan,
otonomi dalam pengambilan keputusan, penilaian kinerja secara formal (formal performance appraisals), kesempatan promosi internal, sistem insentif yang terkait dengan kinerja, upah yang lebih baik, sistem profit sharing & share options,
komunikasi formal secara berkala antara manajemen & karyawan hingga
survei perilaku karyawan dan jaminan keamanan dalam bekerja merupakan
bukti empiris yang banyak digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan
meski terdapat ketidaksepakatan praktek MSDM yang ada tetapi terdapat
persamaan dalam banyak studi seperti halnya arah riset &
prinsip-prinsip praktek MSDM lainnya yang dapat dijadikan sebagai
rujukan pengembangan domain praktek MSDM di dalam penelitian ini.
Penggalian domain dan praktek MSDM menjadi sangat signifikan, mengingat
di daalam penelitian in bertujuan untuk mengembangkan model konseptual
yang dapat digunakan sebagai referensi organisasi di dalam mengembangkan
dan melaksanakan strategi bisnisnya. Praktek MSDM mencakup banyak aspek
dari hal yang bersifat peran administratif, legal compliance
hingga peran stratejik dalam manajemen perubahan, penciptaan nilai, TQM
dan keunggulan kompetitif. Terdapat keterkaitan yang erat antara peran
SDM terhadap penciptaan budaya, misalnya melalui penciptaan desain
organisasi, pengembangan SDM yang kompeten, fleksibel dan inovatif bagi
perusahaan maupun peran sentral dalam inisiatif implementasi improvement tools di dalam perusahaan.
Beer dkk (1984) telah mencoba mengembangkan model praktek SDM di
dalam sebuah kerangka kerja yang mendeskripsikan peta MSDM yang
dikaitkan dengan kinerja organisasi, Gambar 2.5. Model ini sering
disebut sebagai ‘Harvard framework’ dan dijadikan rujukan dasar
setiap pengembangan model konseptual penelitian MSDM. Meskipun demikian
kritik atas model ini muncul karena ketidak jelasan antara praktek SDM
dan kinerja organisasi yang mampu menghasilkan model yang dapat di uji
secara langsung (testable) model. Guest (1987; 1997) menyempurnakan framework yang
dikembangkan oleh Beer dkk (1984) dengan sebuah hubungan yang lebih
jelas untuk pengujian setiap model penelitian praktek MSDM dan kinerja
organisasi. Berikutnya setiap pengembangan model dalam penelitian SDM
senantiasa menggunakan krangka Beer dan atau dari Guest. Guest (1987;
1997) merangkum sebuah model yang mudah dipahami terkait dengan
variabel-variabel empririk yang mudah diuji dalam sebuah penelitian dan
banyak peneliti yang mempergunakannya.
Stakeholder Interest · Shareholders · Management · Employee Groups · Government · Community · Unions |
Situational Factors · Workforce characteristic · Business strategy · Business philosophy · Labour market · Unions · Technoclogy · Social Values · Technology |
HRM Policy · Choiches · Employee influences · HR flow · Reward systems · Work systems |
HRM Outcomes · Commitment · Competence · Congruence · Cost reduction |
Longterm Consequences · Shareholders · Individual well -being · Organizational effectiveness · Societal well-being |
Gambar Model Praktek MSDM
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
Namun demikian kritik senantiasa bekembang seiring dengan pesatnya
penelitian dibidang SDM, yaitu perlunya kejelasan orientasi strategi
pada tataran organisasi sebelum mendefinisikan model strategi SDM yang
akan dikembangkan, Boxall (1992). Masih banyak aspek stratejik yang
belum tersentuh pada banyak model penelitian yang sudah dikembangkan.
Misalnya saja keterkaitan praktek MSDM, budaya perusahaan dan kinerja
organisasi yang berfokus pada standar kinerja organisasi yang
semakin banyak digunakan organisasi perusahaan saat ini, yaitu kriteria
Baldrige. Tabel 2.1 menunjukan keterkaitan strategi MSDM, praktek MSDM
dan kinerja organisasi.
Tabel 2.1 Keterkaitan MSDM dan Kinerja
HRM Strategy | HRM Practices | HRM Outcomes | Behaviour Outcomes | Performances Outcomes | Financial Outcomes |
Differentiation (Innovation) Focus (Quality) Cost (Cost Reduction) |
Selection Training Appraisal Rewards Job Design Involvement Status and Security |
Commitment Quality Flexibility |
Effort/Motivation Cooperation Involvement Organizational Citizenship |
HIGH: · Productivity · Quality · Innovation LOW: · Absence · Turnover · Conflict · Customer complaint |
PROFITS ROI |
Sumber : Guest (1987; 1997)
Praktek-praktek SDM dikatakan merupakan seperangkat terpadu
(bundles), jika praktek tersebut muncul dalam jumlah yang cukup lengkap,
secara mutual saling menekankan atau sinergis (Dyer & Holder,
1988). Dua faktor penting ditekankan, yaitu kesesuaian internal dan
kesesuaian eksternal. Kesesuaian internal memerlukan koordinasi atau
kongurensi diantara bermacam praktek manajemen SDM dalam sebuah
organisasi (Schuler & Jackson, 1987; Wright & McMahan, 1992;
Wright & Snell, 1991). Kesesuaian eksternal berarti bahwa praktek
manajemen SDM dikaitkan dengan tujuan organisasi atau strategi bisnis
(Lengnick-Hall & Lengnick-Hall, 1988; Wright & Mchahan, 1992).
Berdasarkan konsep-konsep dasar yang telah dibahas sebelumnya serta
penelitian-penelitian yang lain, diajukan Proposisi Satu berikut ini :
Proposisi Satu Strategi Binis, Strategi SDM dan praktek MSDM |
(1) Praktek manajemen sumberd daya manusia perusahaan sangat dipengaruhi oleh strategi manajemen sumberdaya manusia yang dipilih. Selanjutnya setiap strategi bisnis yang diambil sangat berpengaruh pada pilihan-pilihan strategi SDM yang akan diterapkan. Dengan demikian strategi MSDM dan praktek MSDM yang dijalankan harus konsisten dengan strategi bisnis yang diaplikasikan. Ketidak-sesuaian antara strategi binis, strategi MSDM dan praktek MSDM akan dapat berakibat pada kurang efektifnya roda organisasi. |
Proposisi Satu ini disajikan secara piktografis disajikan dalam Gambar 2.6 berikut ini.
Gambar 2.6 Proposisi Satu
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
2.2.Keterkaitan Praktek MSDM dan TQM
Para peneliti telah menekankan adanya pengaruh signifikan MSDM bagi
kinerja organisasi, MSDM memiliki peran utama dalam pencapaian sasaran,
memenangkan kompetisi dan mendukung kesuksesan jangka panjang dalam
lingkungan bisnis yang sukar di prediksi. Lebih lanjut sejumlah peneliti
bahkan telah berupaya untuk mengukur pengaruh praktek MSDM terhadap
kinerja perusahaan, baik dari sisi kepuasan karyawan hingga ‘market value’
perusahaan (Beckel & Huselid, 1998; Kalleberg & Moody, 1994).
Namun demikian ternyata banyak peneliti dan praktisi kurang sepakat
seputar aspek-aspek dalam praktek MSDM yang harus diukur. Beberapa
peneliti SDM merekomendasikan beberapa domain praktek MSDM yang dapat
berpengaruh bagi kinerja organisasi (Ulrich 1997; Ulrich & Lake
1990; Watson Wyatt, 2001).
Ulrich dan Lake (1990) menyebutkan 6 domain praktek MSDM yang efektif, yaitu: penempatan tenaga kerja (staffing), pelatihan dan pengembangan (training & development), penilaian kinerja (performance appraisal), sistem imbalan kinerja (employee performance rewards), desain organisasi (organization design) dan komunikasi (internal communication). Menurut mereka staffing merupakan
domain yang penting bila dibandingkan praktek manajemen lainnya
mengingat kualitas SDM organisasi memiliki peran yang sangat signifikan
pada kesuksesan jangka panjang organisasi. Pelatihan dan pengembangan
karyawan memiliki peran penting ketika sebuah organisasi memutuskan
untuk membangun kompetensi SDM organisasi. Upaya untuk meningkatkan
sikap dan perilaku pekerja secara konsisten dengan kompetensi yang
dikembangkan dilakukan melalui serangkaian aktivitas, mulai dari
penilaian kinerja hingga pelaksanaan sistem imbalan (Ulrich & Lake,
1990). Ulrich dan Lake (1990) menyatakan bahwa desain organisasi dan
komunikasi dibutuhkan dalam praktek MSDM untuk memastikan kompetensi
organisasi tumbuh dan terpelihara selaras dengan praktek MSDM yang telah
diaplikasikan, misalnya staffing, pelatihan dan pengembangan, penilaian kinerja dan praktek sistem imbalan.
Menurut Ulrich dan Lake (1990) untuk menganalisis praktek MSDM secara
lebih rinci, sebuah organisasi perusahaan harus memulainya dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan domain praktek MSDM
yang ada, seperti dalam Tabel 2.2 dibawah.
Tabel 2.2. Pertanyaan Domain Praktek MSDM
No | Domain | Pertanyaan-Pertanyaan |
1 | Penempatan (Staffing) | · Siapa yang direkruit ke dalam organisasi ? · Siapa yang dipromosikan di dalam organisasi ? · Siapa yang di “keluarkan” dari organisasi ? |
2 | Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development) | · Bagaimanakah pelatihan mampu meningkatkan kompetensi karyawan ? · Bagaimanakah kegiatan-kegiatan pengembangan lainnya dapat meningkatkan kompetensi karyawan ? |
3 | Penilaian Kinerja (Performance Appraisal) | · Apa standar kinerja individu, kelompok dan departemen di dalam organisasi ? · Bagaimanakah mekanisme umpan balik bagi karyawan terkait “seberapa jauh” kinerjanya memenuhi target yang telah ditetapkan ? |
4 | Sistem Imbalan (Reward Sistem) |
· Apa kriteria yang digunakan untuk memilih sistem imbalan yang digunakan ? · Apa saja bentuk imbalan finansial/non finansial yang diaplikasikan untuk meningkatkan perilaku positip karyawan ? |
5 | Desain Organisasi (Organizational Design) | · Apa bentuk organisasi yang dipilih, berapa level (layer), bagaimana peran dan tanggung jawab, akuntabilitas karyawan ? · Bagaimana sistem tata kelola ditetapkan di dalam organisasi untuk mengalokasikan tanggung jawab dan menjamin akuntabilitas ? · Apa proses yang dilakukan untuk melakukan penilaian ulang desain organisasi secara berkala ? |
6 | Komunikasi (Internal Communicstion) | · Apa saja informasi yang disampaikan kepada karyawan ? · Siapa saja yang terlibat dalam penyampaian informasi dan penerima informasi ? · Bagaimanakah informasi dapat disampaikan secara efektif ? |
Sumber: diadaptasikan dari Ulrich dan Lake (1990)
Watson Wyat (2001) mengembangkan indek SDM (human capital index)
untuk meneliti hubungan antara SDM dan kinerja finansial perusahaan.
Indeks SDM yang dikembangkan oleh Watson Wyat meliputi 6 praktek MSDM:
sistem imbalan dan akuntabilitas, fleksibilitas kerja, rekruitmen,
komunikasi, teknologi yang terkait MSDM dan penggunaan sumber daya
secara efektif dan bijaksana (prudent). Sistem imbalan dan akuntabilitas merujukan pada keselarasan compensation & benefit dan sistem reward
berbasis kinerja. Fleksibilitas di tempat kerja meliputi kepemimpinan
manajemen, kepuasan kerja dan kerja tim. Rekruitmen terkait dengan
praktek-praktek penerimaan pekerja, strategi penerimaan pekerja dan
orientasi karyawan. Komunikasi menekankan pada saluran komunikasi dan
sistem yang ada. Sedangkan teknologi yang terkait MSDM memiliki sasaran
pada peningkatan akurasi, layanan dan efektivitas biaya operasional SDM.
Efektifitas penggunaan sumber daya termasuk di dalamnya praktek
manajemen kinerja, penilaian karyawan menggunakan sistem 360-feedback dan evaluasi karyawan. Menurut Watson Wyat, kelima praktek MSDM tersebut, terkecuali prudent, memiliki pengaruh positip terhadap nilai pasar organisasi (organizational market value). Prudent memiliki hubungan negatif terhadap nilai pasar.
Sebuah studi “best practices” yang dilakukan oleh Cornell
University (1999) menyebutkan ada 6 (enam) praktek terbaik MSDM, yaitu :
pengukuran dan peningkatan kepuasan dan loyalitas karyawan, desain
sistem seleksi dan retension, peningkatan pelatihan dan
pengembangan karyawan, desain sistem remunerasi dan imbalan, desain
strategi penilaian karyawan dan standar kinerja, serta praktek manajemen
keberagaman (diversity management).
Berdasarkan telaah literatur, ukuran-ukuran praktek MSDM dalam
penelitian ini akan digolongkan menjadi 6 (enam) domain, yaitu: (1).
Penempatan SDM (Staffing), (2). Pelatihan dan Pengembangan (Training & Development), (3). Penilaian Kinerja (Performance Appraisal), (4). Sistem Imbalan Kinerja (Performance Rewards), (5). Hubungan Karyawan (Employee Relations) dan (6). Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication).
Keenam domain tersebut selaras dengan kebutuhan dan peran MSDM di dalam
membantu pencapaian bisnis perusahaan, juga memiliki kontribusi nyata
dalam pengembangan ”soft factors” di dalam implementasi TQM
perusahaan (Wilkinson dkk, 1996). MSDM sangat berperan dalam perubahan
budaya organisasi menuju budaya TQM melalui praktek-praktek penempatan
tenaga kerja, rekruitmen, appraisal, pengembangan sistem imbalan,
pelatihan dan orientasi pekerja (Clinton dkk, 2001).
2.2.1 Penempatan Tenaga Kerja (Staffing)
Penempatan tenaga kerja termasuk di dalamnya aktivitas perencanaan (planning & forecasting),
rekruitmen, dan seleksi karyawan. Rekruitmen SDM yang tepat merupakan
fungsi MSDM yang paling penting (Crowley, 1999; Johnson, 2000). Jika
perusahaan merekruit seseorang yang tepat pada saat pertama (first time right),
maka perusahaan dapat memperkecil biaya, waktu dan upaya
pengembangan-nya. SDM yang berkualitas bukan sekedar memenuhi kebutuhan
ketika direkruit, tetapi dia harus mampu meningkatkan kapabilitas
dirinya secara terus menerus seiring dengan kebutuhan dan tantangan
perusahaan. Memilihi SDM yang tepat sesuai kebutuhan perusahaan akan
berdampak pada penurunan keluar masuknya tenaga kerja (labor turn over)
yang pada gilirannya akan meningkatkan retensi karyawan yang
berkualitas. Lebih lanjut dapat ditegaskan bahwa praktek-praktek
penempatan tenaga kerja akan mampu meningkatkan kinerja finansial, hasil
ini secara otomatis akan meningkatkan kinerja orgnisasi secara
keseluruhan (Tepstra dan Rozell, 1993). Sebagai contoh, Southwest
Airlines, perusahaan penerbangan ini meyakini bahwa penerimaan SDM yang
berkualitas adalah kunci sukses perusahaannya (Czaplewski, Ferguson,
& Milliman, 2001), pertanyaannya adalah seberapa jauh perusahaan
dapat mencari dan mengidentifikasi kandidat pelamar benar-benar tepat
dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Suksesnya penempatan tenaga
kerja dimulai dengan perencanaan tenaga kerja yang akurat. Perencanaan
tenaga kerja mempertimbangkan kebutuhan mendatang terkait penawaran dan
pemintaan (supply & demand). Perencanaan tenaga kerja juga meruapakan kunci utama pengambilan keputusan untuk menentukan standar SDM (core talents)
yang akan direkruit. Standar SDM inilah yang menjadikan Southwest
Airlines menetapkan minimal potensial yang harus dimiliki seoarang calon
karyawan yang akan memberikan kontribusi bagi kesuksesan organisasi
(Czaplewski, Ferguson, & Milliman, 2001).
Penempatan tenaga kerja untuk mengisi posisi kosong di dalam struktur
organisasi dapat dilakukan melalui sumber internal maupun eksternal.
Rekruitmen internal memiliki keuntungan berupa efisiensi biaya dan
meningkatkan motivasi serta moral karyawan berupa apresiasi atas hasil
kerja, hal ini dilakukan baik secara mutasi (horisontal) maupun promosi
(vertikal). Teori Hygiene (Herzberg, 1966) menjelaskan
bahwa internal rekruitment merupakan penghargaan atas kinerja yang baik
dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk kemajuan dan
perkembangannya. Herzberg (1966) menyebutkan bahwa pemenuhan kebutuhan
ini merupakan penghargaan bagi karyawan sehingga dapat menghasilkan
kepuasan kerja, hal ini selaras dengan pernyataan “pekerja yang bahagia
akan berkinerja lebih baik dibandingkan pekerja yang kurang bahagia”
(Brayfield & Crockett, 1955; Iaffaldano & Muchinsky, 1985;
Judge, Bono, Thoresen, & Patton, 2001). Namun demikian, rekruitmen
internal memiliki beberapa kelemahan (Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy,
2001), diantaranya menghasilkan organisasi yang lebih “tertutup” dan
kecenderungan kandidat internal yang umumnya memiliki perspektif bisnis
dan kemampuan manajemen yang terbatas. Rekruitmen internal juga
berimplikasi pada investasi pelatihan dan pengembangan yang lebih
intensif selain itu dapat berdampak pada problema politis diantara
pekerja (political infighting). Menurut Saratoga Institute Report
(2001), disebutkan bahwa kandidat sumber internal berimplikasi pada
ekstra biaya yang lebih besar yang dapat berimplikasi pada penurunan
profit.
Alternatif selain rekruitmen internal adalah melakukan rekruitmen
kandidat yang memiliki potensi dari eksternal. Rekruitmen eksternal
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan rekruitmen internal (Gomez
Meijia dkk, 2001). Kandidat dari eksternal lebih sering membawa ide-ide
baru dan keunikan tersendiri (talent), memberikan “darah segar”, dan membantu pemenuhan praktek kesetaraan di tempat kerja (equal employment opportunity).
Hal yang patut dipertimbangkan adalah rekruitmen secara eksternal akan
dapat menyebabkan permasalahan bagi kandidat internal bilamana akhirnya
yang terpilih justru kandidat eksternal, situasi ini mengakibatkan
kekecewaan bagi kandidat internal dan akan menyalahkan manajemen bila
terbukti kegagalan dalam pengisian posisi.
Pada saat perusahaan melakukan identifikasi jenis SDM yang dibutuhkan
dan melakukan seleksi kandidat yang memiliki prospek, maka diperlukan
metoda untuk memilih seorang kandidat lebih cocok dibandingkan kandidat
pelamar lainnya. Gomez-Meija dkk (2001), merekomendasikan 11 (sebelas)
alat yang dapat digunakan sebagai prediktor kinerja seorang kandidat,
yaitu : surat rekomendasi, formulir aplikasi, tes keterampilan teknis (ability), tes personality, tes psikologi, wawancara, assessment center, tes kecanduan narkoba (drug test), tes kejujuran (honesty test), cek referensi, dan tes tulisan tangan (graphology). Secara umum, sebagian besar yang digunakan oleh perusahaan untuk melakukan screening
adalah wawancara, cek data pribadi, cek referensi dan rekomendasi,
Yancey (2000). Interview terstruktur mampu memberikan prediksi kinerja
yang lebih valid dan paling banyak digunakan di berbagai organisasi
perusahaan (Moscoso, 2000; Salgado, 1999). Namun demikian dalam tes awal
biasanya dilakukan tes keterampilan, tes personality, dan tes
psikologi karena dinilai memiliki prediksi kinerja yang cukup baik. Tes
psikologi adalah teknik pengukuran potensi kandidat, kesesuaian antara
potensi kandidat dan pekerjaan yang akan di-isi (Venne, 1987). Setelah
perang dunia kedua, pemakaian alat tes psikologi di berbagai industri
dan organisasi menjadi penting dalam rekruitmen di Amerika hingga tahun
1960-an (Berger & Ghei, 1995). Pemakaian alat tes ini kemudian
berkurang setelah dikeluarkannya Civil Rights Act 1964, pada Bab
VII yang membahas kesetaraan kerja (EEO). Penurunan penggunaan alat tes
psikologi mengingat munculya praktek diskriminasi dan pemakaian alat tes
yang tidak digunakan secara tepat pada waktu itu. Akan tetapi saat ini
perkembangan penggunaan alat tes ini sudah sedemikian pesat, McHenry
(1997) dalam penelitiannya menemukan pemakaian alat tes psikologi tumbuh
hingga 65% dari tahun 1980 hingga 1990. Sedangkan menurut SHRM (Society
for HRM), sekitar 22% perusahaan di Amerika mempergunakan tes psikologi
untuk menyeleksi kandidat posisi managerial (Ciarmello, 1998).
Sedangkan Shaffer & Schmidt (1999) mengindikasikan 40% dari Top 100
Companies mengaplikasikan tes psikologi untuk seleksi karyawan.
Dalam studi yang dilakukan Cho & Woods’ (2000), menunjukan bahwa
tes psikologi sangat efektif sebagai alat seleksi untuk menentukan
kandidat yang tepat bagi organisasi. Tentunya apa yang ditemukan oleh
Cho & Woods’ bukannya tanpa alasan, Terpstra dan Rozell (1993)
meneliti hubungan praktek penempatan tenaga kerja terhadap laba tahunan,
pertumbahan laba, pertumbuhan penjualan dan kinerja organisasi
keseluruhan. Hasilnya menujukan hubungan yang sangat signifikan praktek
penempatan tenaga kerja terhadap kinerja organisasi. Implementasi TQM
membutuhan penempatan personalia yang kompeten baik secara individu
maupun tim, oleh karena itu sebelum inisiatif-inisiatif di dalam TQM
dilaksanakan – peran MSDM menjadi penting di dalam memetakan potensi
pekerja sesuai dengan kebutuhan tim TQM. Kesalahan dalam penempatan
personalia akan dapat mengakibatkan kegagalan implementasi TQM yang pada
gilirannya akan dapat menyebabkan kegagalan organisasi.
2.2.2. Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development)
Swanson (1995) mendefinisikan pelatihan dan pengembangan sebagai
“sebuah proses yang secara sistematis mengembangkan keahlian individual
yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja”. Organisasi perusahaan secara
stratejik mengimplementasikan program pelatihan dan pengembangan untuk
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pekerja sesuai kebutuhan saat
ini ataupun mempersiapkan SDM perusahaan untuk menghadapi tuntutan kerja
mendatang. Pelatihan dan pengembangan dimulai dengan identifikasi
kebutuhan training dan evaluasi atas hasil pelatihan yang telah
dilakukan.
Analisis kebutuhan pelatihan adalah “proses menentukan kebutuhan
pelatihan organisasi yang bertujuan untuk menjawab apakah kebutuhan
organisasi, tujuan organisasi, dan masalah organisasi dapat diselesaikan
melalui pelatihan” (Arthur & Bennett, 2003). Dengan demikian
pengukuran kebutuhan pelatihan (needs assessment) adalah sebuah proses identifikasi “kesenjangan (gap) antara kinerja optimal dan kinerja aktual” (Breiter & Woods, 1997).
Pengukuran kebutuhan training merupakan langkah awal yang sangat
penting bagi pelaksanaan pelatihan (Breiter & Woods, 1997) dan dapat
mempengaruhi secara signifikan suksesnya sebuah pelatihan dan
pengembangan (Goldstein & Ford, 2002; Sleerzer, 1993; Zemke, 1994).
Disamping hal tersebut, pada kenyataannya masih sedikit perusahaan yang
mengukur kebutuhan pelatihan untuk desain dan pengembangan program
pelatihan (Breiter & Woods, 1997). Masih sedikit penelitian yang
menguji hubungan pengukuran kebutuhan training (needs assessment) terhadap hasil-hasil pelatihan yang dijalankan.
Apabila profil pekerjaan dan SDM yang akan di training
teridentifikasi, selanjutnya program pelatihan dikembangkan dan
dilaksanakan. Berikutnya setelah program pelatihan dan pengembangan
selesai dilakukan maka efektivitas-nya harus di ukur. Merujuk pada
sebuah studi, perusahaan di industri jasa membelanjakan biaya pelatihan
rata-rata USD 837 per karyawan pertahun pada tahun 2002
(“Training expenses”, 2002). Berdasarkan perkiraan ini, belanja
pelatihan untuk 100 karyawan diperkirakan USD 83,700 per tahun. Biaya
investasi pelatihan ini belum termasuk hilangnya jam kerja dan
produktivitas. Oleh karena itu sangat dibutuhkan praktek manajemen untuk
menghitung tingkat pengembalian pelatihan dan pengembangan (ROI on Training) bagi organisasi untuk meningkatkan profitnya.
Kirkpatrick (1956) merekomendasikan 4 (empat) level dalam mengukur
efektivitas pelatihan. Empat level tersebut adalah mengukur reaksinya (reaction), pembelajaran (learning), perilaku (behavior) dan hasil (result). Pada pengukuran efektivitas pelatihan level reaksi, yang dikur adalah persepsi peserta pelatihan terkait “like & dislike”
dari program pelatihan pelatihan yang di-ikuti. Pada tahap ini akan
diperoleh informasi sebatas program pelatihan yang dilakukan, sedangkan
ROI belum dapat di-ukur, atau dengan kata lain mengukur reaksi peserta
pelatihan tidak mengungkapkan seberapa besar efektivitas pelatihan
berkontribusi pada peningkatan nilai organisasi (organization’s value).
Menurut Arthur dan Bennett (2003), evaluasi pelatihan pada level reaksi
tidak menunjukan hubungan antara pelatihan dan efektivitasnya, namun
pada kenyataannya paling banyak digunakan sebagai metoda evaluasi
pelatihan. Pada penelitian yang lain (Van Buren & Erskine, 2002
dalam Arthur & Benett, 2003) – sebuah riset meta analysis yang dilakukan Van Buren &
Erskine (2002) terkait desain dan evaluasi pelatihan di
perusahaan-perusahaan di Amerika Utara diperoleh data sesuai Tabel 2.3.
dibawah.
Tabel 2.3 Evaluasi Pelatihan Model Kirkpatrick
No | Tahap Evaluasi | Jumlah Perusahaan (%) |
1. | Reaksi (Reaction) | 78 |
2. | Pembelajaran (Learning) | 32 |
3. | Perilaku (Behavioral) | 9 |
4. | Hasil (Result) | 7 |
Sumber : Van Buren & Erskine, 2002 dalam Arthur & Benett, 2003
Pengukuran efektivitas pelatihan level kedua adalah menilai
hasil-hasil pembelajaran dari pelatihan yang dilakukan. Pada tahap ini
di-ukur seberapa besar peningkatan pengetahuan, keterampilan sebelum dan
sesudah pelatihan. Metoda ini dilakukan secara sederhana dengan
melakukan pre-test dan post-test. Hasil-hasil pembelajaran
yang diperoleh sangat dibutuhkan tetapi tidak menjamin “aplikasi
pengetahuan yang diperoleh” (Tannenbaum & Yukl, 1992).
Level ketiga evaluasi pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur
perilaku, melihat efeknya terhadap kinerja (Arthur & Benett, 2003).
Pengukuran perilaku dilakukan dengan cara mengevaluasi perubahan
perilaku kerja terkait dengan sebelum dan sesudah pelatihan. Meskipun
pembelajaran dan perubahan perilaku belum secara langsung memberikan
efek finansial, akan tetapi peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap
perilaku akan di-ikuti kinerja individu dan organisasi. Garavan (1997)
menemukan peningkatan yang sangat signifikan dalam kualitas layanan
pelanggan setelah pelatihan dilakukan pada sebuah perusahaan jasa.
Level keempat efektivitas pelatihan model Kirkpatrick adalah mengukur
seberapa jauh pelatihan dan pengembangan berpengaruh bagi pencapaian
sasaran organisasi. Pengukuran level 1-2-3 lebih berfokus pada skala
individual sedangkan level ke-empat lebih menekankan pada level
organisasional, misalnya ROTI (Return on Training Investment).
Pada level ini, biaya dan keuntungan yang dihasilkan dari pelatihan dan
pengembangan di-bandingkan, ROTI yang positip bila keuntungan (benefit)
lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan.
Teori self-efficacy sudah sering digunakan untuk menjelaskan hubungan positif antara pelatihan dan pengembangan terhadap kesuksesan organisasi. Self efficacy merujuk
pada “keyakinan pada kapabilitas seseorang dalam menjalankan tugas
khusus” (Bandura, 1986; dan Saks, 1996). Para pakar teori pembelajaran
sosial (Bandura, 1982, 1989; Zimmerman, Bandura, & Martinez-Pons,
1992) menyatakan bahwa kepercayaan yang ada dalam diri manusia
mempengaruhi perilaku, aktivitas, usaha, pembelajaran dan kinerjanya
(Omrod, 1999). Di dalam teori self-efficacy menjelaskan seseorang yang memiliki self-efficacy
yang tinggi senaniasa menetapkan target yang realistis, sukar dicapai
namun dia tetap mencoba untuk meraihnya. Sebaliknya seseorang dengan self-efficacy
yang rendah cenderung enggan dalam mendorong dirinya untuk pencapaian
hasil yang maksimal. Penelitian menunjukan bahwa pelatihan dapat
meningkatkan self-efficacy karyawan yang pada akhirnya akan
bermuara pada kinerja (Gist, Stevens, & Bavetta, 1991; Martocchio,
1994). Tannenbaum, Mathieu, Salas, dan Cannon-Bowers (1991) dalam
penenelitiannya menemukan peningkatan kinerja yang signifikan setelah
selesai pelatihan. Tannenbaum dkk (1991) juga menemukan bahwa perilaku
peserta pelatihan (post training attitude) dan kinerjanya memiliki keterkaitan yang sangat signifikan terhadap kadar self-efficacy peserta pelatihan.
Sejumlah studi menegaskan bahwa pelatihan dan pengembangan memegang
peranan kunci di dalam pegembangan dan mempertahankan keunggulan
kompetitif (Barret & O’Connel, 2001; Cho dkk, 2001; Saks, 1996).
Pelatihan dan pengembangan memiliki peran signifikan secara langsung
pada retensi karyawan (Panitz, 1999) dan secara signikan berpengaruh
tidak langsung pada komitmen organisasi (Roel & Swerdlow, 1999).
Saks (1996) menemukan keterkaitan pelatihan memiliki keterkaitan yang
signikan bagi sikap perilaku karyawan baru (newcomers), misalnya keinginan untuk keluar (intention to quit), komitmen dan kepuasan kerja. Bahkan menurut Barret dan O’Connel (2001) lamanya training days meningkatkan produkstivitas pekerja. Sedangkan menurut Choe dkk (2001) pelatihan juga berpengaruh signifikan terhadap “turn over”,
misalnya saja perusahaan yang membelanjakan pelatihan 218 USD per
karyawan/tahun memiliki TO 16%, sedangkan perusahaan yang membelanjakan
273 USD memiliki TO kurang dari 7%.
Terkait dengan pengaruh positif pelatihan dan pengembangan terhadap
kinerja organisasi, semakin banyak perusahaan yang menempatkan
pentingnya pelatihan dan pengambangan SDM untuk mempertahankan
keunggulan bersaing, melalui peningkatan keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability). Pada tahun 2000, menurut Industry Report (2000), diperkirakan total belanja SDM (Training & Development)
perusahaan-perusahaan Amerika yang memiliki karyawan 100 orang atau
lebih sebesar 54 milyar USD per tahun. Sementara itu ASTD (American Society of Training and Development) menyampaikan rekomendasi anggaran pelatihan dan pengembangan SDM paling tidak 2,5%
dari biaya upah pekerja (Kimmerling, 1993). Alasan sedikitnya belanja
pelatihan dan pengembangan SDM mengingat pengukuran ROTI-nya tidak mudah
dan tidak dirasakan langsung oleh perusahaan. Selain itu banyak studi
menunjukan riset di bidang pelatihan dan pengembangan justru berfokus
pada alat dan teknik pelatihan yang digunakan, kurang meneliti pada
pengaruhnya bagi ROTI bagi individu maupun organisasi (Harris, 1997;
Harris & Bonn, 2000; Harris & Cannon, 1994). Di dalam
implementasi TQM, ROTI menjadi faktor utama yang harus diukur – sehingga
pelaksanaan training harus berfokus pada ”losses” yang terkait dengan
kompetensi dan metode kerja. Sehingga kesulitan dan keterbatasn sebagian
besar organisasi perusahaan dalam mengukur ROTI dapat dipecahkan bila
kebutuhan raining benar-benar terkait dengan reduksi ”losses” yang dapat
didefinisikan sebagai ”cost”.
2.2.3. Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
Penilaian kinerja memiliki fokus pada upaya identifikasi, pengukuran,
evaluasi dan peningkatan kierja karyawan. Mathis & Jackson (2003,
p.342) mendefinisikan penilaian kinerja sebagai “sebuah proses evaluasi
seberapa jauh karyawan mencapai kinerja dengan dibandingkan standar yang
telah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada karyawan yang dinilai”.
Menurut Cleveland, Murphy, dan Williams (1989), penggunaan penilaian kinerja dapat dikelompokan menjadi 4 hal, yaitu :
- Antar individu (between individual), misalnya sebagai administrasi pengupahan, promosi dan identifikasi karyawan yang berkinerja rendah).
- Dalam individu (within individual), misalnya untuk identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, identifikasi kebutuhan pelatihan individu dan umpan balik bagi pekerja.
- Pemeliharaan sistem (system maintenance), misalnya untuk identifikasi kebutuhan training organisasi, evaluasi pencapaian target dan sasaran organisasi, serta membantu identifikasi sasaran organisasi.
- Dokumentasi, misalnya untuk dokumentasi keputusan personalia, penyediaan aspek legal personalia maupun validasi riset-riset yang terkait karyawan.
Sementara itu, Thomas dan Bretz’s (1994), mengemukakan 3 (tiga) hal
penggunaan penilaian kinerja, yaitu untuk peningkatan kinerja,
administrasi kenaikan upah dan umpan balik bagi pekerja dan perusahaan.
Riset yang dilakukan oleh Shah & Murphy (1995), Smith, Hornsby &
Shirmeyer (1996) juga memberikan gambaran praktek penilaian kinerja
mampu meningkatkan kinerja karyawan. Sedangkan Wood, Sciarini dan
Breiter (1998) dalam risetnya menemukan beberapa penggunaan penilaian
kinerja oleh perusahaan, diantaranya untuk keputusan kompensasi (86,4%),
penetapan sasaran pekerja (78%), analisa kebutuhan training (73%) dan
promosi (65%). Studi ini juga menemukan bahwa 95% perusahaan yang
diteliti memiliki persepsi bahwa penilaian kinerja sangat penting bagi
suksesnya pencapaian bisnis perusahaan, namun sebaliknya riset yang
dilakukan Shah dan Murphy (1995) justru menemukan 36% organisasi yang
berpartisipasi dan dijadikan responden penelitian menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki prosedur standar penilaian kinerja.
Efektivitas sebuah penilaian kinerja harus diukur dan mampu mendorong
pencapaian strategi bisnis perusahaan. Bretz, Milkovich dan Read (1992)
menemukan fenomena pada perusahaan-perusahaan yang sudah maju
menghabiskan waktu 7 jam bagi setiap karyawan eksekutif untuk mengukur
kinerja yang telah dicapainya dan 3 jam bagi setiap karyawan pada level
yang dibawahnya. Sementra itu Longenecker (1992 p.21) menemukan 3 (tiga)
alasan mendasar ketidak-efektifan penilaian kinerja dari perspektif
manajemen, yaitu :
- Kurangnya informasi kinerja aktual /data catatan kinerja karyawan.
- Umpan balik yang buruk dari pihak karyawan yang menyangkut upaya pembelaan diri dan terkait tingkah laku negatif (bad attitude).
- Persiapan waktu yang tidak cukup / minim.
Sebaliknya dari perspektif pekerja ditemukan alasan ketidak-efektifan
penilaian kinerja diakibatkan “proses yang dijalankan oleh manajer
tidak dilakukan secara serius, standar ukuran yang tidak jelas dan
terlalu subyektif, dan kurangnya informasi kinerja karyawan secara
lengkap”.
Sebagian besar perusahaan meyediakan waktu khusus bagi pelaksanaan review
dan umpan balik kinerja sebagai bagian dari proses penilaian kinerja.
Dorfman, Stephan dan Loveland (1986) menunjukan adanya waktu khusus
untuk review dan umpan balik kinerja mampu meningkatkan kepuasan
dan motivasi karyawan secara keseluruhan, lebih tegas lagi dalam
penelitian lainnya ditemukan bukti bahwa umpan balik kinerja karyawan
mampu meningkatkan kinerjanya (Kluger & DeNisi, 1996; London, Larsen
& Thisted, 1999). Namun demikian menurut riset yang dilakukan
Kluger dan DeNisi (1996), terdapat 33% literatur yang mereka review
yang mengindikasikan adanya umpan balik justru berakibat pada
penunurunan kinerja karyawan yang dinilai. Mereka merekomendasikan agar
umpan balik harus diberikan dengan cara yang konstruktif untuk
meningkatkan kinerja karyawan.
Mathis dan Jackson (2003) menyatakan bahwa penilaian kinerja
merupakan proses manajerial dalam evaluasi kinerja karyawan dibandingkan
dengan standar kinerja yang sudah disepakati sebelumnya antara pekerja
dan pimpinannya. Sasaran yang ditetapkan sebelumnya akan dijadikan
sumber motivasi dan “anchor” dalam proses pencapaian sasaran pada periode yang telah disepakati. Teori penetapan sasaran (goal setting theory) menjelaskan hal ini sebagai gambaran hubungan positip antara penilaian kinerja dan kinerja pekerjaan (job performance), dalam teori ini perilaku di pengaruhi oleh sasaran (goals)
yang spesifik, sulit tetapi dapat di raih. Sejumlah studi telah
menunjukan sasaran yang spesifik dan sulit, namun dapat diraih (achievable goals)
mampu meningkatkan produktivitas karyawan secara signifikan (Latham
& Saari 1982; Locke & Latham 1994, 2002). Terpstra dan Rozell
(1994), melakukan studi antara teori penetapan sasaran dan
profitabilitas organisasi, hasilnya medukung hipotesis perusahaan
–perusahaan yang menetapkan sasaran berdasarkan goal setting theory
untuk meningkatkan kinerja karyawannya ternyata memiliki profitabilitas
yang lebih tinggi. Sebaliknya Locke dan Latham (1990) membantah hal ini
dan menyatakan tidak adanya pengaruh terhadap kinerja bila memang
penetapan sasaran tidak dilakukan, justru yang paling penting adalah
umpan balik dari atasan yang konstruktif dan cerdas akan mampu merubah
perilaku dan meningkatkan kinerja karyawan. TQM sangat membantu di dalam
pendefinisian target baik secara individu maupun tim, model manajemen
kinerja yang berbasis pada prioritas-prioritas KPI (Key Performance Indicator). Sistem kontrol dan pelaporan di dalam TQM akan memudahkan para pimpinan dan bawahan untuk memonitor pencapaian prioritas KPI.
2.2.4. Penghargaan Kinerja (Performance Reward)
Penghargaan kinerja bertujuan untuk peningkatan kinerja karyawan dan
penghargaan atas kontribusi terbaik yang diberikan individu karyawan.
Sistem penghargaan kinerja di desain untuk memotivasi pekerja, moral,
komitmen, produktivitas dan kerja tim. Penghargaan yang diberikan
organisasi atas kontribusi kinerja karyawan dapat diberikan secara
finansial (monetary incentive) maupun non finansial (non-monetary reward). Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 1995 menunjukan bahwa perusahaan yang tergolong dalam Fortune 1000 menggunakan monetary reward plan (Lawler & Mohrman, 1995). Penelitian yang dilakukan Luthans & Stajkovic (1999) dengan menggunakan meta-analytic study
mengindikasikan penghargaan finansial dapat meningkatkan kinerja
karyawan sebesar 39% di industri manufaktur dan 14% di industri jasa.
Sementara itu penghargaan non-finansial (social attention & recognition)
berpengaruh 15% pada peningkatan kinerja di industri jasa. Banker,
Potter dan Srinivasan (2000) melakukan studi longitudinal untuk melihat
efektivitas incentive plan pada industri jasa, hasil studi menunjukan incentive plan memiliki pengaruh positif bagi peningkatan laba (revenue & profitability) dan menurukan biaya (cost).
Sebaliknya penelitian yang dilakukan Medoff dan Abraham (1980)
menunjukan insentif finansial tidak memiliki pengaruh yang kuat bagi
kinerja karyawan, tidak sebagaimana sistem penghargaan yang terkait
dengan kenaikan upah.
Program-program pengupahan berbasis kinerja seperti halnya program
penyesuaian upah berdasarkan kinerja di desain untuk memberikan
penghargaan bagi karyawan secara finansial (monetary terms) atas
kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Menurut Lawler (1987,
p.255) sistem penghargaan bagi pekerja merupakan topik yang paling
sering dibahas dalam manajemen sumber daya manusia. Sehingga dapat
dikatakan sistem penghargaan (reward system) yang efektif
merupakan tulang punggung dari praktek dan kebijakan SDM (Loery, Petty
& Thompson, 1995). Penelitian yang telah dilakukan menunjukan hasil
yang berbeda-beda terkait dengan pengupahan berbasis kinerja. Lowery,
Petty dan Thompson (1995) dalam studinya menemukan bahwa incentive plan memiliki
pengaruh positip bagi peningkatan perilaku kerja karyawan namun tidak
memberikan efek pada produktivitas dan kualitas kerja. Heneman (1992)
dalam studinya menunjukan adanya keterkaitan antara rencana pemberian
insentif finansial dengan kinerja dan motivasi karyawan. Di dalam
penelitian lain ditemukan bukti perusahaan yang berkinerja lebih baik
memberikan penghargaan yang lebih dibandingkan dengan perusahaan
berkinerja dibawahnya (Marler, Milkovich dan Yanadori, 2002).
Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan pemberian insentif
yang lebih tinggi tidak secara otomatis dibarengi dengan peningkatan
kinerja perusahaan menjadi lebih baik, akan tetapi di sisi lain
perusahaan-perusahaan yang berkinerja lebih baik biasanya memberikan
insentif yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan perusahaan
yang memiliki kinerja lebih baik justru memberikan insentif yang lebih
sedikit bagi pekerjanya, pada level yang lebih rendah dalam liga
pengupahan perusahaan yang dimasukinya.
Pengupahan berbasis kinerja diklasifikan dalam dua kategori, yaitu pada level individu dan pada level tim.
Pada level individual termasuk didalamnya insentip produktivitas, upah
jam kerja, kenaikan upah, bonus maupun komisi yang mengacu pada kinerja
individual. Sedangkan pada level tim misalnya cost-saving plan, profit-sharing plan, dan kepemilikan saham (stock ownership) yang diberikan berdasarkan kinerja tim. Program insentip berbasis tim seperti halnya profit sharing dan stock ownership
telah menjadi perhatian utama banyak organisasi disamping karena memang
praktek ini dirasakan lebih fair dan memperkecil budaya individualisme
di dalam organisasi (Baker, Jensen, dan Murphy, 1988). Beberapa riset
menyatakan sebagian besar karyawan lebih menyukai pengupahan berbasis
individual dibandingkan tim (Cable & Judge, 1994), namun demikian
studi yang lain justru menyimpulkan adanya pengaruh yang kuat dalam
pengupahan berbasis tim terhadap kinerja perusahaan (Ehrenberg &
Milkovich, 1987; Gerhart & Milkovich, 1990; Welbourne & Andrews,
1996). Penelitian yang dilakukan Gerhart dan Milkovich (1990)
melaporkan perusahaan yang memberikan 80% stock options kepada manajernya ternyata memiliki ROA (returns on assets) 25% lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang memberikan stock options sebesar
20%. Welbourne dan Andrews (1996) menemukan adanya fenomena
perusahaan-perusahaan baru yang memiliki tingkat survival yang lebih
tinggi ketika semakin banyak karyawan yang menerima pengupahan
berdasarkan kinerja organisasional. Pada tulisan lainnya, Cooke (1994,
p. 598) menegaskan pemikiran logika pengupahan secara tim, dimana jika
karyawan memperoleh pendapatan berdasarkan kinerja tim, mereka akan
berusaha lebih maksimal. Bonus yang diberikan pun didasarkan pada upaya
keseluruhan, insentif diberikan atas kerjasama yang dilakukan. Pola
tersebut sering disebut sebagai group based incentives, dan dengan logika ini fungsi kontrol supervisor dapat berkurang.
Teori perilaku organisasi telah banyak menjelaskan permasalahan efektivitas penghargaan kinerja. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (1943) dan Teori Dua Faktor Herzberg (Two Factors Theory,
Herzberg, 1966) paling sering dijadikan dasar untuk menjelaskan
pengaruh penghargaan kinerja pada kinerja organisasi. Menurut Teori
Maslow (1943), manusia memiliki lima tingkatan hirarki kebutuhan, yaitu :
fisiologi, keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, harga diri (self-esteem),
dan aktualisasi diri. Berdasarkan teori ini, kebutuhan yang lebih
tinggi tidak akan terpenuhi sebelum kebutuhan yang lebih rendah
terpuaskan. Ketika kebutuhan fisiologi, keselamatan dan keamanan serta
kebutuhan sosial terpenuhi di tempat kerja, setiap karyawan akan
berusaha memenuhi kebutuhan harga dirinya (self-esteem).
Kebutuhan harga diri merujuk pada kepuasan terhadap diri sendiri,
perasaan berharga, atau keinginan untuk berprestasi. Pemenuhan harga
diri dapat dicapai jika seseorang merasa puas dengan kemampuan yang
dimiliki, orang lain menghargai atas kemampuan dan prestasi yang
dimilikinya. Penghargaan kinerja merupakan salah satu cara yang efektif
untuk memenuhi kebutuhan self-esteem karyawan. Karyawan akan
merasa dihargai melalui praktek promosi, penerimaan insentip, atau
penghargaan non material lainnya seperti penghargaan karyawan
berprestasi dan pemberian liburan ekstra.
Konsep yang disampaikan oleh Herzberg (1966), yaitu two factors menjelaskan perilaku manusia di tempat kerja yang disebut sebagai faktor hygiene dan motivator. Faktor hygiene
tidak mengakibatkan kepuasan karyawan dengan pekerjaannya secara
langsung, akan tetapi karyawan akan merasa kurang puas bila faktor hygiene berkurang
atau tidak ada, misalnya kebijakan perusahaan tentang struktur
pengupahan, hubungan dengan rekan sekerja, kehidupan pribadi, status
pekerjaan (job status), dan keamanan kerja (job security). Faktor hygiene sering
disebut sebagai penghargaan ekstrinsik karena bersumber dari perusahaan
dan lingkungan kerja bukan berasal dari internal pekerja. Faktor kedua
disebut sebagai motivator, faktor yang dapat memuaskan karyawan
dengan pekerjaan dan memacu motivasi untuk berkinerja yang lebih baik.
Motivator disebut sebagai faktor intrinsik dimana perasaan terpuaskan
dan motivasi yang kuat ditimbulkan dari internal pekerja. Faktor hygiene tidak
menjamin kepuasaan karyawan dan motivasi, akan tetapi dibutuhkan secara
mutlak untuk memelihara karyawan untuk tetap bekerja dengan baik.
Apabila beberpa faktor hygiene diabaikan maka akan memunculkan
ketidakpuasan, karyawan akan mempertimbangkan untuk keluar dan
memungkinkan produktivitasnya menurun. Di dalam implementasi TQM, faktor
motivasi pekerja menjadi sasaran utama dan prasarat mutlak dan menjadi
prioritas awal sebelum, selama proses implementasi. Pengkondisian
organisasi termasuk didalamnya – menghubungkan sistem kompensasi dan
penghargaan kinerja yang mendorong pencapaian kinerja bisnis melalui tools TQM.
2.2.5. Kekaryawanan – Hubungan Industrial (Employee Relations)
Hubungan industrial atau kekaryawanan adalah sebuah sistem yang
menyediakan perlakukan adil dan konsisten bagi karyawan sehingga
menjadikannya memiliki komitmen kepada organisasi (Gomez-Meija dkk,
2001). Para pekerja memiliki cara untuk menyelesaikan masalah, konflik
mapun perlakukan yang kurang adil (unfair treatment) di tempat kerja melalui serikat pekerja (unions).
Peningkatan partisipasi pekerja di dalam pengelolaan organisasi akan
mengakibatkan kepuaan kerja yang lebih tinggi dan juga motivasi kerja
yang lebih baik, sehingga pada gilirannya meningkatkan kualitas produk
serta kinerja karyawan (Gittell, Nordenflycht, dan Kochan 2004; Hammer
dan Stern 1986). Di Amerika terjadi kecenderungan menurunnya jumlah
serikat pekerja di dalam perusahaan, hal ini terkait dengan aplikasi
undang-undang kesetaraan pekerja (Equal Employment Opportunity Laws)
sehingga semakin banyak perusahaan yang berfokus pada pengembangan
program kekaryawanan misalnya mekanisme penyelesaian komplain, program
peningkatan partisipasi pekerja dan survey perilaku pekerja yang secara
rutin dilakukan untuk meningkatkan dan memelihara kepuasan kerja serta
produktivitas organisasi.
Proses penyelesaian komplain secara formal ataupun sistem penanganan
keluhan menjadi demikian penting untuk meningkatkan kepercayaan pekerja
kepada manajemen (Fryxell & Gordon, 1991). Para pekerja meyakini
keadilan di tempat kerja akan memiliki pengaruh positip bagi kinerja
organisasional (Colquitt, Wesson, Porter, Conlon, dan Ng, 1986; Fryxell
dan Gordon, 1991). Penelitian yang dilakukan Colquitt dkk (1986)
menemukan keyakinan pekerja terhadap praktek ketenagakerjaan yang adil
mempengaruhi perilaku karyawan seperti halnya komitmen organisasi,
loyalitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan. Fryxell dan Gordon
(1989) meneliti pengaruh keadilan di tempat kerja dan kepuasan kerja dan
menemukan pengaruh yang sangat kuat dimana keadilan di tempat kerja
akan mampu meningkatkan kepuasan karyawan terhadap manajemen perusahaan.
Di dalam implementasi TQM, program partisipasi pekerja seperti halnya tim peningkatan kualitas (improvement team), tim pemecahan masalah (problem solving team), dan sistem sumbang saran (suggestion system)
mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Hal tersebut di dasarkan pada
proposisi bahwa para pekerja lini umumnya memiliki informasi dan
pengetahuan yang akurat tentang pekerjaan dibandingkan manajernya
(Levine & Tyson, 1990; Miller & Monge, 1986). Program
partisipasi karyawan juga mampu memuaskan kebutuhan penghargaan diri (self esteem)
melalui pemenuhan imbalan intrinsik, dimana pekerja memiliki suara dan
berpartisipasi terkait tugas dan kerja serta berkontribusi pada
pencapaian kinerja yang optimal (Hammer, 1988; Cooke, 1994). Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, penghargaan-penghargaan intrinsik yang lebih
besar akan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memotivasi karyawan
untuk mencapai sasaran-sasaran kerja (Miller & Monge, 1986; Hammer,
1988) dan pada gilirannya mampu menghasilkan produktivitas kerja yang
lebih tinggi.
Survei perilaku pekerja dilakukan untuk mengukur aspek-aspek yang
disukai maupun yang tidak disukai oleh pekerja terkait dengan
pekerjaannya (Gomez-Mejia, dkk., 2001). Organisasi perusahaan
mengimplementasikan survei perilaku pekerja untuk mendeteksi secara
aktif problem-problem potensial yang mengakibatkan ketidakpuasan kerja
dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja.
Kesselman (1994) berpendapat keuntungan penggunaan survei perilaku
karyawan dengan memberikan contoh secara langsung misalnya survei
perilaku mampu memberikan informasi mendasar bagi perusahaan untuk
membangun ulang jenjang karir bagi para pekerja yang potensial, untuk
mempertajam strategi operasional bisnis, untuk mengimplentasikan
program-program peningkatan keselamatan kerja maupun peningkatan kondisi
kerja, dan juga pengembangan manajemen sumber daya manusia yang
meliputi uraian kerja, sistem penilaian kerja dan sistem penggajian.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan betapa pentingnya survei perilaku
pekerja memiliki pengaruh yang signifikan bagi kinerja perusahaan. Di
dalam TQM, sasaran utama keberhasilan pecapaian target bisnis yang
bersifat jangka panjang adalah suasana hubungan kekaryawanan yang
kondusif, iklim kerja dan sistem organisasi yang memacu produktivitas
serta keadilan di tempat kerja (fairness).
2.2.6. Sistem Komunikasi Internal (Internal Communication Sistem)
Setiap karyawan berusaha untuk meningkatkan diri satu sama lain dan
membina hubungan dengan cara berkomunikasi dan melakukan aktivitasnya
(Duncan& Moriarty, 1998). Menurut Thomson, Chernatony, Arganbright
dan Khan (1999). Terdapat 3 jenis saluran komunikasi yaitu : komunikasi
eksternal (company-customer), komunikasi internal (company-emlpoyee), dan komunikasi interaktif (customer-imployee).
Para peneliti telah menekankan pentingnya komunikasi eksternal yang
efektif yang secara umum terlihat secara positip pada ROI (Return On
Investment) pemasaran. Pada sisi lainnya ada beberapa studi yang
meneliti dan mengeksplorasi pentingnya komunikasi internal. Hal yang
sangat tidak mungkin menciptakan hubungan antara organisasi dan karyawan
tanpa adanya prose komunikasi yang baik (Duncan & Moriarty, 1998).
Komunikasi internal yang efektif dapat dicapai ketika sebuah organisasi
mampu mengkomunikasikan dengan baik tentang visi, misi, produk, proyek,
status kinerja keuangan perusahaan dan lain-lain dengan baik kepada
karyawan. Ada beberapa cara melakukan komunikasi pada pekerja misalnya
berita-berita singkat (newsletter), papan pengumuman, pertemuan
formal, intranet, memo secara formal dan lain lain, Klein (1994)
menyatakan komunikasi secara langsung adalah cara yang paling efektif.
Sedangkan menurut Brewer (1995), pekerja lebih merasakan efektivitas
komunikasi melalui berita-berita singkat (newsletter). Komunikasi
internal yang efektif mampu meningkatkan kepuasan kerja, moral,
komitmen dan sebagai konsekwensinya akan memberikan pengaruh yang lebih
besar bagi kinerja organisasi (Lievens, Monenaert, S’Jegers, 1997;
Sprague & Brocco, 2002). Komunikasi sangat berperan dalam membangun
mobilisasi dan komitmen karyawan dalam implementasi TQM, sehingga dapat
dikatakan salah satu faktor keberhasilan pencapaian kinerja TQM
organisasi adalah fondasi komunikasi internal organisasi yang baik.
2.3. TQM dalam Perspektif Stratejik dan RBV
Organisasi biasanya mengatur praktek SDM dalam sistem yang sesuai
dengan budaya mereka dan strategi bisnis mereka (Osterman, 1987; Block,
Kleiner, Roomkin & Salsburg, 1987). Seperangkat terpadu (bundles)
praktek SDM adalah kombinasi dari praktek-praktek strategi bisnis yang
dikaitkan dengan SDM dan budaya perusahaan, sehingga bukan praktek
secara terpisah, yang akan membentuk pola interaksi antara dan diantara
manajer dan karyawan (Cutcher-Gershenfeld, 1991). Selain itu, dikatakan
bahwa penelitian yang terfokus pada dampak praktek SDM individual pada
kinerja organisasi mungkin menghasilkan bukti empiris yang kurang tepat,
mengingat sebuah praktek tunggal SDM akan dipengaruhi dari sistem SDM
keseluruhan (Ichniowski, Shaw & Prennushi, 1993).
Pendekatan paling baru saat ini adalah yang dikembangkan oleh Paauwe
dan Boselie (2002). Paauwe dan Boselie mencoba mengembangkan konsep yang
lebih sepesifik yang diturunkan dari RBV (resource-based view), yang
disebutnya sebagai Human Resource-based Theory of the Firm. Wright dkk
(1994) dan Paauwe (1994) menyatakan bahwa sumber daya manusia stratejik
memiliki asumsi dan kriteria sesuai dengan teori RBV (resource-based
view), dimana memiliki nilai (value), langka (rare), sukar ditiru
(inimitability) dan tidak tergantikan (non-substitution). Wright dkk
(1994) menyatakan relevansinya penggunaan teori RBV, karena lebih
spesifik dalam menjelaskan manajemen sumber daya manusia stratejik.
Paauwe mengajukan sebuah konsep yang disebutnya sebagai Human
Resource-based Theory of the Firm. Model tersebut berusaha mengakomodasi
elemen-elemen pendekatan kontijensi dan konfigurasional (Delery &
Doty, 1996), institutionalism (Dimagio & Powell, 1983) dan juga
terinspirasi dengan model pendekatan Harvard (Beer dkk, 1984).
Di dalam model Pauwee, Total Quality Management (TQM) merupakan
kebutuhan mutlak dan dapat berperan di dalam mendorong pencapaian
efisiensi, efektivitas, fleksibilitas, kualitas, inovasi dan kecepatan
yang akan mendorong kinerja organisasi unggulan. Dimensi MSDM memiliki
peranan yang sangat penting dalam pencapaian kinerja unggulan TQM dengan
berfokus pada aspek-aspek yang ”soft” (Wilkinson dkk, 1996).
Faktor-faktor yang dominan dan berpengaruh tersebut misalnya:
supervisory styles, sistem kompensasi, keterlibatan karyawan, kerja tim,
sumbang saran, interaksi manajerial dan budaya perusahaan.
Gambar 2.7. TQM dan Praktek MSDM Stratejik
Product/Market/Technology Dimension (PMT) Competitive Mechanism |
Organizational/Administrative/Cultural Heritage Configurational |
Social/Cultural/Legal Dimensions (SCL) Institutional Mechanism |
Room to maneuver :Dominant CoalitionStrategic Choice |
HR Strategies Aimed at resources that are : -valuable -inimitable -rare -and non substitutable |
HRMOT COME S |
P E R F ORMANC E |
Fairenss & Legitimacy with regard to work, time, money, know-how & participation |
Efficiency Effectiveness Flexibility Quality Innovativeness Speed |
TQM |
Sumber : diadaptasikan untuk disertasi ini
Model yang dikembangkan oleh Paauwe mencoba melihat praktek SDM
stratejik dengan melihat faktor dominan yang paling berpengaruh untuk
membentuk strategi-strategi SDM yang berbasis sumber daya yang mampu
menghasilkan kinerja SDM dalam mencapai sasaran bisnis perusahaan.
Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan PMT
(product/market/technology dimension), Konfiguarsi
(organizational/administrative/cultural/heritage) maupun mekanisme
institusional (social/cultural/legal dimensions) akan mempengaruhi
pilihan strategi yang diambil perusahaan. Gambar 2.7 menjelaskan model
yang dikembangkan oleh Paauwe (2002, 1994, 1998). Berdasarkan
konsep-konsep yang telah dibahas, diajukan Proposisi Dua sebagai berikut :
Proposisi Dua Keunggulan Kinerja Berbasis TQM, Strategi Bisnis dan Praktek MSDM |
(2) Kebutuhan Total Quality Management merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing perusahaan dan menjadi pilihan strategi binis perusahaan-perusahaan kelas dunia. Praktek MSDM yang selaras dengan spirit TQM akan dapat menjamin suksesnya manajemen perusahaan menuju keunggulan kinerja berbasis TQM. Praktek MSDM yang sejalan dengan manajemen perubahan akan menjadi titik awal suksesnya impelemtasi TQM |
Proposisi Dua ini disajikan secara piktografis dalam Gambar 2.8 berikut ini.
Gambar 2.8 Proposisi Dua
Sumber : Dikembangkan untuk disertasi ini
2.4 Perspektif Budaya Organisasi
Terdapat pendekatan yang berbeda dalam mempelajari budaya organisasi.
Perdebatan yang paling signifikan pada konsep budaya organisasi adalah
berpusat pada akar keilmuannya. Tradisi antropologi menekankan bahwa
organisasi adalah budaya, sedangkan tradisi sosiologi menyatakan bahwa
organisasi memiliki budaya tertentu. Tradisi antropologi menempatkan
budaya organisasi sebagai variabel dependent, sedangkan tradisi sosiologi memandang budaya organisasi sebagai suatu variabel independent.
Sementara itu selain adanya perbedaan akar keilmuan antropologi dan
sosiologi, di dalam mempelajari budaya organisasi juga telah berkembang
pendekatan perspektif fungsionalis dan perspektif semiotik (Burrell dan
Morgan, 1979; Smircich, 1983; Schein, 1985; Cameron dan Ettington, 1988;
Cameron dan Quinn, 1999; Martin, 2002). Menurut perspektif
fungsionalis, budaya organisasi adalah sebuah komponen sistem sosial
yang dimanifestasikan dalam perilaku organisasi (Cameron dan Ettington,
1988, hal. 358), dimana perilaku tersebut dievaluasi dari sudut pandang
peneliti dan pada tingkatan organisasi. Perspektif semiotik memandang
budaya terletak pada pikiran individu, yang dievaluasi dari perspektif native pada
tingkatan individu (Cameron dan Ettington,1988; Cameron dan Quinn,
1999). Sederhananya pendekatan fungsionalis berasumsi bahwa perbedaan
budaya dapat dikenali, diukur, dan diubah (Cameron dan Quinn, 1999).
Perspektif semiotik berasumsi bahwa budaya adalah suatu gambaran sebuah
organisasi (Morgan, 1986), yang terletak pada persepsi dan penafsiran
individu, digunakan untuk memfasilitasi “pemahaman dan melakukan
komunikasi tentang fenomena organisasi yang kompleks” (Smircich, 1983,
hal. 340).
2.4.1 Perspektif Fungsionalis
Studi yang menempatkan budaya organisasi sebagai variabel, baik variabel independent maupun dependent
biasanya mewakili sudut pandang sosiologi-fungsional (Martin, 2002). Di
dalam perspektif ini, budaya organisasi dipersepsikan sebagai suatu
atribut organisasi, yang dapat di-identifikasi secara empirik, diukur,
dievaluasi, dan diubah, serta termanifestasi didalam perilaku organisasi
(Ouchi, 1981; Reda dan Waterman, 1982; Schein, 1985; Cameron dan
Ettington, 1988; Trice dan Beyer, 1993; Schneider, 1994; Cameron dan
Quinn, 1999; Martin, 2002). Isu yang paling penting bagi para peneliti
yang memanfaatkan pendekatan fungsionalis terkait pemahaman konsep
hubungan sebab akibat (kausalitas). Secara spesifik, para peneliti
fungsionalis berusaha untuk menetapkan suatu mata rantai hubungan
kausalitas terhadap kontrol organisasi, manajemen, dan faktor-faktor
yang dapat meningkatkan kinerja organisasi (Schein, 1996; Martin, 2002).
Baik peneliti yang memandang budaya sebagai suatu variabel independent,
bagian dari lingkungan eksternal yang mempengaruhi perilaku organisasi;
maupun sebagai suatu variabel dependent yang akan "dimanipulasi" untuk
meningkatkan efektivitas organisasi, keduanya memiliki tujuan bersama
yaitu mempelajari hubungan kontijensi yang dapat diaplikasikan dalam
pengelolaan organisasi (Smircich, 1983, hal. 347). Perspektif
fungsionalis biasanya didasarkan pada kerangka teori sistem terbuka (open sistem),
yang menyatakan bahwa sistem melakukan pertukaran dengan lingkungannya
melalui impor "material" yang diperlukan untuk mendukung dirinya sendiri
dan kemudian melalui mekanisme ekspor komponen-komponen yang sudah
terkonversi dikembalikan ke lingkungannya. Sebagai pembanding, suatu
sistem yang tidak memiliki "material" yang masuk maupun meninggalkan
sistem tersebut adalah suatu sistem tertutup (Von Bertalanffy, 1950).
Katz dan Kahn (1978) menganggap teori sistem terbuka (open sistem)
sebagai kerangka yang paling sesuai untuk studi organisasi, hal ini
disebabkan pendekatan tersebut memungkinkan adanya integrasi menyeluruh
analisa individu pada level mikro, hingga keseluruhan organisasi dan
lingkungannya pada level makro. Mereka menekankan bahwa konsep sistem
terbuka adalah suatu metafora yang sangat efektif di dalam menggambarkan
pola perilaku organisasi. Pembahasan budaya organisasi sebagai metafora
adalah topik bagian yang berikutnya, akan mendiskusikan budaya
organisasi sebagai sesuatu yang ada di dalam organisasi. Pasmore (1988)
menunjukkan arti konsep sistem terbuka adalah menyediakan suatu pijakan
yang solid untuk pakar perilaku organisasi dalam meneliti interaksi
internal dan eksternal anggota organisasi untuk mengaplikasikan
pemahaman ke dalam tindakan. Bolman dan Deal (1991), menulis dari dari
perspektif fungsionalis menyatakan bahwa dari waktu ke waktu, tiap-tiap
organisasi mengembangkan kepercayaan (beliefs) dan pola perilaku
yang berbeda dan hal tersebut muncul tanpa disadari dan bersifat "taken
for granted". Asumsi-asumsi dasar terwujud dalam “mitos-mitos, dongeng,
cerita, ritual, upacara, dan bentuk simbolis lainnya” ataupun artefak.
Sebagai konsekuensi, para manajer dan para pemimpin yang mampu
memanfaatkan asumsi-asumsi tersebut biasanya mampu mempengaruhi
organisasi secara lebih efektif dibandingkan para pemimpin lain yang
lebih fokus pada teknik manajemen seperti peraturan dan aturan formal.
Smircich (1983) menyatakan agenda utama penelitian muncul dari
padangan manajerial yang menekankan pentingnya pembentukan dan perubahan
budaya internal organisasi. Hal ini untuk membantu para pimpinan
organisasi dalam membangun konsep budaya terkait dengan pengelolaan
organisasi, peneliti telah mengidentifikasi beberapa dimensi utama
budaya organisasi seperti halnya kekuatan (strength), kongruensi dan bentuk organisasi, yang diyakini sebagai aspek-aspek kristis yang ikut menentukan kinerja organisasi.
Kekuatan budaya organisasi merujuk pada kemampuan di dalam mengontrol
perilaku (Cameron dan Ettington, 1988). Hal ini dijelaskan bahwa
organisasi dengan budaya yang kuat akan menyediakan anggota organisasi
pemahaman tentang struktur, standar, konsistensi serta seperangkat
sistem nilai yang akan berpengaruh pada pola hubungan internal, produktivitas dan efektivitas
(Deal dan Kennedy, 1982; Sathe, 1983; Schneider, 1994). Sathe (1983)
mengindikasikan bahwa organisasi yang memiliki lebih tinggi keterikatan
anggota terhadap nilai-nilai dan keyakinan organisasi akan berperilaku
sesuai dengan panduan tersebut dan disebut sebagai perilaku organisasi.
Deal and Kennedy (1982) memberikan dukungan pada pemikiran dan teori
tentang kekuatan budaya organisasi, menurut mereka budaya organisai yang
kuat selalu menjadi faktor yang mendorong kesuksesan perusahaan secara
berkesinambungan di banyak perusahan-perusahaan Amerika.
Keseragaman budaya merujuk pada tingkat kesesuaian homogentitas
berbagai elemen-elemen budaya yang ada di dalam organisasi. Secara
singat dijelaskan bahwa organisasi yang memiliki keyakinan budaya (cultural beliefs), nilai-nilai (values)
dan asumsi-asumsi dasar lainnya dan dipahami dengan baik oleh individu
anggota organisasi akan lebih kongruen, konsten, dan homogen
dibandingkan dengan organisasi yang tidak memilikinya (Sathe, 1983).
Kongruensi dan kekuatan budaya merupakan konsep yang saling terkait,
dimana kekuatan budaya (cultural strength) akan meningkatkan kongruensi budaya (cultural congruence).
Nadler dan Tushman (1980) menyatakan jika terjadi kesetaraan, lebih
tinggi tingkat kongruensi, ataupun kesesuaian antar komponen organisasi,
akan lebih efektif perilaku organisasinya pada berbagai level yang ada
di dalam organisasi. Cameron dan Ettington (1988) mempelajari hubungan
antara kongruensi organisasi, kekuatan, bentuk dan efektivitas
organisasi. Mereka menemukan efektifitas organisasi memiliki hubungan
yang kuat dengan bentuk organisasi dibandingkan kongruensi ataupun
kekuatan organisasi. Berdasarkan bentuk budaya organisasi, Cameron dan
Ettington menyatakan bahwa jenis budaya yang spesifik merupakan
representasi organisasi, misalnya inovasi, orientasi pada resiko,
orientasi pada struktur ataupun orientasi pada peraturan. Berdasarkan
penelitian Quinn dan Rohrbaugh, (1981, 1983) yang berfokus pada
nilai-nilai yang dikompetisikan (Competing Values Research), Cameron dan Ettington (1988) megaplikasikan 4 (empat) bentuk budaya organisasi yang disebut sebagai budaya clan, adhocracy, market dan hierarchy.
Keempat bentuk budaya ini digunakan untuk mengevaluasi dimensi budaya
yang paling dominan dan efektif di dalam organisasi. Riset mereka telah
mendorong pengembangan Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (OCAI, Organizational Culture Assessment Instrument)
yang dilakukan oleh Cameron dan Quinn (1999), dimana model tersebut
banyak digunakan untuk mengukur konsep budaya organisasi pada berbagai
organisasi saat ini. Secara singkat pertimbangan sebagian besar peneliti
menggunakan perspektif fungsionalis adalah untuk menentukan bentuk
variabel organisasi yang akan dijadikan dasar pengembangan budaya
organisasi. Jika ditemukan budaya organisasi sebagai variabel
independen, maka akan dimasukan pengaturan organisasi melalui anggota
organisasi dan faktor-faktor lingkungan lainnya, dan selanjutnya
digunakan analisis untuk menghasilkan pemahaman perbedaan budaya (gap),
identifikasi hambatan-hambatan budaya, melakukan pengukuran budaya
secara terus menerus, dan memungkinkan pemimpin dan peneliti untuk
membuat gambaran peta budaya sebuah organisasi yang kompleks (Hofstede
dkk., 1990). Pandangan budaya organisasi sebagai variabel dependen
berimplikasi pada budaya yang digerakkan oleh proses rasional sebagai
instrumennya dimana pemimpin organisasi dan peneliti dapat
memanipulasinya dan mempengaruhi arah organisasi, (Smircich, 1983;
Druckman, dkk, 1997). Disamping sejumlah literatur yang ditulis dari
perspektif fungsionalis, banyak akhli teori memperdebatkan pernyataan
tentang budaya organisasi yang dapat dikendalikan. Misalnya Martin
(1992) menyatakan hal tersebut dari perspektif yang berbeda, disebutnya
budaya organisasi bukanlah kesatuan (unitary) melainkan sesuatu yang dipengaruhi lingkungan dan memiliki karakteristik sub kultural yang berada di dalam batas selaput (permeabel)
organisasi dimana adanya inkonsistensi dan konsensus sub kultural
adalah sebuah hal yang lazim. Dengan kata lain, konsensus budaya hanya
terjadi pada level yang lebih rendah (level sub kultural) di
dalam sebuah organisasi. Martin (2002) menyatakan bahwa "sub kultural
mirip sebuah pulau ditengah lautan ambiguitas". Sebagai konsekuensinya
diperlukan perspektif tradisional budaya organisasi yang diwakili oleh
perspektif fungsionalis, mengeliminasi signifikansi sub kultural
organisasi yang ada, (Smircich, 1983; Martin dan Frost, 1996). Para
peneliti lain dengan perspektif "fragmentasi" menempatkan ambiguitas
sebagai ganti kejelasan (clarity) dan kesatuan (unity) di
dalam inti budaya organisasi. Peneliti yang menekankan perspektif
fragmentasi menyatakan bahwa penafsiran manifestasi budaya merupakan
sesuatu yang paling rancu terkait satu sama lain. Hal tersebut
menunjukan ketiadaan konsistensi dan konsensus di dalam organisasi
(Feldman, 1991; Meyerson, 1991; Kreiner dan Schultz, 1993; Martin dan
Bekukan, 1996; Martin, 2002). Boeker (1989) mengambil pendekatan
perspektif fungsionalis dalam studinya tentang perubahan strategis yang
terjadi didalam organisasi. Temuannya menunjukan karakteristik
permulaaan organisasi yang menyediakan panduan pada strategi awal
terkait dengan adanya kontribusi konsensus internal. Argumentasinya
menyatakan bawa pemimpin organisasi harus memahami bahwa mereka bekerja
di dalam hambatan, sebagian besar berawal dari struktur awal yang
dibentuk, rutinitas, perbendaharaan situasi, dan varias sub kultural
yang sudah dilembagakan dari waktu ke waktu. Filosofi awal terbentuknya
organisasi akan menciptakan pijakan budaya organisasi dan
simbolisme-simbolisme, mitos-mitos dan tradisi yang harus dipahami
sebelum praktek manajemen yang lain, (House dan Singh, 1987).
Weick(1979) menyatakan budaya organisasi sesungguhnya sebuah konstruk
yang lebih kompleks yang menggambarkan konsep yang saling terkait
dibandingkan hanya sebuah variabel. Di dalam hubungan yang saling
terkait, satu variabel bisa menjadi sebab dan akibat dari variabel yang
lain. Hubungan yang saling tergantung merupakan analogi yang berkembang,
dimana terdapat variabel antara, variabel dependen dan variabel
independen yang saling terkait (Babbie, 1992). Konsep Weick (1979)
tentang saling ketergantungan yang menempatkan kontradiksi, ambiguitas,
paradoks yang pada gilirannya ketika organisasi berkembang kedepan akan
ditemukan penyimpangan di dalam asumsi-asumsi dasar organisasi yang
harus dipecahkan. Pada beberapa kasus perubahan perilaku organisasi
terjadi melalui proses modifikasi, akulturasi budaya dan pengaruh
lingkungan, serta penafsiran-penafsiran yang berbeda oleh anggota
organisasi (Martin, 1992). Kesulitan yang dialami para ahli teori adalah
upaya untuk membatasi konsep budaya organisasi, dimana budaya
organisasi telah membawa persepsi lebih dari sekedar variabel (Berger
dan Luckmann, 1966; Geertz, 1973, Smircich, 1983; Pondy, dkk., 1983;
Schultz dan Hatch, 1996; Martin, 2002). Banyak ahli teori merasa budaya
organisasi dapat disamakan sebagai gambaran organisasi, hal ini
merupakan metafora memahami organisasi secara berbeda namun dengan cara
yang parsial (Morgan, 1986, hal. 12).
2.4.2 Perspektif Semiotik
Tidak seperti dalam perspektif fungsionalis yang menyatakan bahwa budaya organisasi adalah sesuatu yang dimiliki organisasi (something that an organization has), maka perspektif semiotik memandang budaya organisasi sebagai sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri (something an organization is),
(Smircich, 1983; Schein, 1985; Morgan, 1986). Morgan (1986, hal. 14)
menyatakan bahwa organisasi saat ini terletak pada gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, ritual, dan kepercayaan yang mendukung organisasi sebagai
realitas yang dibentuk secara sosial. Sebagai konsekuensi, studi
budaya organisasi sebagai sebuah metafora mempromosikan pandangan
organisasi sebagai bentuk yang ekspresif, penjelmaan kesadaran manusia
(Smircich, 1983, hal. 347). Lakoff dan Johnson (1980) menekankan
pengetahuan dan persepsi itu adalah proses interpretasi dimana manusia
berupaya untuk mendapatkan pemahaman satu aspek pengalaman "kemanusiaan"
melalui evaluasi pengalaman tersebut dalam kaitannya dengan pengalaman
yang lain. Analisis secara terus menerus pengalaman kemanusiaan dalam
konteks pengalaman yang lain adalah esensi dari proses metafora. Pada
saat yang sama metafora dapat mendorong pengetahuan ilmiah yang lebih
mendalam (Tsoukas, 1991), Morgan (1986) menekankan bahwa proses metafora
memungkinkan kita untuk membingkai pemahaman sebuah pengalaman secara
berbeda namun bukanlah cara yang sempurna. Dengan kata lain, metafora
dapat menghasilkan persepsi yang condong pada satu sisi dari suatu
pengalaman, hal ini dapat menjadi dasar interpretasi yang sama dari
sebuah situasi atau pengalaman. Oleh karena itu, para peneliti dan
pemimpin organisasi harus meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan
uraian atau interpretasi organisasi (Geertz, 1973), yang akan memudahkan
pemahaman menyeluruh kebersamaan secara komplementer maupun
aktivitas-aktivitas paradoks meliputi konstruk budaya organisasi yang
kompleks. Jermier (1991) menyatakan bahwa organisasi dapat dipandang
sebagai budaya dimana para aktor manusia adalah "pengangkut" dari
tingkatan yang lebih luas dari suatu ekpresi budaya dan sebagai
konsekuensi mengimpornynya kedalam peraturan organisasi, baik dari
pengaruh masyarakat sosial, agama, jabatan, jender, usia, dan lain-lain.
Selanjutnya anggota organisasi menerapkan pengalaman-pengalaman
tersebut ke dalam realitas konstruk sosial dan memaknainya untuk
kehidupannya. Sebagai konsekuensi, Jermier menekankan budaya oraganisasi
merupakan realitas yang dikonteskan dimana kontruk sosialnya dapat
diinterpretasikan kembali secara berulang-ulang. Penekanan secara umum
teori integrasi yang telah digarisbawahi para pakar yang banyak dikutip
memandang budaya organisasi memiliki penafsiran satu sama lain yang
saling melengkapi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, teori integrasi
mereduksi perspektif lainnya menjadi perspektif diferensiasi dan
fragmentasi, yang tidak memandang budaya sebagai konstruk homogen
seperti yang ditekankan dalam perspektif integrasi (Martin, 1992, 1997,
2002). Studi yang dilakukan dari perspektif semiotik berupaya untuk
menggambarkan budaya organisasi dengan menyediakan deskrepsi yang luas
yang menyertakan konteks organisasi secara detail dari sudut pandang
individu dan meliputi "pembukuan" yang terperinci, peristiwa, ucapan,
tindakan dan situasi (Morgan, 1986).Tujuan menggunakan proses metafora
untuk menggambarkan organisasi agar memungkinkan peneliti dalam
menyingkapkan karakteristik dari suatu organisasi, yang mungkin
dinyatakan sebagai gagasan atau simbol. Gagasan atau karakteristik
simbolis adalah karakteristik seperti misalnya pengetahuan bersama
(shared knowledge) yaitu pengetahuan yang berada dalam pikiran individu
terkait dengan organisasi. Tujuan umum dari perspektif ini untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih besar sebuah budaya organisasi, tidak
bertujuan untuk memperkirakan perilaku lainnya atau memperkirakan
kinerja berdasarkan manifestasi budaya. Budaya organisasi dipandang
sebagai pengalaman subyektif dan suatu analisa semiotik yang
mempertimbangkan investigasi pola perilaku organisasi, suatu tindakan
terorganisir di dalam pengaturan organisasi. Sebagai contoh, Mahler
(1988) menuliskan sudut pandang semiotik bahwa ketertarikan pada budaya
organisasi telah mendorongnya untuk mengumpulkan dan membuat katalog
tema dari berbagai organisasi. Artikel yang dibuatnya membandingkan
cerita-cerita organisasi dan mencatat kehidupan organisasi pada
keunikannya namun klasik, misalnya sebuah dongeng yang menyebar ke
seluruh bagian organisasi. Hasil kerja Mahler (1986) merekomendasikan
perlunya identifikasi dan analisis mitos-mitos yang ada akan
memungkinkan para peneliti berikutnya lebih mudah memahami nilai-nilai
yang dinyatakan, perasaan, motivasi dan komitmen anggota organisasi.
Morgan (1986) menyatakan bahwa pengamatan budaya organisasi sebagai
metafora memungkinkan penafsiran kembali banyak konsep-konsep manajerial
tradisional. Secara spesifik ia menyatakan :
Metafora budaya merujuk pada pengertian lain dari penciptaan
aktivitas yang terorganisir ; dengan pengaruh bahasa, norma, dongeng,
upacara dan praktek sosial lainnya yang mengkomunikasikan ideologi
kunci, nilai, kepercayaan yang memandu tindakan. Karenanya antusiasme
saat ini di dalam mengelola budaya perusahaan sebagai "perekat normatif"
yang memperkuat organisasi. Sedangkan sebelumnya banyak manajer
memandang dirinya kurang lebih sebagai seorang pekerja yang merancang
struktur dan uraian kerja, mengkoordinir aktivitas atau mengembangkan
skema penghargaan untuk memotivasi pekerja. Saat ini mereka telah
memandang dirinya sebagai aktor simbolis yang memiliki tugas utama
mengembangkan pola-pola perilaku organisasi yang memiliki arti khusus.
Hasil riset budaya organisasi menunjukan bagaimana bentuk manajemen
simbolis dapat digunakan untuk membentuk realitas kehidupan organisasi
dengan cara meningkatkan kemungkinan tindakan yang lebih terkoordinir.
Morgan (1986) juga menekankan bahwa pemahaman perubahan organisasi
seharusnya meliputi realisasi perubahan organisasi sebagai hasil
perubahan gambaran dan nilai yang akan menjadi pedoman tindakan, bukan
sekedar perubahan teknologi dan struktur. Pengertian yang mendalam ini
mengingatkan kepada sistem sosio-teknis organisasi (Trist, 1981).
Seacara ringkas, Bolman & Deal (1991) menekankan bahwa budaya
organisasi adalah suatu perpindahan penting dari prinsip teori
organisasi tradisional yang menyertai rasionalitas, kepastian, dan
linearitas. Dasar dari pedekatan perspektif semiotik adalah keinginan
untuk menggunakan konsep budaya organisasi sebagai suatu alat
epistemologi guna membatasi studi organisasi sebagai peristiwa sosial
dan sebagai bentuk unik ekspresi kemanusiaan (Smircich, 1983). Sebagai
konsekuensi, Smircich (1983) menunjukkan bahwa perilaku organisasi
terbentuk sebagai pola hubungan simbolis yang telah diberi maksud oleh
anggota organisasi melalui suatu proses konsensus, yang memberikan
gambaran situasi yang independen.
Bolman dan Deal (1991) meringkas persepsi mereka terhadap pendekatan
semiotik dengan menyatakan bahwa sifat alami organisasi dan perilaku
manusia didasarkan pada asumsi-asumsi diluar kebiasaan sebagai berikut :
- Apa yang paling utama tentang peristiwa bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa makna yang ditimbulkannya.
- Peristiwa dan arti disatukan secara lebih longgar : peristiwa yang sama dapat mempunyai arti sangat berbeda untuk orang yang berbeda oleh karena perbedaan skema / struktur pengalaman yang mereka menggunakan untuk menginterpretasikan peristiwa yang terjadi.
- Banyak peristiwa yang penting dan proses di dalam organisasi bersifat tidak pasti atau rancu, terkadang sangat susah atau mustahil untuk diketahui apa yang terjadi, kenapa terjadi, ataupun apa yang akan terjadi.
- Semakin besar kerancuan dan ketidak-pastian, semakin sulit untuk menggunakan pendekatan rasional dalam menganalisis, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.
- Menghadapi situasi ketidakpastian dan kerancuan (ambiguity), manusia menciptakan simbol untuk memecahkan kebingungan, meningkatkan prakiraan (predictability) dan memberikan arah. Hal ini sepertinya tidak logis, mengalir, acak, tak memiliki arti, namun simbol-simbol memberikan makna sebaliknya.
- Banyak proses dan peristiwa organisasi adalah sesuatu lebih penting untuk mereka nyatakan dibanding untuk apa mereka lakukan: mereka mengikuti dongeng, ritual, upacara, dan hikayat yang membantu mereka menemukan maksud dan memanggil pengalaman mereka
Martin (2002) menekankan bahwa perspektif semiotik melihat lebih
dalam pada perilaku organisasi sedemikian hingga pemahaman yang dalam
bagaimana anggota organisasai menginterpretasikan pengalaman dan
manifestasinya untuk membentuk pola kejelasan, inkonsistensi, dan
ambiguitas dapat dicapai. Di dalam perspektif semiotik, fokus riset
bergeser dari apa yang dicapai dan tingkat efisien, menjadi bagaimana
organisasi melakukan, dan apa arti dibalik tindakan yang dilakukan
(Smircich, 1983). Telah dibahas suatu tinjauan ulang literatur mengenai
analisis teoritis budaya organisasi yang dapat diringkas sebagai
perdebatan pendekaran fungsionalis yang meyakini organisasi memiliki
budaya dan pendekatan semiotik yang menyatakan organisasi adalah budaya.
Kedua perspektif menyediakan pengertian yang unik hinggak konstruk yang
komplek. Bagaimanapun kedua pendekatan tersebut tidak dapat berdiri
sendiri di dalam memecahkan masalah yang rumit di dalam organisasi.
Smircich (1983) menyatakan, terlepas dari perbedaan, kemungkinan
kebenaran konsep budaya organisasi berfokus pada sesuatu yang ekspresif,
kualitas organisasi non rasional dan hal tersebut legitimasi subyektif,
aspek-aspek interpretatif kehidupan organisasi. Bagian yang berikutnya
menyediakan suatu perspektif berbeda dimana pembahasan berfokus pada
metodologi riset. Sudut pandang riset kualitatif dan kuantitatif akan di
ekplorasi sebagai bagian dari penelitian ini.
2.4.3. Pengukuran Budaya Secara Kuantitatif
Martin (2002) menyatakan peneliti budaya organisasi memiliki dilema
metoda penelitian yang digunakan setiap kali mereka medesain atau
mengevaluasi suatu studi, baik mereka sadari atau tidak. Misalnya saja
jenis desain studi bagaimana yang akan menjawab pertanyaan penelitian
atau tujuan penelitian ? Apa dan bagaimana implikasi teoritis dari
metode yang digunakan. Bahkan, pertimbangan praktis pun harus dilakukan
seperti dana penelitian, ketersediaan waktu, data yang tersedia, tingkat
minat pada topik yang ditelliti dan sejauh mana riset mendukung,
menambah atau memperluas pengetahuan yang ada (Creswell, 1994). Sebagai
konsekuensi, dua riset metodologis, metoda riset kualitatif dan
kuantitatif, atau kombinasi keduanya, saat ini telah membentuk pondasi
bagi kebanyakan riset yang ada.
Creswell (1994), di dalam bukunya membahas metodologi penelitian
menyatakan pendekatan kuantitatif dalam sebuah desain penelitian
menekankan pentingnya bagi peneliti untuk menjaga jarak dan independen
dari obyek yang sedang diteliti. Hasil analisis ditandai dengan format
formal dan tidak berfokus pada pribadi peneliti, menyertakan logika
deduktif untuk menguji teori dan hipotesis dalam kerangka sebab akibat.
Peneliti kuantitatif memandang realitas sebagai sesuatu yang logis,
situasi yang obyektif dimana peneliti mampu melakukan pengukuran melalui
kuesioner, survei dan eksprimen yang dapat dikontrolnya. Creswell
(1994) menyatakan studi kuantitatif adalah pemeriksaan ke dalam problem
sosial atau kemanusiaan, didasarkan pada pengujian teoritis sejumlah
variabel, pengukuran dengan angka, dan analisis menggunakan prosedur
statistik dalam rangka menentukan generalisasi model.
Metodologi yang digunakan untuk penelitian disertasi ini menggunakan
pendekatan kuantitatif yaitu Instrumen Penilaian Budaya Organisasi (OCAI-Organizational Culture Assessment Instrument)
yang akan dibahas mendetail dalam bab metode penelitian. Namun
demikian, penting untuk diketahui bahwa survei OCAI didesain dengan
menggabungkan metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk menggali
asumsi terbentuknya budaya organisasi (Cameron dan Quinn, 1999).
Pada sisi lain, banyak peneliti budaya percaya bahwa pendekatan
kuantitatif merupakan metoda yang kurang efektif untuk mempelajari
konstruk yang kompleks seperti halnya budaya organisatoris. Sebagai
contoh, Rousseau (1990) menunjukkan bahwa penilaian kuantitatif memiliki
kontroversial di kalangan peneliti dan secara umum kurang "pas". Schein
(1991) setuju dan menekankan upaya yang maksimal dalam mengukur dan
mengkuantifikasi konsep budaya organisasi yang masih terabaikan, hal ini
mengingat sebagian peneliti sudah memiliki penafsiran meskipun hanya
mengevaluasi budaya pada level "permukaan" seperti nilai dan artefak
organisasi. Sebagai konsekuensi, Schein percaya penelitian kuantitatif
yang dilakukan terpisah dari kulitatif akan menyediakan hasil analisa
konstruk yang dangkal dan gagal untuk mengevaluasi asumsi-asumsi utama
budaya organisasi. Di samping pemikiran yang berlawanan dengan
pendekatan kuantitatif ini, juga adanya pertimbangan banyaknya studi
organisasi sejak 1960-an yang lebih berfokus pada survei, analisa data
arsip, dan eksperimen (Martin, 2002). Teknik kuantitatif menekankan
prinsip empris-rasional yang mendukung pendekatan positivisme dalam
pembelajaran dan pembentukan pengetahuan. Frederickson (1994) menyatakan
bahwa asumsi dasar semua realitas sosial dan alam terdiri dari pola
terpadu yang dapat diukur dan dievaluasi melalui pengalaman yang terkait
dengan perasaan. Bagaimanapun, seperti yang telah diuraikan di atas,
konsep budaya organisasi bersifat sangat subyektif karena hal tersebut
didasarkan pada asumsi-asumsi dasar yang diambil dari anggota-anggota
organisasi. Sebagai konsekuensi, adalah dapat dimengerti bila banyak
ahli teori organisasi menghindari riset kuantitatif, yang didesain untuk
meringkas, membandingkan, mem-validasi, mereplikasi, mereduksi dan
meneliti secara obyektif, sebagai sebuah metodologi yang dirasakan tidak
cukup untuk menganalis sebuah konstruk kompleks seperti halnya budaya
organisasi (Cameron dan Ettington, 1988; Rousseau, 1990; Schein, 1999;
Martin, 2002). Akan tetapi Cameron dan Ettington (1988) menyatakan bahwa
alasan utama mempergunakan metoda kuantitatif, misalnya survei yaitu
untuk menggantikan pertanyaan penelitian budaya organisasi yang umumnya
menggunakan skala Likert dengan uraian tertulis atau skenario dimana
kontruk penelitian merefleksikan atribut budaya organisasi yang
diteliti. Cameron dan Ettington menunjukkan bahwa teknik ini
memungkinkan responden untuk melakukan pengukuran nilai-nilai dasar
utama serta orientasi budaya organisasinya. Hal ini dapat dikatakan
memberikan keuntungan secara kualitatif maupun kuantitatif dan akhirnya
mendorong pengembangan instrumen OCAI dan MSAI (Management Skills
Assessment Instrument) oleh Cameron and Quinn (1999), yang akan
digunakan dalam studi disertasi ini. Berrio (2003) menyediakan dukungan
empiris efektivitas penggunaan OCAI dalam studi identifikasi budaya
dominan di Ohio State university. Dalam studinya, Berrio menyatakan
bahwa model CVF (Competing Values Framework) dapat digunakan
dalam mengkonstruksi profil budaya organisasi. Melalui penggunaan OCAI,
suatu profil budaya organisasi dapat disimpulkan berdasarkan bentuk
budaya organisasi yang dominan. Terkait data empiris dan perdebatan
metodologi, Hofstede dkk. (1990), menemukan bahwa budaya organisasi
dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan pada jawaban anggota
organisasi atas pertanyaan-pertanyaan tertulis yang diajukan kepadanya.
2.4.4. Pengukuran Budaya secara Kualitatif
Pendekatan kualitatif menekankan pentingnya peneliti untuk
berinteraksi dengan obyek studi baik etnografi jangka panjang atau
melalui kolaborasi aktual. Hasil analisis memiliki ciri khas format
pribadi peneliti yang erat dengan nilai-nilai peneliti dan memiliki bias
personal. Para peneliti kualitatif berusaha untuk memahami dan
menemukan makna melalui logika induktif dimana pengelompokan riset
muncul dari informasi yang disediakan oleh informan dan menghindari
prasangka yang peneliti (Creswell, 1994). Merriam (1988) menyebutkan
enam asumsi atau prinsip yang mmenjadi dasar pendekatan riset
kualitatif, yaitu :
- Peneliti kualitatif lebih berfokus pada proses daripada hasil yang dicapai.
- Peneliti kualitatif tertarik pada cara orang-orang bisa menerima kehidupannya, pengalaman, dan struktur dunianya.
- Peneliti kualitatif adalah instrumen yang utama bagi dirinya sendiri untuk pengumpulan data dan analisa. Data dimediasi melalui instrumen manusia daripada sekedar daftar pertanyaan.
- Riset kualitatif melibatkan kerja lapangan. Peneliti secara langsung pergi ke obyek yang diteliti, lingkungan, lokasi, atau institusi untuk mengamati atau merekam perilaku orang organisasi secara "alami".
- Riset kualitatif bersifat deskriptif dalam arti peneliti tertarik pada proses, arti dan pemahaman yang dicapai melalui kata-kata dan gambar.
- Proses riset kualitatif bersifat induktif dalam arti peneliti membangun abstrak, konsep, hipotesis, dan teori dari hal-hal yang sangat detil.
Para peneliti yang mendukung pendekatan analisis kualitatif
menyatakan bahwa riset kualitatif bersifat sangat subyektif sehingga
teknik yang paling mungkin yaitu menggunakan analisis etnografis yang
mendalam untuk memahami suatu budaya organisasi (Geertz, 1973; Martin,
1992, Schein, 1985, 1999; Martin, 2002). Desain riset etnografi berusaha
untuk mengembangkan gambaran holistik subyek penelitian dengan
menekankan pada potret keseharian individu melalui obeservasi dan
interview serta hal-hal lain yang relevan (Creswell, 1994, hal. 163).
Rousseau (1990) mengulangi pernyataan ini dengan menyatakan dasar
pemikiran metoda kualitatif ditunjukan pada asumsi sulitnya akses,
tingkat kedalaman dan kualitas budaya "tak sadar" yang ada.
Bagaimanapun, Riley (1991) menunjukkan salah satu tantangan pendekatan
etnografis adalah dibutuhkannya dedikasi pada projek yang luar biasa
secara fisik maupun emosional dimana peneliti secara intim terlibat
dengan budaya yang diteliti dan orang-orang yang menghasilkan budaya
tersebut. Bahaya lain jika peneliti menjadi "native" yaitu ia
menjadi sangat terasimilasi di dalam budaya yang diteliti sehingga akan
membuat analisis berdasarkan prasangka dan nilai yang dibatasi. Rousseau
(1990) juga menunjukkan bahwa budaya organisasi sebagai refleksi
konstruksi sosial merupakan realitas yang unik dari anggota-anggota unit
sosial, dan keunikan ini sukar bila dijadikan ukuran standar dalam
mendapatkan proses budaya yang terjadi. Martin (2002) menyediakan
ringkasan diskusi seputar metodologi kuantitatif dan kualitatif dan
menunjukan argumentasi yang sangat kuat mengapa teknik kuantitatif telah
mendominasi riset budaya (Trice dan Beyer, 1993) dengan menyatakan :
”Ketika budaya diperlakukan sebagai variabel dan digunakan untuk
mem-prediksi variabel lain, misalnya kinerja organisasi, ini sangat
relevan dengan superioritas metoda kuantitatif dalam penelitian
dikaitkan dengan implikasi fungsional, misalnya peningkatan
produktivitas dan kinerja. Budaya sebagai variabel penelitian lebih
mudah untuk dilihat sebagai aspek manajerial dan sesuai dengan
karakterisasi Habermas di dalam riset teknis. Sebaliknya, budaya sebagai
metafora menempatkan budaya bukan sebagai variabel, namun sebuah
metafora untuk menguji kehidupan organisasi sehari-hari. Budaya sebagai
metafora menyoroti aspek fungsi organisasi yang telah diabaikan karena
fokus pada variabel penelitian, misalnya ukuran organisasi dan struktur,
yang dapat diukur lebih mudah mempergunakan metoda kuantitatif. Deal
dan Kennedy berargumen bahwa analisis kualitatif memungkinkan peneliti
untuk mempergunakan anggota organisasi yang dapat mendiagnosa budaya
secara lebih mendalam dengan ketepatan yang jauh lebih besar. Namun
terdapat perangkap untuk memperoleh pemahaman yang akurat yang
menyangkut persepsi budaya organisasi seseorang, bila faktor
obyektivitas menjadi bagian yang utama. Schein (1992, hal 169) tidak
sependapat bila analisa kualitatif yang detil harus dicapai hanya
melalui proses etnografi tradisional. Sebagai gantinya dia menguraikan
persepsinya pada proses etnografi dengan menyatakan seorang peneliti
harus melakukan wawancara "klinis", sebuah rangkaian pertemuan dan
eksplorasi bersama antara investigator dan beberapa informan yang
tinggal dan melekat di dalam organisasi. Schein (1992) menunjukkan bahwa
“outsider” tidak bisa secara penuh memahami atau menghargai
nuansa semantik bagaimana aturan organisasi berlaku dalam berbagai
situasi atau bagaimana mereka diterjemahkan ke dalam perilaku. Apalagi, “outsider”
menurut definisi tidak bisa digunakan untuk mengamati peristiwa dan
juga derajat akurasinya akan dipertanyakan, terkecuali bila dilakukan
konsultasi terlebih dahulu dengan “insider”. Namun demikian, Schein menyatakan “insider”
tidak mampu mengkomunikasikan kepada peneliti nilai-nilai yang tidak
disadari (unconscious values) dan asumsi yang berada di pusat budaya
organisasi. Sebagai konsekuensi, Schein (1992) menyatakan melalui upaya
bersama-sama antara peneliti dan anggota organisasi maka penentuan
budaya organisasi dan hubungan pola utama dapat di evaluasi secara
akurat, selain itu faktor subyektivitas dan bias peneliti dapt
dihindari. Penelitian ini akan menggunakan metode kuantitatif, namun
demikian kajian kualitatif tetap dilakukan mengingat peneliti sebagai
bagian dari individu organisasi yang menjadi ”native” dan terlibat aktif
dalam interaksi sosial dalam salah satu perusahaan yang menjadi sampel
penelitian.
Pada sub-bab berikutnya akan dibahas secara singkat OCAI, yang akan
digunakan dalam studi ini dalam perspektif penelitian seperti yang
diuraikan oleh Schein di atas. Seperti yang dijelaskan lebih detil pada
bab metodologi, OCAI adalah instumen kuantitatif yang bersandarkan pada
proses dialog diantara individu organisasi yang memiliki keterkaitan
dengan manajemen perubahan budaya. Ini pada umumnya melibatkan para
manajer puncak organisasi dan membantu mereka untuk membongkar, atau
membawa kepada permukaan, aspek budaya organisasi tidak bisa di
identifikasi atau dinyatakan oleh anggota organisasi” (Cameron dan
Quinn, 1999, hal. 72).
2.5. Budaya Organisasi dan TQM
Schneider (1994) menjelaskan pentingnya budaya perusahaan dengan
menyatakan bahwa budaya organisasi mampu menyediakan konsistensi bagi
organisasi dan orang-orang di dalamnya yang menyangkut tata nilai,
keyakinan dan prilaku yang dibangun berdasarkan tradisi sukses
organisasi. Sathe (1983) menunjukan bahwa budaya organisasi berperan
sebagai ‘sesuatu yang sulit dipisahkan dan bahkan memiliki peranan yang
menyatu dalam sebuah kehidupan organisasi’, dengan pemahaman budaya
organisasi yang baik, pemimpin organisasi dapat secara efektif
menggunakan, membelokan bahkan mengubahnya sesuai kebutuhan organisasi
apabila diperlukan. Cameron & Quinn (1999) setuju dengan penilaian
ini, mereka menyatakan bahwa sebagian besar pengamat dan pakar
organisasi saat ini telah menyadari budaya perusahaan memiliki pengaruh
terhadap kinerja dan efektivitas organisasi jangka panjang.
Schein (1985) menyatakan manifestasi budaya organisasi terbentuk dari
3 (tiga) level, yaitu atribut / artefak (artifacts), nilai (values) dan
basic underlying assumptions. Schein mengindikasikan artefak
sebagai ekspresi budaya organisasi yang terlihat secara nyata, artefak
mewakili konstruk fisik organisasi dan lingkungan sosialnya. Artefak
organisasi termasuk didalamnya fenomena yang terlihat misalnya : bahasa,
teknologi dan produk, upacara dan ritual, mitos, seragam, arsitektur
bangunan, misi dan visi, sejarah organisasi, simbol dan berbagai
kegiatan seremonial yang ada. Artefak mudah di observasi, akan tetapi
artefak hanya meggambarkan sekilas budaya organisasi, karena arti yang
berada dibalik artefak tidak mudah untuk diterjemahkan dan
di-interpretasikan.
Berikutnya Schein (1985) menjelaskan level kedua manifestasi budaya
adalah “nilai”. Nilai inilah yang akan menjadi dasar untuk melakukan apa
yang seharusnya dilakukan, menjadi pedoman bila anggota organisasi
menghadapi ambiguitas. Schein (1985) meyakini bahwa nilai organisasi
tidak terlihat pada artefak organisasi. Bahkan ia menyatakan kesadaran
terhadap values bisa lebih besar dibandingkan basic underlying assumptions. Biasanya organisasi menyampaikan kepada publik “values” dan mengkomunikasikan kepada anggota organisasi, stakeholders,
dan masyarakat umum. Nilai-nilai organisasi sering disampaikan dalam
strategi organisasi, sasaran, filosofi, program training dan terpampang
jelas di dalam pernyataan nilai organisasi. Level ketiga dan paling
dalam dari manifestasi budaya perusahaan adalah basic underlying assumptions,
yang tumbuh dari standardisasi penyelesaian masalah yang berulang-ulang
di masa lalu dan mejadi hal yang ‘tidak sadar’ dan selalu menjadi dasar
dalam penyelesaian masalah-masalah serupa yang muncul. Secara ekstrim,
bahkan anggota organisasi mengambil basic underlying assumptions sebagai sesuatu yang non-confrontable & non-debatable (Schein, 1985, h. 18).
Selanjutnya Cameron & Quinn (1999) mendefinisikan budaya sebagai “taken-for-granted values, underlying assumptions, expectations, collective memories, and definitions present in an organization”.
Budaya organisasi menjadi identitas yang tak tertulis, tak terucap,
tidak disadari dan menjadi bagian menyatu dari sebuah organisasi yang
berguna untuk mempertahankan stabilitas sistem sosial di dalam
lingkungan organisasionalnya. Cameron & Quinn meyakini bahwa budaya
perusahaan mampu membuat organisasi menjadi unik, yang serupa dengan
penilaian Schneider (1994). Keunikan dalam arti positip akan menjadi
daya saing organisasi yang menjadi sumber keunggulan kompetitif yang
sukar ditiru, Wright dkk (1994).
Pemahaman yang sama para peneliti di bidang budaya organisasi
(Cameron & Quinn, 1999; Schein, 1999) menyatakan bahwa budaya
organisasi merupakan faktor utama kemampuan “survive” dan efektivitas
jangka panjang organisasi. Sebagai konsekuensi, pimpinan perusahaan yang
bertanggung jawab dalam menentukan arah stratejik dan visi organisasi
tidak boleh menganggap remeh pentingnya budaya dan harus menyadari bahwa
mereka bertanggung jawab untuk menganalisis dan mengelola budaya
organisasi. Pimpinan organisasi harus kapabel dalam mengembangkan
strategi untuk mengukur budaya, mengubahnya dan mengimplementasikan
sesuai dengan kebutuhan organisasi selaras dengan sasaran organisasi.
Perlu dipahami secara seksama bahwa artefak, nilai dan basic underlying assumptions
melekat pada orang (SDM) yang dibangun melalui praktek-praktek SDM yang
ada. Selanjutnya untuk memahami pengukuran dan analisis budaya
organisasi, Quinn & Rohrbaugh (1983), Cameron & Quinn (1999)
melakukan ekplorasi dan pemetaan budaya perusahaan dengan mengembangkan
model yang disebut sebagai Competing Values Framework.
Quinn & Rohrbaugh (1983), Cameron & Quinn (1999) berhasil
mengembangkan instrument survei kuantitatif untuk mengukur budaya
organisasi berdasarkan “Competing Values Framework – CVF”. Instrumen yang pertama disebut sebagai OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument)
dimana para peneliti dapat mengukur 4 (empat) budaya dominant
didasarkan tipe budaya perusahaan yang dkembangkan berdasarkan CVF.
Instrumen yang kedua disebut sebagai Management Skill Assessment Instrument
(MSAI), yaitu instrumen yang digunakan untuk mengukur kekuatan
(strengths), kelemahan (weaknesses), kemampuan managerial / leadership
dan kompetensi profesional organisasi.
Cameron & Quinn (1999) telah mengidentifikasi 4 (empat) tipe budaya CVF sebagai budaya “Clan”, budaya “Adhocracy”, budaya “Hierarchy” dan budaya “Market”.
4 (empat) tipe budaya tersebut memiliki karakteristik yang yang
berbeda-beda, misalnya budaya organisasi “adhocracy” memiliki
karakteristik yang menumbuh-kembangkan fleksibilitas, adaptabilitas,
kreativitas dan informasi yang ada menjawab situasi organisasi untuk
menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas. Tipe budaya organisasi harus
di-ikuti dengan “cultural congruence” dimana setiap budaya
organisasi tertentu harus fit dengan situasi praktek SDM dan karakter
kolektif individu yang dibutuhkan untuk mendukung kinerja dan
efektivitas organisasi, demikian pula sebaliknya “in-congruence”
akan menghambat kinerja organisasi. Terkait penggunaan CVF sebagai model
penelitian budaya, Berrio (2003) juga telah melakukan riset menggunakan
OCAI dengan mengambil obyek Ohio State University, hasilnya
menunjukan CVF dapat digunakan untuk mendefinisikan budaya organisasi
yang paling dominan, selain itu membuktikan adanya keterkaitan antara “cultural congruence”
dengan kinerja organisasi, hal ini diperkuat pula hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pierce (2004) yang mengukur budaya organisasi
menggunakan instrumen yang sama dan menunjukan hasil yang tidak berbeda,
namun demikian Pierce merekomendasikan untuk dilakukan riset
selanjutnya untuk memperkuat generalisasi hasil yang telah dilakukannya.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perdebatan mengenai
metodologi yang digunakan untuk menganalisis budaya organisasi terus
berlanjut hingga saat ini. Dua pertanyaan kunci muncul dari literatur
terkait pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pertama, apakah metoda
analisis kuantitatif seperti daftar pertanyaan dan instrumen survei
menyediakan informasi yang dangkal tentang pemahaman budaya ? Kedua,
apakah pendekatan kualitatif memiliki ruang lingkup yang kurang luas
untuk studi komparasi beberapa budaya organisasi mengingat keterbatasan
waktu dan tenaga peneliti yang berfokus hanya pada satu budaya
organisasi ? Terkait dengan diskursus mengenai metodologi dan menjawab
pertanyaan tersebut, Cameron and Quinn (1999) menyatakan bahwa OCAI yang
mereka buat berdasarkan CVF (Competing Values Framework) yang awal
mulanya dikembangkan oleh Quinn dan Rohrbaugh (1981) ditujukan guna
menjawab pertanyaan seputar metodologi penelitian budaya organisasi.
Secara rinci Cameron dan Quinn (1999, hal. 135) menunjukkan bahwa :
untuk melakukan perbandingan beberapa budaya, pendekatan kuantitatif
harus digunakan. Menjadi hal yang sangat krusial dimana instrumen survei
harus mampu memberikan informasi dasar asumsi dan nilai budaya, bukan
sekedar persepsi ataupun perilaku superfisial situasi organisasi. Hal
ini dapat dipenuhi secara baik dengan menggunakan skenario prosedur
analisis, dimana responden melaporkan tingkat persepsi budaya organisasi
melalui format skenario yang telah disusun. Skenario ini bertindak
sebagai isyarat secara emosional dan kognitif yang membawa kepada inti
atribut budaya organisasi. Responden mungkin tidak perduli pada atribut
budaya yang rumit sampai mereka memahami skenario yang tertulis di
kuesioner. Cameron dan Quinn (1999) menyatakan bahwa OCAI sudah banyak
digunakan untuk melakukan identifikasi budaya perusahaan dalam ribuan
organisasi dan sudah digunakan dalam memperkirakan kinerja organisasi.
Validitas dan reliabilitas OCAI sudah teruji dan akan dibahas lebih
detail pada bab metodologi penelitian. Model CVF, yang diterapkan oleh
OCAI menyediakan suatu solusi pendekatan fungsionalis-semiotik,
mengakomodasi perbedaan keduanya. Hal tersebut terjadi melalui
identifikasi aspek organisasi yang merefleksikan nilai-nilai kunci dan
asumsi organisasi dan setiap individu memiliki kesempatan untuk
meresponnya menggunakan kerangka asumsi utama yang telah dikembangkan,
(Cameron dan Quinn, 1999, hal. 137). Secara spesifik, responden OCAI
diminta untuk menjawab pertanyaan yang mewakili 6 (enam) dimensi, yang
menurut Cameron dan Quinn (1999) dinyatakan sebagai nilai budaya paling
fundamental dan asumsi implisit cara organisasi menjalankan fungsinya.
Keenam dimensi tersebut adalah : karakteristik dominan, kepemimpinan organisasi, manajemen karyawan, perekat organisasi, fokus strategi, dan kriteria sukses. Ketika dikombinasikan dengan empat jenis budaya yang terdapat dalam CVF menjadi tipe budaya clan, tipe budaya adhocracy, tipe budaya market, dan tipe budaya hierarchy (Cameron dan Ettington, 1988), yang dibentuk oleh dua dimensi efektivitas utama: internal focus dan integration versus external focus dan differentiation ; stability dan control versus flexibility dan discretion, enam
dimensi budaya tersebut dapat dijadikan kerangka fundamental yang
digunakan oleh anggota organisasi ketika mereka memperoleh,
menginterpretasikan, dan menarik kesimpulan tentang informasi, Cameron
dan Quinn (1999, hal. 136), seperti yang dijelaskan dalam Gambar 2.9.
Sebagai konsekuensi, OCAI mampu menjelaskan budaya organisasi utama
sebagai budaya organisasi yang bersifat ambiguitas, kompleks, pemaknaan
konstruk sosial yang non-linear, susah untuk dilakukan observasi maupun
dikuantifikasikan. OCAI memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi
budaya organisasi yang paling dominan berdasarkan empat tipe budaya
organisasi yang dikembangkan Cameron dan Quinn. Bahkan OCAI memungkinkan
untuk mengukur tingkat kongruensi sebuah budaya organisasi aktual
versus budaya organisasi yang dikehendaki. Kongruensi budaya merujuk
pada tingkatan dimana berbagai aspek budaya organisasi dapat
diselaraskan dengan kebutuhan organisasi. Hal tersebut merupakan budaya
yang sama dan ditekankan pada berbagai bagian organisasi (Cameron dan
Quinn, 1999, hal. 64).
Gambar 2.9. Competing Values Framework
Sumber : Cameron dan Quinn (1999)
Meskipun penyusun OCAI menyatakan bahwa pendekatan ini mewakili riset
dalam perspektif fungsionalis yang memperlakukan budaya organisasi
sebagai variabel, Camreon dan Quinn juga mengakui adanya aspek yang
tidak bisa dikendalikan dan sebagai hal yang rancu (ambiguous)
mewakili perspektif semiotik. Lebih lanjut teknik OCAI dalam Gambar 2.9
merupakan kombinasi sebagian aspek positif metodologi riset kualitatif
dan kuantitatif, nampak sangat sempurna menjelaskan orientasi yang
berbeda, seperti halnya persaingan nilai, yang menggambarkan perilaku
manusia dimana masing-masing kuadran mewakili asumsi dasar, orientasi,
dan nilai yang terdiri elemen-elemen serupa yang meliputi suatu budaya
organisasi, Cameron dan Quinn (1999, hal. 33). Sebagai konsekuensi, OCAI
dan pendekatan CVF dipilih dalam studi ini karena CVF sudah
dikembangkan secara empirik dan memiliki validitas yang baik (Cameron
dan Quinn, 1999). Lebih lanjut OCAI adalah suatu instrumen kuantitatif
yang telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan respon
kualitatif bagi tiap responden. Oleh karena itu, OCAI dapat dianggap
sebagai suatu konsep hibrid yang menyertakan kuantitatif dan disain
riset kualitatif, serta instrumen tersebut mempunyai validitas dan
reliabilitas yang tinggi. Terkait dengan bentuk budaya perusahaan, maka
implementasi manajemen mutu atau improvement tools yang saat ini
banyak dipergunakan oleh berbagai perusahaan, yaitu TQM (Total Quality
Management) secara otomatis juga mempersyaratkan “culture congruence”
yang “pas”, mengingat budaya yang mendorong suksesnya implementasi TQM
membutuhkan perubahan budaya tertentu yang harus dicapai dengan
manajemen perubahan (change management). Sub-bab berikut ini akan menjelaskan perkembangan singkat riset TQM dan kriteria Malcolm Baldrige Assessment yang sudah banyak digunakan sebagai parameter model keunggulan organisasi kelas dunia (world-class company).
Konsep CVF (Quinn, 1988) diturunkan dari Competing Values Model
(Quinn & Rohrbaugh, 1983) yang menguji dimensi dan menilai
efektifitas organisasi. CVF dikembangkan untuk menetapkan kriteria
efektivitas organisasi dan digunakan untuk mempelajari banyak
aspek-aspek organisasi seperti peran kepemimpinan dan efektivitas,
budaya organisasi, perubahan, pengembangan, dan manajemen sumber daya
manusia (Cameron & Freeman, 1991; DiPadova & Freeman, 1993;
Quinn & Kimberley, 1984; Zammuto & Krakower, 1991). Studi
lainnya menyelidiki budaya organisasi dan strategi organisasi (Bluedorn
& Lundgren, 1993) serta aplikasi CVF untuk mengukur kode etik
perusahaan (Stevens, 1996). CVF memiliki dua dimensi utama efektivitas
organisasi : dimensi pertama membedakan efektivitas dalam konteks fokus
internal versus fokus eksternal, sedangkan demensi kedua membandingkan
ukuran-ukuran mengenai struktur : predictability/control versus flexibility/spontaneity, seperti digambarkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 CVF : Peran Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
Sumber: Quinn, R.E. (1988)
Disebut sebagai CVF karena dimensi-dimensi utamanya menggambarkan
nilai-nilai yang kontras. Sebagai contoh: Organisasi perlu fleksibel (flexibel) dan dapat menyesuaikan diri (adaptable), tetapi juga tekendali (controlled) dan stabil (stable).
Demikian pula organisasi membutuhkan pertumbuhan, akuisisi sumber daya
dan dukungan eksternal, namun juga memerlukan manajemen informasi yang
ketat dan komunikasi formal. Kerangka konseptualnya menekankan pada
nilai sumber daya manusia, tetapi juga menekankan pada perencanaan dan
penetapan sasaran. Terdapat bukti dari riset terbaru dimana pemimpin
yang efektif dan organisasi yang maju mampu menyeimbangkan tuntutan
konflik, organisasi berkinerja tinggi membutuhkan kemampuan pemimpin
dalam mengelola hal-hal yang berlawanan (paradox). secara
bersama-sama, dua dimensi menghasilkan empat kuadran nilai budaya
organisasi. Nilai masing-masing kuadran melengkapi kuadran yang
bersebelahan dan berlawanan nilai dengan kuadran yang berlawanan. Empat
kuadran yang ada mewakili empat set seperangkat nilai yang menjadi
pedoman dalam manajemen organisasi, manajemen lingkungan dan integrasi
internal. Setiap organisasi memiliki nilai-nilai sesuai dengan
kuadran-nya hingga pada level tertentu menciptakan profile nilai
organisasi. Semua organisasi mengembangkan kombinasi empat kuadran
dengan satu atau dua kuadran biasanya paling dominan dibandingkan yang
lain (Denison & Spreitzer, 1991; McDonald & Gandz, 1992).
Masing-masing kuadran telah diberikan label untuk membedakannya dengan
yang lainnya. Kuadran kiri atas, dikenal sebagai perspektif hubungan
antar manusia (human relations) menekankan fungsi kepemimpinan orang (people leadership)
misalnya kepercayaan dan rasa memiliki. Hasil target pada perspektif
ini adalah: kohesi, partisipasi, keterbukaan, moral, dan komitmen.
Penekanan pada fleksibilitas dan fokus internal. Berbagi informasi dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan sangat didukung. Setiap individu
dianggap anggota yang mampu bekerja sama sebagai bagian sistem sosial
atau klan (clan) yang terikat oleh rasa memiliki dan
afiliasi. Kuadran kanan atas dikenal sebagai perspektif sistem terbuka
yang menekankan pada fungsi kepemimpinan adaptif. Hasil target pada
perspektif ini adalah inovasi, adaptasi, pertumbuhan, dukungan eksternal
dan akuisi sumber daya. Penekanannya pada fleksibilitas dan fokus
ekternal seperti halnya inovasi dan kreatifitas. Setiap individu tidak
dikontrol tetapi terinspirasi, sangat berkomitmen dan tertantang. Fungsi
adhocracy berfungsi dengan baik bila tugas yang diberikan
bersifat kurang jelas dan kebutuhannya mendesak untuk diselesaikan
sangat terasa. Kuadran kanan bawah disebut sebagai perspektif tujuan
rasional (rational goal perspective) yang menekankan pada fungsi
kepemimpinan tugas. Hasil target perspektif ini adalah perencanaan,
arah, kejelasan tujuan, produktivitas, efisiensi, dan pencapaian
sasaran. Penekanannya pada predictability dan fokus eksternal.
Individu diarahkan oleh figur berwenang yang bersifat menentukan, dan
bila melaksanakan dengan baik akan diberikan hadiah. Bentuk budaya market
ini meningkatkan daya saing organisasi dan produktivitas. Kuadran kiri
bawah merujuk pada perspektif proses internal yang menekankan pada
stabilitas dan kontrol. Hasil target dari perspektif ini adalah
manajemen informasi, dokumentasi, stabilitas, rutinisasi, sentralisasi,
kesinambungan, dan pengendalian. Penekanannya pada predictability
dan fokus internal di mana individu diberi peran yang telah dirumuskan
dengan baik dan diharapkan mengikuti aturan singkat apa yang harus
dilakukan. Penghargaan yang utama adalah jaminan kerja. Di dalam sistem hirarki, kontrol internal dipastikan dengan aturan, pekerjaan yang terspesialisasi dan keputusan terpusat.
CVF digunakan untuk memberikan gambaran peran nilai-nilai yang ada di
dalam budaya organisasi. Budaya organisasi menjelaskan bagaimana
organisasi beroperasi (Gray, Densten,& Sarros, 2003), dengan
menjelaskan nilai-nilai inti, asumsi, penafsiran dan
pendekatan-pendekatan yang digunakan sesuai karakter organisasi.
Organisasi bisnis membutuhkan cara yang sistematik untuk mengevaluasi
budaya organsasi unit-unit operasinya, identifikasi kekuatan dan
kelemahannya dalam rangka perencanaan strategi perubahan yang efektif. Tidak adanya perhatian pada budaya organisasi dapat berimplikasi pada gagalnya inisiatif strategis (Jones& Redman, 2000). Bahkan menurut Barney (1986), Fiol (1991) suksesnya implementasi inisiatif strategis memerlukan kecocokan yang kuat antara strategi dan budaya organisasi.
CVF mempergunakan dimensi dan kuadran yang sama untuk menjelaskan
kepemimpinan dan budaya organisasi dalam sebuah model terontegrasi.
Terkait dengan analisa budaya organisasi, CVF memberikan label pada
setiap kuadran untuk membedakan karakter-karakter organisasi paling
dominan pada organisasi yang berbeda. Pemberian nama tersebut seperti
yang telah dijelaskan, yaitu kuadran kiri bagian atas dikenal sebagai
budaya klan (clan culture), pada bagian kanan atas disebut sbagai budaya adokrasi (adhocracy cultur), pada kanan bawah disebut budaya pasar (market culture) dan yang kiri bawah disebut sebagai budaya hirarki (hierarchy culture), Quinn & Cameron (1998).
Riset-riset terdahulu menunjukan bahwa tipe budaya yang berbeda akan
menghasilkan bentuk efektifitas organisasi yang berbeda pula. (Cameron
& Freeman 1991; Deal & Kennedy, 1982; Denison, 1990; Denison
& Spreitzer, 1991; Lairy, 1994; Lau & Ngo, 1996; Saffold, 1988).
Dalam konteks CVF, kriteria sukses masing masing budaya dominan dalam
organisasi menunjukan efektivitas nilai yang ada. Budaya clan akan ditunjukan dengan moral karyawan yang tinggi, kerja tim; pada budaya adhocracy kriteria efektif ditunjukan pada solusi-solusi kreatif dan ide-ide baru; pada budaya market ditunjukan pada pencapaian sasaran, kemenangan kompetisi; sedangkan pada budaya hierarchy
ditunjukan pada efisiensi, ketepatan waktu, kelancaran operasional dan
segala sesuatunya dapat diprediksi. Organisasi jarang memiliki budaya
organisasi yang bersifat tunggal. Organisasi cenderung memiliki
kombinasi budaya, dalam arti satu atau lebih budaya paling dominan yang
ada di dalamnya. Organisasi cenderung untuk mengembangkan budaya
organisasi yang paling sesuai untuk menyesuaikan dengan tantangan dan
perubahan (Sathe, 1983; Schein, 1985). Survei yang dilakukan dengan
mengambil responden anggota organisasi dapat menentukan karakter paling
dominan diantara empat kuadran budaya yang ada. Visualisasi budaya
organisasi saat ini dan profil budaya organisasi yang di-inginkan dapat
tergambar dengan jelas. Salah satu umpan balik survei yang dilakukan
adalah kemungkinan proses perubahan budaya dengan menggunakan "action research"
model dengan cara memperjelas budaya yang akan dicapai, target-target
kunci dan mengajukan proses perubahan sesuai dengan budaya yang
di-inginkan. Namur demikian harus hati-hati, mengingat Denison dan
Spreitzer (1991) menyatakan bahwa didalam organisasi yang memiliki
kecenderungan kuat pada satu kuadran, jauh dibandingkan dengankan skor
kuadran yang lain dapat mengakibatkan disfungsional organisasi. Misalnya
terlalu banyak fleksibilitas dan spontanitas dapat mengakibatkan chaos,
terlalu banyak "instruksi" dan "kontrol" dapat mengakibatkan
"kekakuan", terlalu banyak "kontrol" dan "koordinasi" menjadikan
organisasi stagnan, kehilangan energi, penurunan kepercayaan dan moral
anggota organisasi, (Quinn & Kimberley, 1984). Dengan perkataan
lain, kekuatan budaya pada satu kuadran akan menjadi kelemahan pada
indikator atau nilai-nilai kuadran budaya yang lain. Ketidakseimbangan
budaya, khususnya penekanan yang berlebih pada kuadran proses internal (budaya hierarchy)
cenderung mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja, supervisor, upah,
bahkan kepuasan hidup pekerja (Quinn& Spreitzer, 1991).
Kekuatan budaya dan kesesuaian diantara keempat kuadran budaya akan
mengarah pada efektivitas dan keunggulan organisasi (Deal & Kennedy,
1982; Peters & Waterman, 1982). Akan tetapi Cameron dan Freeman
(1991) yang meneliti 331 institusi pendidikan tinggi di Amerika
menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan terkait efektivitas
organisasi dalam kontek kongruensi budaya dan kekuatan budaya.
Penelitian Kalliath, Bluedorn & Strube (1999) yang mengukur budaya
organisasi rumah sakit, juga menemukan tingkat kongruensi budaya
organisasi sidak signifikan dalam menjelaskan komitmen dan kepuasan
kerja. Sebagai konsekuensi, disamping penekanan pada literatur akan
pentingnya kekuatan dan kongruensi budaya bagi efektivitas organisasi
(Kotter, 1980; Schein, 1985), maka keseluruhan profile juga menjadi hal
yang penting untuk efektivitas organisasi. Buenger, Daft, Conlon, and
Austin (1996) melakukan studi menggunakan obyek Angkatan Udara Amerika,
untuk menguji aplikasi CVF terhadap pola nilai-nilai yang ada di dalam
organisasi. Hasilnya menunjukan nilai-nilai yang ada di dalam empat
kuadran amat jelas tetapi keempat kuadran budaya tidaklah memiliki
kesamaan profil. Berlawanan dengan harapan penelitian, ternyata semua
nilai-nilai memiliki korelasi yang positif yang berarti adanya
signifikansi keterkaitan antara nilai-nilai yang ada di dalam kuadran
proses internal (kuadran dominan) dengan nilai-nilai yang ada dikuadran
lainnya. Gambaran ini menyimpulkan bahwa organisasi militer yang
diteliti memiliki keseimbangan dalam menentukan fokus nilai-nilai yang
diaplikasikan. Buenger dkk. (1996) menjelaskan kecenderungan budaya di
Angkatan Udara amat terkait dengan situasi dan kondisi “damai” atau
dalam kondisi persiapan “misi” yang menuntut nilai-nilai yang berbeda.
Sehingga budaya dominan yang muncul tidak secara otomatis meniadakan
nilai-nilai yang lain, namun hanya perubahan prioritas semata.
CVF dan hasil profile budaya memberikan kemudahan bagi para praktisi
untuk memahami model budaya yang kompleks dan juga memudahkan diagnosas
dan intervensi organisasi (Brown & Dodd, 1998; Quinn &
Spreitzer, 1991). Sebagai contoh, profile budaya dapat dijadikan model
dan selanjutnya individu organisasi menyesuaikan untuk mengarah pada
budaya ideal organisasi. Hal ini akan berimplikasi pada upaya
pengembangan dan peningkatan pada masing-masig kuadran yang
diprioritaskan. (Cameron& Quinn, 1999). Manajemen memiliki tugas
yang sangat penting untuk menentukan keseimbangan diantara profil budaya
organisasi yang di-inginkan (Goodman, Zammuto, & Gifford, 2001).
Membangun profil organisasi sangat relevan bagi organisasi untuk
memahami kebutuhan praktek MSDM, inisiatif kualitas, perencanaan dan
melakukan perubahan dan pengembangan organisasi.
Beberapa studi menggunakan CVF untuk menguji pengaruh budaya pada
isu-isu organisasi (Goodman dkk., 2001; McDermott & Stock, 1999;
Ulrich, 1995). Goodman dkk (2001) dalama studinya menggunakan organisasi
rumah sakit sebagai obyek riset menemukan bahwa organisasi yang lebih
berfokus pada budaya clan (human relations quadran) memiliki kualitas hidup kerja yang lebih baik. Sebaliknya di dalam organisasi yang budaya hierarchy-nya
sangat dominan mengakibatkan penurunan komitmen, keterlibatan,
pemberdayaan, kepuasan kerja dan lebih tinggi tingkat turnover
karyawannya. Menurut Cameron dan Quinn (1999), praktek MSDM yang efektif
memerlukan aspek-aspek dan kesesuaian dengan salah satu dari empat
kuadran budaya organisasi dominan yang dimiliki organisasi. Sebagai
contoh, membangun budaya organisasi yang berfokus pada kontrol proses
internal (hierarchy) membutuhkan ahli-ahli administratif yang
berfokus pada proses re-engineering dan menciptakan infrastruktur yang
efisien. Memperkuat aspek hubungan antar manusia (clan)
membutuhkan seorang champion yang mampu megembangkan komitmen, kohesi
dan peningkatan soliditas anggota organisasi. Membangun budaya adhocracy (open sistem)
membutuhkan agen perubahan yang mampu memfasilitasi transformasi dan
pembaharuan organisasi. Lebih lanjut, implementasi TQM membutuhkan
spirit perubahan yang relevan dengan budaya adhocracy karena
perubahan mendasar dan transformasi harus dilakukan untuk membangun
tatanan baru yang berfokus lepada pelanggan. Membangun budaya yang
berorientasi pada pasar (market) mengarahkan praktek MSDM sebagai
mitra stratejik organisasi selaras dengan visi dan misi organisasi.
Secara keseluruhan, kerangka perubahan organisasi dan peningkatan
kinerja (improvement) sangat erat kaitannya dengan fungsi dan
praktek MSDM. Meletakkan praktek MSDM dalam kerangka CVF akan menjadikan
fungsi MSDM menjadi lebih strategis, lebih inklusif, dan lebih masuk
akal (Cameron& Quinn, 1999). Berdasarkan konsep-konsep dan kajian
literatur yang telah disampaikan, diajukan Proposisi Tiga, sebagai berikut :
Proposisi Tiga TQM, Budaya Organisasi dan Praktek MSDM |
(3) Salah satu indikator pendukung keberhasilan jangka panjang penerapan TQM adalah terbentuknya budaya perusahaan yang relevan dengan spirit TQM. Budaya perusahaan yang selaras dengan “budaya TQM” hanya dapat dicapai melalui praktek-praktek MSDM yang mendukung terciptanya budaya organisasi “TQM”. Kesesuaian budaya “adhocaracy & market” terhadap terciptanya budaya TQM harus didukung dengan pengembangan SDM dan penciptaan policy-policy SDM yang merangsang pada pembentukan budaya tersebut. |
Secara piktografis, Proposisi Tiga dapat disajikan pada Gambar 2.11 seperti berikut ini :
Gambar 2.11 Proposisi Tiga
Sumber : dikembangkan untuk disertasi ini
Pada sub-bab 2.5 telah dijelaskan secara detail teori, riset budaya
organisasi terkait dengan praktek dan peran MSDM di dalam organisasi.
Pada sub-bab berikutnya akan dibahas aplikasi TQM dan keterkaitannya
dengan budaya organisasi dan praktek MSDM.
2.5. Konsep dan Implementasi TQM
Sudah banyak riset internasional yang menjelaskan konsep TQM namun
definisi yang diberikan masih belum standar dan jelas. Dale dkk (2001)
menjelaskan TQM sebagai konsep dan ide dalam berbagai konteks yang
terkait dengan gerakan kualitas. Sebelumnya Dale (1999) menjelaskan TQM
sebagai upaya kerjasama di dalam organisasi terkait dengan proses bisnis
dalam rangka produksi produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan dan
harapan pelanggan. Oakland (1989), mendiskripsikan TQM sebagai cara
untuk meningkatkan daya saing, efisiensi dan fleksibilitas organisasi
secara menyeluruh. Oakland menyebutkan bahwa organisasi disebut efektif
bila masing-masing bagian bekerja-sama dengan baik dalam pencapaian
sasaran bersama, memahami aktivitas masing-masing bagian saling
berpengaruh satu sama lain. Metode dan teknik TQM dapat diaplikasikan
pada semua jenis organisasi.
Shiba dkk (1993) mendefinisikan TQM sebagai sebuah sistem yang
berkembang, merupakan praktek, tools, dan metoda pelatihan dalam
mengelola organisasi di dalam lingkungan yang berubah cepat. Menurut
Shiba dkk., sistem TQM terkait dengan pemenuhan kepuasan pelanggan (customer satisfaction), meningkatkan kinerja organisasi dengan menurunkan jumlah produk cacat (zero deffect) dan mempercepat pengiriman produk tepat waktu (delivery on time). Definisi yang lain, Dahlgaard dkk (1999), menjelaskan TQM sebagai "budaya perusahaan" yang bercirikan pada orientasi kepuasan pelanggan, dilakukan melalui program peningkatan berkelanjutan (continuous improvement),
melibatkan semua karyawan di dalam organisasi. Garvin (1988)
menghindari pengertian TQM secara sempit, ia lebih menekankan TQM
sebagai Strategic Quality Management dan menurutnya TQM lebih dari sekedar inspeksi kualitas, kontrol kualitas maupun jaminan kualitas.
Banyak peneliti TQM meletakan "nilai" sebagai elemen
utama dari TQM, Oakland (1989), Kanji & Asher (1993), Lewis (1996)
dan Boaden (1997). Namun demikian masing-masing peneliti memiliki
sedikit perbedaan tentang "nilai" yang terkandung dalam elemen TQM.
Dahlgaard dkk (1999) menyatakan TQM memiliki lima karakteristik, di
dalam Malcolm Baldrige National Quality Award (NIST,2001) menyebut
sebelas konsep utama, sedangkan Dale (1999) membahas delapan elemen
utama TQM. Sila & Ebrahimpour (2002) melakukan studi dan investigasi
literatur penelitian dan menemukan elemen utama yang selalu dibahas
dalam riset dan praktek TQM, yaitu :
1. Fokus Kepuasan Pelanggan
2. Pelatihan Karyawan
3. Kepemimpinan dan Komitmen Manajemen
4. Kerjasama Tim
5. Keterlibatan Karyawan
6. Inovasi dan Peningkatan Berkelanjutan
7. Pengukuran Kinerja dan Informasi Kualitas
Untuk mempermudah pemahaman, pada Gambar 2.12 menjelaskan nilai (values) yang banyak dibahas para peneliti TQM, sebuah kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Bergman dan Klefsjo (2003).
Gambar 2.12 Konsep TQM yang berorientasi pada Kepuasan pelanggan
Sumber: Bergman dan Klefsjo (2003)
Banyak peneliti telah mengajukan berbagai pendekatan terkait konsep
TQM, Shiba dkk (1993), Dean dan Bowen (1994) dan Hellsten dan Klefsjo
(2000). Hellsten dan Klefsjo (2000) menyatakan TQM bukanlah nilai-nila
semata seperti halnya fokus pada proses, fokus pelanggan ataupun
komitmen setiap orang. Nilai-nilai tersebut membutuhkan teknik, seperti
halnya manajemen proses, perenacanaan berfokus pelanggan, tim yang
berorientasi taregt; juga membutuhkan alat (tools), misalnya grafik kontrol (control charts), diagram Ishikawa.
Pembahasan oleh Hellsten dan Klefsjo (2000) menyimpulkan bahwa TQM
dapat didefinisikan sebagai sistem manajemen yang saling tergantung dan
memiliki tujuan yang sama. Sistem yang terdiri dari tiga unit utama,
yaitu nilai (values), teknik (techniques) dan alat (tools),
Hellsten & Klefsjo (2000). Tujuannya adalah "meningkatkan kepuasan
pelanggan dengan mereduksi sumber daya yang terlibat dalam proses
penciptaan nilai bagi pelanggan". Meningkatkan profitabilitas dan
menurunkan biaya yang bermuara pada peningkatan kepuasan pelanggan
internal dan eksternal, merealisasikannya melalui peningkatan kinerja
berkelanjutan. Dengan demikian TQM relevan untuk diaplikasikan dalam
berbagai bidang (Bergman & Klefsjo, 2003). Di dalam penelitian ini
akan difokuskan pada interpretasi TQM yang definisikan oleh Hellsten dan
Klefsjo (2000), dimana mereka mendefinisikan TQM sebagai manajemen
sistem dalam perubahan yang berkelanjutan yang terdiri dari nilai (values), teknik (techniques) dan alat (tools). Sasaran menyeluruhnya adalah kepuasan pelanggan dengan mereduksi sumber daya yang digunakan.
2.5.1. Nilai-Nilai TQM
Strategi TQM di dalam organisasi harus dibangun berdasarkan komitmen
manajemen terus-menerus pada upaya perbaikan dan kualitas. Menurut
Bergman dan Klefsjo (2003), manajemen harus menetapkan kebijakan mutu
dan mendukung aktivitas mutu, baik secara ekonomis, moral dan
pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Manajemen harus terlibat secara
aktif, karena bila tidak terlibat akan menunjukan rendahnya tingkat
keseriusan manajemen dan pada saat yang sama pekerja dibawahnya tidak
akan serius mengimplementasikannya (Bergman dan Klefsjo, 2003).
Suksesnya implementasi TQM harus didasarkan pada nilai inti (core values)
yang digunakan sebagai bagian dari program manajemen perubahan (Senge,
1995). Perubahan harus berangkat dari internal ke eksternal, bukan
sebaliknya; dengan konsep ini top manajemen dapat menstimulasi
nilai-nilai individu melalui pengelolaan sumber daya, dukungan aktivitas
kualitas dan penggunaan alat dan teknik yang mendukung nilai-nilai inti
TQM. Konsep nilai inti yang dibahas dalam penelitian ini berdasarkan
interpretasi TQM yang didefeinisikan oleh Hellsten dan Klefsjo (2000).
Nilai-nilai tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Komitmen Manajemen Puncak
Aplikasi TQM untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas
membutuhkan komitmen manajemen secara menyeluruh (Dale dkk., 1997;
Abraham dkk., 1999; Reed dkk., 2000). Manajemen harus membuat
perencanaan awal untuk implementasi dan berpartisipasi secara aktif
termasuk dalam evaluasi proses dan hasil yang dicapai. Semua pimpinan
organisasi harus berorientasi pada pelanggan dan membuat nilai-nilai
mutu terlihat secara jelas dan mudah dipahami. Pentingnya keterlibatan
dan peran manajer senior sebagai pembimbing, guru dan pemimpin bersifat
mutlak (Tenner dan DeToro, 1992). Para pemimpin harus menjadi ‘role model’
bagi seluruh lapisan organisasi, sehingga semua level akan dapat
menemukan model yang dapat dijadikan contoh dalam aplikasi teknik dan
alat TQM.
2. Fokus pada Pelanggan
Nilai inti TQM berpusat pada produk dan proses yang dihasilkan harus
berfokus pada kepuasan pelanggan. Kualitas harus dinilai oleh pelanggan
terkait dengan kebutuhan dan ekpektasinya (Oakland, 1989; Tenner &
DeToro, 1992; Shiba dkk., 1993; Dahlgaard dkk., 1994; Bergman &
Klefsjo, 2003). Hal ini memberikan keyakinan bahwa kualitas merupakan
konsep relatif yang diatur oleh kompetisi pasar. Organisasi
didedikasikan untuk memuaskan pelanggan, upaya ini harus bersifat jangka
panjang dan berkelanjutan karena produk yang berkualitas bisa saja
menjadi lebih ‘lemah’ manakala muncul produk baru yang lebih kompetitif
di pasar. Untuk berfokus pada pelanggan salah satunya adalah menemukan
nilai dan kebutuhan pelanggan, melakukan analisis pasar dan mencoba
memenuhi harapan pasar secara sistematis dengan mengembangkan dan
membuat produk yang di-inginkan pelanggan. Menerapkan orientasi pada
kepuasan pelanggan dilakukan tidak hanya pada pelanggan eksternal, namun
juga internal. Dalam rangka memuaskan pelanggan eksternal, diawali dari
upaya memuaskan pelanggan internal (oakland, 1989; Tenner & DeToro,
1992; Shiba dkk., 1993; Dahlgaard dkk., 1994; Bergman & Klefsjo,
2003).
3. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Fakta
Salah satu nilai inti TQM adalah pengambilan keputusan berdasarkan
fakta dan tidak membiarkan faktor-faktor yang tak terukur menentukan
dalam pengambilan keputusan yang penting. Hal ini membutuhkan pentingnya
pengetahuan terkait variasi dan kemampuan dalam mengontrol variasi
(Deming, 1994). Program peningkatan kinerja kualitas "Six Sigma"
yang dikembangkan pertama kali oleh Motorola pada tahun 1980-an
merupakan salah satu metode yang bisa diaplikasikan organisasi, Harry
(1994). Sebagian besar produk baru gagal di pasar (Kotler, 1996), ini
membuktikan bahwa proses produksi dan pengembangannya harus didasarkan
pada pengalaman pelanggan dan kebutuhan saat ini serta masa depan
pelanggan (Bergman & Klefsjo, 2003). Ukuran-ukuran yang berbeda
dibutuhkan untuk mendapatkan fakta, dan hal ini dikelompokan sebagai
ukuran kepuasan pelanggan, termasuk didalamnya kepuasan karyawan, ukuran
posisi pasar, ukuran operasional serta pengembangan produk, Bergman
& Klefsjo (1994) dan Dahlgaard dkk (1994). Pada saat organisasi
mendapatkan gambaran informasi posisinya, membandingkan dengan
organisasi benchmark, secaa otomatis harus dapat mengambil keputusan dan
melakukan tindakan.
4. Fokus pada Proses
Sebagian besar pekerjaan di dalam organisasi dapat dilihat sebagai
proses, dimana rangkaian proses tersebut dilakukan berulang-ulang
(Bergman & Klefsjo, 2003). Tujuan dari proses adalah produk dan jasa
yang dapat memuaskan pelanggan. Hasil yang ada merupakan variabel
dependen, sehingga harus berfokus fokus pada proses, bukan semata-mata
pada hasil, karena hasil merupakan implikasi dari proses-proses yang
terjadi, proses-lah yang menjadikan hasil (Shiba dkk., 1993). Proses
menghasilkan data yang menunjukan seberapa jauh proses yang ada dapat
memuaskan pelanggan. Ini berarti analisis data yang dilakukan harus
menyeluruh, tidak hanya satu aspek, misalnya komplain pelanggan saja
tetapi harus ada keterkaitan dengan proses yang ada dan bagaimana hal
tersebut dapat ditingkatkan (Bergman & Klefsjo, 2003). Fokus dan
orientasi pada proses menjadi demikian dominan dan penting, khususnya
dengan aplikasi Six Sigma.
5. Peningkatan Kinerja Berkelanjutan (Continuous Improvement)
Organisasi saat ini harus bisa menghasilkan proses dan produk yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya.
Lingkungan dan permintaan pasar terus berkembang, organisasi membutuhkan
peningkatan yang berkelanjutan baik produk maupun prosesnya (Imai,
1997; Bergman dan Klefsjo, 2003). Proses peningkatan yang berkelanjutan
akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan, baik internal maupun
eksternal dengan menurunkan produk cacat dan produk baru yang jauh lebih
baik (Dahlgaard dkk., 1994). Siklus Deming, atau siklus PDCA (Plan-Do-Check-Action)
adalah model yang digunakan untuk peningkatan proses dan analisa proses
serta simbol dari peningkatan yang kinerja yang berkelanjutan. Siklus
PDCA terdiri dari 4 tahap, yaitu : plan, do, check (study) dan act (Deming, 1994).
6. Komitmen Bersama
Implementasi TQM yang sukses mempersyaratkan keterikatan karyawan
untuk memuaskan pelanggan melalui peningkatan kualitas berkelanjutan.
Komitmen setiap orang memiliki arti peningkatan kinerja berkelanjutan
dan harus diaplikasikan oleh seluruh karyawan pada setiap jenjang
organisasi. Termasuk pihak suplier yang menjadi mitra dalam proses
penciptaan produk dan bekerja terus menerus bersama karyawan (Tenner
& DeToro, 1992; Bergman & Klefsjo, 1994). Setiap karyawan harus
memahami kompetensi yang dibutuhkan dan keterlibatannya. Pendidikan dan
pelatihan bagi seluruh karyawan memberikan pemahaman visi, misi, arah
dan strategi organisasi, seperti halnya kompetensi yang dibutuhkan untuk
pencapaian kualitas yang berkelanjutan serta pemecahan masalah di
tempat kerja (Tenner & DeToro, 1992). Kata kunci komitmen adalah
informasi, delegasi dan pelatihan (Wruck & Jensen; Bergman &
Klefsjo, 2003).
2.5.2. Tahapan Implementasi TQM
Secara umum, implementasi dapat didefinisikan sebagai serangkaian
aktivitas proses dan realisasi perencanaan dan prosedur yang telah
ditetapkan, memastikan strategi dan policy yang dibuat dapat dijalankan.
Wheelen dan Hunger (1992) mendefinisikan implementasi sebagai proses
dimana strategi dan kebijakan dilaksananan dengan sebaik-baiknya.
Sebagai konsekuensinya dapat saja disebut implementasi sebagai proses
interaksi antara penetapan sasaran dan tindakan dalam upaya mencapai
sasaran tersebut. Hal ini berarti bahwa implementasi juga merupakan
perubahan organisasi, sama seperti halnya proses implementasi TQM yang
membutuhkan sistem manajemen dan proses eksekusi melalui berbagai
aktivitas yang dibutuhkan. Dalam setiap implementasi harus ada langkah
awal yang dijalankan dan ada batas tercapainya kesuksesan implementasi
yang dilakukan (Pressman & Wildavsky, 1973). Kegagalan implementasi
biasanya diakibatkan salah perkiraan. Penting bagi organisasi untuk
merencanakan dengan baik sumber daya yang dimilikinya agar implementasi
dapat berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan (Pressman &
Wildavsky, 1973).
Jika menginginkan TQM sebagai sistem manajemen dapat
diimplementasikan dengan baik di dalam organisasi, maka harus diketahui
tingkat adopsi pada proses implementasinya. Lascelles & Dale (1991)
menggambarkan 6 (enam) tahapan implementasi TQM, yang disebutkan sebagai
:
1. Tahap awal, belum memiliki komitmen implementasi (uncommitted),
2. Mengambang, dalam proses transisi (drifters),
3. Pemaksaan implementasi (tool-pushers),
4. Tahap peningkatan kinerja,
5. Memenangkan penghargaan,
6. Mencapai kategori kelas dunia.
Tahapan-tahapan ini digambarkan pada Gambar 2.13 dibawah ini.
Gambar 2.13 Tingkatan dalam Adopsi dan Implementasi TQM
Uncommitted |
Drifters |
Tool Pushers |
Improvers |
Award Winner |
World class |
Permanency of TQM |
Level |
Sumber : Lascelles & Dale (1991)
Tahap-tahap diatas tidak secara otomatis sebagai bagian dari "TQM Journey",
tetapi merupakan karakteristik dan perilaku organisasi yang terlihat
terkait dengan implementasi TQM (Dale, 1991). Tahapan atau tingkatan
yang dikemukakan Lascelles dan Dale (1991) sangat membantu dalam
identifikasi posisi, masalah-masalah dalam implementasi TQM, serta cara
menyelesaikannya. Level kelima, dapat disebut sebagai suksesnya implementasi TQM karena memperoleh penghargaan (award winner). Menurut Dale (1999), organisasi pada level tersebut mencapai tingkat kematangan organisasi dimana budaya, nilai-nilai, kepercayaan, kapabilitas, keterlibatan karyawan sudah secara total.
Seperti yang disampaikan oleh Lascelles dan Dale (1991), tahapan
suksesnya adopsi TPM dapat diindikasikan dengan diraihnya penghargaan
oleh perusahaan. Pemberian penghargaan bagi perusahaan yang sukses
implementasi TQM sudah diadakan di Amerika semenjak dua dekade yang
lalu, misalnya dengan MBNQA (Malcolm Baldrige National Quality Award), juga di Eropa dengan EFQM (European Foundation for Quality Management) yang dikembangkan untuk mendorong terciptanya model keunggulan bisnis perusahaan-perusahaan yang berada di Eropa.
Kemampuan untuk memperbaharui diri dan melakukan perubahan, merupakan
cara organisasi untuk mempertahankan kinerja dan efesiensi jangka
panjang. Kondisi yang dimaksud adalah adalah perubahan yang dapat
membawa pada peningkatan kinerja. Setiap upaya peningkatan kinerja
membutuhkan perubahan, tetapi tidak semua perubahan membawa dampak pada
peningkatan kinerja (Bruzelius & Skarvard, 2000). Sebuah aspek utama
yang mempengaruhi proses perubahan adalah faktor-faktor yang
menyebabkan proses perubahan terjadi. Menurut Killing & Fry (1986)
setiap situasi yang berbeda membutuhkan kecepatan perubahan, sasaran
perubahan dan cara berubah yang berbeda-beda. Menurut mereka, tiga
faktor utama yang membedakan proses perubahan yang terjadi yaitu :
(1). Perubahan yang telah diantisipasi, dimana perubahan sudah
dipersiapkan berdasarkan pada proyeksi perubahan yang dibutuhkan.
(2). Perubahan yang reaktif, dimana perubahan terjadi sebagai respon perubahan.
(3). Krisis, dimana perubahan harus dilakukan demi kelangsungan organisasi (survival).
Selanjutnya Tichy (1983) menggambarkan empat penyebab utama perubahan
stratejik, yaitu lingkungan, teknologi, SDM, dan bisnis. Proses
perubahan dilakukan apakah karena kebutuhan TQM atau dapat disebabkan
kebutuhan faktor-faktor utama organisasi lainnya.
Salah satu prasyarat suksesnya implementasi sistem manajemen, seperti
halnya TQM adalah perubahan perilaku dan praktek organisasi. Proses
implementasi dapat dikatakan berjalan dengan baik bila terjadi
transformasi aktivitas manusia di dalam organisasi (Pidd, 1999), dan
selanjutnya dipertimbangkan sebagai sebuah perubahan organisasi yang
komprehensif. Manajemen perubahan dalam sebagian besar kasus dilihat
sebagai proses yang kompleks dan sulit, banyak perusahaan mengalami
permasalahan selama implementasi (Siegal dkk., 1996). Merujuk pada Beer
dkk., (1990) dan Schaffer & Thomson (1992), kebanyakan
program-program perubahan tidak dapat berjalan dengan baik karena kurang
menggunakan panduan-panduan perubahan organisasi. Juga sebagian besar
studi menunjukan bahwa permasalahan SDM dan organisasi menjadi hambatan
terbesar dibandingkan faktor teknis lainnya bagi suksesnya implementasi,
Gilmore (1998). Perubahan yang dilakukan menggunakan sistem dan
prosedur yang dipilih, metode dan model yang diterima dan dipahami oleh
berbagai pihak yang terlibat (Sandberg & Targama, 1998; Ljungstrom,
2000).
Selain fokus pada permasalahan SDM dan organisasi, maka prasayarat
lain suksesnya manajemen perubahan adalah keinginan dan kemampuan setiap
manajer dalam mengadopsi dan melakukan transformasi, Kotter (1996). Hal
ini membutuhkan perubahan perilaku, sikap dan tindakan yang melibatkan
setiap orang yang terlibat. Kotter (1996), menekankan semakin tinggi
ekspektasi perubahan akan semakin tinggi resistensi yang terjadi. Salah
satu kunci utama yang harus dipertimbangkan, menurut Senge (1990), Tichy
(1993), adalah faktor kualitas kepemimpinan, kemampuan untuk membangun
visi bersama dan menjadikannya sebagai keinginan seluruh karyawan yang
secara otomatis akan mempermudah perubahan yang akan dilakukan. Aspek
lain yang harus dipertimbangkan adalah faktor komunikasi (Eisenstat,
1993), pemberdayaan (Pascale dkk., 1997), pemberian penghargaan dan
imbalan (Pettigrew, 1995), hasil-hasil dan keberhasilan yang lebih cepat
(Beer dkk., 1990). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan
organisasi menjadi sebuah kebutuhan mutlak dalam implementasi TQM,
proses yang terjadi harus dimiliki oleh karyawan semua level dan hal ini
sangat terkait erat dengan budaya organisasi, lingkungan bisnis dan
tradisi (sejarah) organisasi.
Implementasi sistem manajemen seperti halnya TQM membutuhkan
perubahan organisasi ang menyeluruh, dimana organisasi dalam tahap ‘unconscious‘
dalam melaksanakan sistem yang baru dijalankan. Menurut Thomsen dkk.
(1994), pengalaman yang sangat penting dalam pencapaian implementasi TQM
adalah penggunaan disiplin pengembangan organisasi (OD, Organization Development)
yang dilakukan bersamaan dengan implementasi TQM, ada keterkaitan dan
tumpang tindih antara praktek OD dan TQM (Grieves, 2000). Inisiatif
manajemen seperti halnya TQM, model keunggulan bisnis, manajemen budaya,
proses rekayasa ulang bisnis dan downsizing membutuhkan keterkaitan dengan pengembangan organisasi berupa intervensi dan metodologinya.
0 Komentar